Mohon tunggu...
Sulthon Hanif Ghoozi Fathoni
Sulthon Hanif Ghoozi Fathoni Mohon Tunggu... Mahasiswa - MAHASISWA

Saya mahasiswa jurusan S1 Bimbingan dan Konseling, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Surabaya. Hobi yang sering saya lakukan untuk mengisi waktu luang saya ialah olahraga, seperti workout dan juga bermain game.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Seberapa Penting Sih Healing Itu?

27 November 2022   19:11 Diperbarui: 27 November 2022   22:48 443
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hayoooo ngaku siapa yang akhir-akhir ini sering ngerasa  pusing, stres ataupun bosen?

Pusing dikit butuh healing, bosen dikit pengen healing, pokoknya healing jadi kata pelarian utama untuk kabur dari beratnya hidup. 

Tapi apa sih yang kalian pikirkan ketika mendengar kata healing? 

Belakangan ini kata healing sangat sering digunakan diberbagai media sosial, kata healing sendiri berasal dari bahasa Inggris yang jika diartikan dalam bahasa Indonesia sebagai penyembuhan, penyembuhan disini dikaitkan dengan penyembuhan jiwa, pikiran, batin, maupun perasaan.  

Kenapa sih banyak generasi muda sekarang tiba-tiba mengaku butuh healing? Apakah generasi sekarang adalah generasi yang manja? Apakah disebabkan karena mereka mengalami trauma masa lalu? Atau menghadapi sebuah masalah yang berat sehingga membutuhkan healing? Apakah healing itu benar-benar sangat diperlukan atau hanya untuk pelarian saja? Mari kita jabarkan penyebab adanya healing

Strawberry Generation

Dalam buku yang dibuat oleh Prov Rhenald Kasali (Strawberry Generation), generasi sekarang atau dalam buku disebut dengan generasi Z merupakan generasi yang paling kreatif, tapi selain itu generasi ini juga dikatakan generasi yang mudah menyerah dan gampang sakit hati. 

Salah satu alasannya adalah kondisi perekonomian di zaman sekarang jauh lebih sejahtera daripada dengan zaman sebelumnya, di mana sekarang ini orang tua cenderung selalu memberi apapun keinginan kepada anaknya. 

Dan kebiasaan over protective dan over sharing dari orang tua, semuanya dikasih dan banyak hal yang diproteksi oleh orang tua yang tidak dialami anak-anak yang akhirnya membuat anak sekarang cenderung jadi lebih manja dan ingin segalanya instan. 

Dikarenakan kondisi perekonomian yang lebih sejahtera dan orang tua mampu memfasilitasi anak dengan cukup, pastinya membuat orang tua punya ekspetasi yang tinggi dan orang tua sangat berharap agar ekspektasi itu dapat dicapai oleh sang anak. 

Orangtua cenderung menyalahkan anaknya ketika ekspektasi tadi tidak dapat tercapai, dan itulah yang membuat anak jadi takut gagal, bebannya berat, mudah cemas ketika berhadapan dengan hal yang tidak pasti, bahkan anak bisa jadi people pleaser dan ini biasanya terbawa sifatnya anak tersebut sampai ia tumbuh dewasa.

Media Sosial

Medsos ini banyak merubah kehidupan kita, media sosial banyak digunakan untuk selebrasi keberhasilan, flexing, pamer sesuatu, berbagi hal-hal yang positif tentang diri seseorang itu sendiri. 

Hal tersebut berdampak yang membuat kita cenderung melihat orang dari keberhasilannya saja, kita hanya melihat kesuksesannya, kesenangannya saja tetapi kita tidak melihat kesusahannya seperti apa, akhirnya kita sering membanding-bandingkan diri dan merasa tidak seberhasil mereka atau merasa seharusnya bisa lebih dari apa yang dimilikinya sekarang. 

Dampak dari hal tersebut ialah banyak orang di generasi ini pengen sukses dan berhasil dalam waktu yang singkat, bisa disebut juga dengan generasi instan. Namun ketika gagal, malah menjadikannya putus asa dan ditambah dengan kita membanding-bandingkan diri kita dengan orang lain yang sebenarnya tidak realistis untuk dibandingkan.

okezone.com
okezone.com

Masa kecil sampai masa remaja merupakan masa mencari identitas dan pengakuan orang lain, ketika kita tidak mendapatkan hal itu akan membuat kita mudah merasa down atau putus asa. 

Masa setelah pandemi ini kita bisa mengambil contoh seperti adanya orang yang sukses karena mampu berkembang di dunia media sosial namun juga ada orang yang justru gagal karena terdampak dari wabah pandemi tersebut dan akhirnya menjadi tambah putus asa lagi. 

Generasi Lebih Humanis

Perbedaan yang paling menonjol dari generasi sekarang dengan generasi sebelumnya ialah manusia sekarang lebih humanis, dan lebih memperhatikan tentang kesehatan mental. 

Ketika ada gejala yang dulunya dianggap sepele, sekarang gejala tersebut lebih diperhatikan dan dicari tau, hal ini berdampak dengan sekarang banyak orang yang self diagnosis, banyak yang merasa butuh penyelesaian atau dalam bahasa psikologi biasa disebut dengan "coping stress". 

Self Diagnose

Di zaman sekarang ini banyak anak muda yang pintar dan merasa dirinya mandiri, serba tau dikarenakan adanya sosial media. 

Tersebarnya informasi atau kata kata mengenai sesuatu masalah yang mengarah ke healing di sosial media sehingga mereka mencocokkan dirinya dengan informasi tersebut dan merasa bisa memecahkan masalahnya sendiri serta membuat kesimpulan sendiri bahwasanya mereka butuh healing, itulah salah satu penyebab kenapa anak muda sekarang mudah mengatakan untuk butuh healing.

Karena sekarang ini media sosial memberikan informasi yang sangat kaya, kita merasa bisa memecahkan masalah kita sendiri. Ini adalah self diagnosis yang tidak hanya terjadi pada orang muda tetapi terjadi pada generasi yang lebih tua juga. 

Dari usaha untuk memecahkan masalah sendiri itu tadi timbullah yang namanya overthinking, overthinking yang dialami orang muda saat usia disekitar 25 tahun biasa disebut quarter life crisis.

Quarter life crisis tidak dialami oleh generasi tua jaman dahulu karena hidupnya memang pada umumnya sedang berjuang dan susah. 

Sekarang anak muda mudah cemas karna melihat anak seumurannya telah menunjukkan keberhasilannya, dan hal ini juga memicu kalangan anak muda cenderung overthinking. 

Overthinking membuat anak muda dengan mudah mengatakan bahwa mereka butuh healing karena kejenuhan akibat banjirnya informasi pada media sosial, yang tidak dapat mereka saring dengan baik.

Coping Stress

Generasi sekarang memang lebih memperhatikan kesehatan mental, tapi pemahaman tentang menjaga kesehatan mental atau menghadapi stres masih bisa dibilang rendah karena jarang dibahas didunia pendidikan. 

Ada mahasiswa yang mengatakan stress akan dunia perkuliahan dan butuh healing selama 6 bulan, ketika dia merasa cape, jenuh, stres tidak bisa dibilang kalau mahasiswa tersebut tidak butuh healing, namun cara coping stressnya yang harus diubah karena cenderung dikatakan manja jika membutuhkan waktu healing yang sangat lama selama 6 bulan. Jadi coping stress di sini lebih diartikan sebagai tindakan untuk mengatasi situasi yang penuh tekanan.

Yang orang tau ketika stress adalah harus healing, refresing, liburan entah ke Jogja, Bali, Lombok atau manapun itu. 

Cara untuk menghadapi stres sebenarnya banyak, healing dan liburan adalah salah satu jenis penanganan masalah atau coping stress dan tidak semua orang cocok dengan itu, ada strategi dalam healing yaitu emotion fokus coping dan problem fokus coping.

Emotion fokus coping ialah penanganan stres yang fokus kepada emosi, di sini kita menyelesaikan masalah dengan mengalihkan perhatian kita dari sumber masalah, bisa dibilang dengan kabur sejenak dari masalah untuk menenangkan emosi kita, tetapi kekurangannya adalah biasanya masalahnya tidak selesai. 

Contoh mudahnya ketika ada masalah kuliah seperti mengerjakan tugas yang terlalu berat hingga membuat stres, lalu kita melakukan mediasi relaksasi, main sama temen, tidur. Intinya melakukan healing, hal tersebut mungkin bisa saja menenangkanmu tetapi apakah dengan itu tugasmu akan selesai? Tidak mungkin browww, di sinilah emotion fokus coping saja tidak cukup, karena kita juga butuh untuk menghadapi masalahnya.

Problem fokus coping, kalau tadi fokusnya ke emosi nah sekarang fokusnya ke problem, ketika stres karena ada masalah, kita menyelesaikan masalahnya dengan cara menghadapi masalahnya. 

Contohnya ketika kita stres akan menghadapi UAS, atau mengerjakan tugas yang berat, solusinya adalah selesain masalahnya, belajar sebelum UAS biar nilai bagus dan tidak stres lagi, minta bantuan kepada teman untuk membantu mengerjakan tugas atau bisa mencari sumber belajar di internet.

Jadi seberapa penting sih healing itu?

Perlu diingat bahwa healing itu sebenarnya bukan sama artinya dengan refreshing, healing itu proses penyembuhan dari sesuatu yang buruk yang telah seseorang alami baik secara fisik, mental atau kejiwaan, sedangkan refreshing lebih ke liburan atau menyegarkan badan dari rasa lelah atau jenuh. 

Fenomena yang terjadi sekarang healing disamakan dengan refresing, healing itu lebih tepatnya ialah sebuah proses recover psikologis karena efek traumatis bukan liburan ala-ala generasi Z yang sekedar escape dari realita problem. 

Konsep healing ini muncul bisa saja karena banyak materi-materi psikologi yang muncul di khalayak umum dan perhatian masyarakat muda menangkap dan menyimpulkan sebagaimana mudahnya menurut mereka. 

Saya pribadi tidak bisa menilai penting tidaknya healing itu dikarenakan setiap masalah yang dihadapi manusia itu berbeda-beda, berikut ini ada tips singkat untuk mengetahui kita butuh heling atau tidak.

Pertama, pahami masalah setiap orang itu berbeda-beda, mungkin ada yang butuh healing ada juga yang tidak butuh healing maupun konsultasi. 

Kedua, solusi setiap masalah pun berbeda-beda, healing atau menggunakan emotion fokus coping boleh saja namun disarankan tidak terlalu larut dengan emosi, coba latih juga untuk problem fokus coping supaya lebih cepat selesainya. 

Ketiga, fokus ke hal yang dapat dikontrol daripada menyalahkan keadaan, lingkungan, maupun orang di sekitar, kalau butuh healing ya silahkan, terus setelah itu fokus lagi ke diri sendiri setelah itu cari tau strategi seperti apa supaya tidak stres lagi. 

Keempat, ketahuilah ketika memang kita butuh bantuan, untuk mengetahui kita butuh konsultasi ke profesional atau tidak, bisa dengan melihat masalah yang kita hadapi apakah lebih dari 2 minggu dan membuat kita down, merasa tidak bisa menanganinya sendiri, bisa juga mengikuti asesmen psikologi seperti tes tingkat stres gratis di media sosial.

Sekarang, sosial media membuat orang FOMO (fear of missing out) & restless. Mental buruk karena kebanyakan bermain sosmed dan membanding-bandingkan hidup (padahal seharusnya tidak perlu membanding-bandingkan karena setiap orang beda-beda rejeki, latar belakang, lingkungan tumbuh, kemampuan, dan sifatnya). 

Apalagi di zaman sekarang, entah kenapa orang sekitaran pada menuntut kita agar dapat melakukan ini itu secara instan dan cepat, menambah ketegangan dalam menjalani hidup. 

Namun tidak semua masalah dapat kita simpulkan sendiri bahwasanya kita butuh healing karena kata healing lebih mengarah ke psikologis, mungkin kita bisa refreshing sejenak untuk mengurangi tekanan yang kita hadapi, yang bisa menilai diri kita ya diri sendiri namun jangan sampai kita salah mendiagnosis masalah kita sendiri.

Refreshing sebaiknya tidak dengan membeli barang/konsumtif, ngopi/ke cafe tidak akan ada habisnya mengikuti kemauan konsumtif itu. Bisa sesederhana dengan tidak bermain gadget sementara dan tiduran, sepedaan, baca buku, nonton film, dengerin musik, main musik, nulis cerita, jalan-jalan, bersihin rumah, nyoba resep makanan baru, ngerawat tanaman, main sama hewan peliharaan, bercandaan sama keluarga, dll.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun