Kawasan Ekosistem Mangrove di Kab. Pohuwato rumah bagi Panua. Panua adalah bahasa Gorontalo dari burung Maleo (macrocephalon maleo). Kawasan ini dulunya rumah yang ramah bagi Maleo, namun sekarang tidak. Data terakhir yang dihimpun mengungkap bahwa Kawasan Ekosistem Mangrove di Kab. Pohuwatu khususnya Tanjung Panjang, 82% sudah dialihfngsikan untuk pertambangan, perkebunan, dan tambak. Bisa dikatakan, hanya dalam waktu tak terlalu lama, Hutan Mangrove di Gorontalo akan hilang. Maleo sebagai satwa endemik langka di Bumi Panua bakal menjadi sejarah: sekadar lambang daerah belaka.
***
Jika di Bumi Panua Gorontalo perambahan Kawasan Mangrove akan memicu terjadinya konflik antar etnis, cerita berbeda datang dari tanah Cut Nyak Dien. Gajah dan Manusia di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) kerap berhadap-hadapan dan unjuk kekuatan. Pasalnya, jalur perlintasan gajah selama ini di KEL telah berubah menjadi perkebunan milik warga. Gajah kerap memakan tanaman warga, karena sawit dan tanaman perkebunan lain memang makanan favorit satwa endemik yang telah bermukim ratusan tahun di Leuser.
Salah siapa ini dosa siapa? Begitu potongan lagu Tommy J. Pisa
Konflik manusia dengan satwa liar di KEL mendorong Gubernur Aceh menerbitkan Keputusan Gubernur Nomor: 522.51/1097/2015 tentang Pembentukan Satuan Tugas Penanggulangan Konflik Antara Manusia dan Satwa Liar. Selain itu, dikeluarkan pula Keputusan Gubernur Nomor: 522.51/1098/2015 tentang Tim Koordinasi Penanggulangan Konflik antara Manusia dan Satwa Liar. Sebegitu parahkah konflik ini? Potret ini menunjukkan bahwa betapa manusia memang nyaris berlaku binatang karena telah berhadap-hadapan berkelahi dengan binatang.
Kita bisa menarik sebuah permisalan sederhana. Anda memiliki rumah, telah tinggal lama, lalu datang mereka yang mengaku tamu, mengambil alih, mengusir Anda sang tuan rumah. Tentu, dengan perlakuan semacam itu, kita pantas marah bukan? Gajah dan ragam satwa liar endemik lainnya adalah tuan rumah sejak lama di Kawasan Ekosistem Leuser. Manusia datang mencaplok lahan, merusak hutan, membuka pertambangan, memaksa para tuan rumah untuk meninggalkan tanah-tanah tempatnya menggantungkan hidup sejak lama.
Jelas perlu edukasi intensif, untuk mengurangi ketegangan serupa itu. Lembaga Swadaya Masyarakat bersama Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) dibantu Pemerintah Daerah setempat telah mendirikan Conservation Response Unit (CRU) yang berkonsentrasi untuk mengurangi ketegangan antara satwa liar dengan warga. Disebutkan, agar warga mengganti tanaman perkebunan mereka, tidak lagi menanam sawit, pinang, pisang, dan tanaman lain yang menjadi kegemaran gajah, tapi beralih membudidayakan lemon atau kopi: selain tidak disukai gajah, kedua jenis tanaman ini juga memiliki nilai ekonomi tinggi.
Forum Konservasi Leuser (FKL) telah merekomendasikan hal yang sama dan meminta dukungan dari segenap pihak, utamanya pemerintah. Bahwa program edukasi terhadap pentingnya mendamaikan antara warga dan gajad di KEL harus mendapat dukungan dari pemeintah. Bentuk dukungan tersebut dengan mengganti jenis tanaman bantuan, bukan lagi sawit tetapi lemon atau kopi.
Pada titik ini, telah ada upaya untuk mengawinkan kepentingan ekonomi dengan lingkungan. Bahwa sebenarnya, dua hal ini bisa sejalan, tak melulu harus dibenturkan dan saling menggerus. Untuk menunjang aspek kepentingan ekonomi, hutan tak mesti dibiarkan dijarah sebebasnya. Prinsipnya ambil secukupnya dan jangan merusak. Saya masih terus meyakini bahwa, manusia dan alam bisa menjalin hubungan yang harmonis, jika itu terjadi maka alam akan senantiasa memberikan segala yang dikandungnya dengan ramah. Jika memaksa, maka hal itu disebut menjarah, sesuatu yang diambil secara paksa kelak akan menumpahkan amarah dalam bentuk bencana. Begitulah cara alam bekerja.
KEL memiliki fungsi ekologis sebagai pemasok air dan iklim. Selain itu, jelas bahwa KEL adalah benteng pertahan terhadap bencana: erosi, banjir, dan longsor. Ada fungsi lain yang berkaitan dengan pariwisata, energi, bahkan yang tak kalah pentingnya adalah bahwa KEL adalah pemasok oksigen yang melimpah.
Mengingat pentingnya keberadaan ekosistem dan keanekaragaman hayati, maka sudah seharusnya pemerintah memberikan perlindungan serta payung hukum yang bisa menjamin keberlangsungannya di masa depan. Di Aceh, Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) adalah mata rantai utama bagi lingkungan sekitarnya. Upaya untuk melindunginya harus ditempuhdengan tetap memasukkannya dalam perencanaan ruang, serta tidak menurunkan statusnya karena pertimbangan pragmatis.