Bagi Indonesia, legalisasi ganja non-medis dan rekreasional telah melanggar Konvensi Internasional.Â
Pada 2018, CND secara khusus membahas risiko dan manfaat ganja bagi kepentingan medis, sains, dan rekreasional. Untuk keperluan medis, Indonesia masih bertahan pada sikap: belum perlu melegalisasi ganja.
Sikap ini kembali ditegaskan dalam forum Rapat Kerja Teknis yang menghadirkan seluruh jajaran pejabat struktural Pencegahan dan Pemberdayaan Masyarakat BNN se-Indonesia awal 2019, mereview hasil pertemuan CND 2018. Indonesia bertahan karena berkaca pada beberapa negara yang telah melegalkan ganja ternyata justru kebablasan.
Legalisasinya untuk medis ternyata disalahgunakan untuk non-medis dan kesenangan. Bahasa mudahnya, pemerintah berkeras melarang masih berpotensi disalahgunakan, apalagi dilegalkan untuk alasan tertentu.Â
Kita mengantongi angka 3 juta penyalahguna narkotika, jika salah melangkah justru berpotensi terjadi ledakan penyalahguna di mana-mana.
Jadi terang, sikap pemerintah, terkait legalisasi ganja, bahkan untuk keperluan medis masih berpedoman pada UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Ganja di Indonesia masih Narkotika Golongan I yang tidak bisa digunakan untuk pengobatan sekali pun.
Sebagai rekomendasi, sebab isu ini terus bergulir dari hari ke hari. Nampaknya penting mendorong penelitian intensif terkait ganja. Pemerintah perlu mengambil alih lahan ini dan mengakomodasi suara-suara berkaitan dengan legalisasi ganja dari pihak yang menyuarakannya.Â
Terkait pendapat Rafli untuk mendorong ekspor ganja, saya mengutip pernyataan kawan saat membagikan link berita di media sosial: "Yang bikin UU kan DPR, ya suka-suka merekalah!" Toh dari DPR pula pernyataan agar BNN dibubarkan berasal. Jadi?(*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H