Raden Ajeng Kartini lahir dalam lingkungan Jawa aristokrat yang sangat kental dengan nilai-nilai patriarki. Sejak kecil ia menyadari bahwa menjadi perempuan berarti menerima batasan: tidak bisa sekolah tinggi, tidak boleh banyak bertanya, dan kelak harus tunduk pada sistem pernikahan tradisional yang mengekang kebebasan berpikir. Namun, dalam keterbatasan itu, Kartini menemukan ruang perlawanan melalui membaca dan menulis. Surat-suratnya kepada sahabat-sahabatnya di Belanda menjadi saksi betapa kuatnya api literasi yang ia nyalakan.
Kartini melihat pendidikan sebagai pintu pertama untuk membebaskan perempuan dari kebodohan. Dalam suratnya yang terkenal, ia menulis bahwa "kegelapan pikiran perempuan adalah sebab utama kemundurannya." Ia menggugat sistem yang menjauhkan perempuan dari ilmu pengetahuan dan menuntut pengakuan bahwa perempuan pun punya hak untuk berpikir, bertanya, dan memilih jalan hidupnya. Gagasan-gagasan ini melampaui masanya, dan hingga kini tetap relevan di tengah tantangan pendidikan perempuan di daerah tertinggal.
Yang menarik, Kartini tidak menolak agama. Ia justru berharap pada hadirnya pemahaman keagamaan yang mencerahkan dan membebaskan. Dalam surat-suratnya, ia mengungkap kekecewaannya terhadap wajah agama yang disalahgunakan untuk membenarkan penindasan. Ia bermimpi tentang Islam yang membuka ruang dialog, bukan menutup diri dalam dogma. Dalam hal ini, Kartini sudah menunjukkan intuisi spiritual yang mendalam tentang peran agama dalam perjuangan perempuan.
Referensi Kartini terhadap pemikiran Barat---seperti feminisme awal, humanisme, dan bahkan nilai-nilai Kristiani yang menjunjung cinta kasih---menggambarkan keterbukaannya terhadap kebenaran dari mana pun datangnya. Ia tidak memusuhi Barat atau Timur, tetapi menyaring nilai-nilai yang sesuai dengan mimpinya akan keadilan dan martabat manusia. Inilah yang menjadikan perjuangannya bukan sekadar politik identitas, tapi spiritualitas kemanusiaan.
Melalui pendidikan, refleksi, dan ketekunan, Kartini membuka pintu bagi lahirnya kesadaran kolektif bahwa perempuan Indonesia layak berdiri sejajar dalam martabat. Ia membebaskan bukan dengan senjata, tetapi dengan pena dan doa. .
Literasi sebagai Jalan Terang dalam Kegelapan
Dalam sejarah emansipasi perempuan Indonesia, nama Raden Ajeng Kartini menjadi simbol dari harapan dan perlawanan. Lahir di tengah budaya Jawa yang sangat patriarkal, Kartini melihat langsung bagaimana perempuan dipinggirkan dari ruang belajar dan berpikir. Sistem feodal yang menempatkan perempuan hanya sebagai pelengkap kehidupan pria, membelenggu potensi kaum perempuan sejak dini. Dalam kondisi sosial seperti itu, semangat Kartini untuk belajar dan membaca menjadi sebuah bentuk pembangkangan yang elegan---sebuah revolusi dalam diam.

Kartini mengerti bahwa kebodohan bukan hanya soal tidak bisa membaca, tetapi tentang ketertutupan pikiran dan pembatasan wawasan. Ia melihat literasi sebagai alat utama untuk membebaskan diri dari kegelapan itu. Tidak mengherankan bila ia menulis dalam salah satu suratnya, "Kegelapan pikiran perempuan adalah sebab utama kemundurannya." Dengan membaca, Kartini tidak hanya memperkaya pikirannya, tetapi juga memupuk keberanian untuk menggugat sistem sosial yang tidak adil.
Membaca dan menulis menjadi cara Kartini mengekspresikan kebebasan dalam ruang-ruang sempit yang diberikan kepadanya. Di tengah isolasi karena masa pingitan, surat-suratnya kepada sahabat-sahabat di Belanda menjadi jendela dunia dan suara hatinya yang tidak bisa ia sampaikan di lingkungan sosialnya. Kata-kata menjadi alat perlawanan, dan surat menjadi senjata lembut yang penuh daya dobrak.
Literasi, bagi Kartini, bukan semata keterampilan individual, tetapi kekuatan kolektif yang bisa mengubah nasib perempuan. Ia percaya bahwa dengan membuka satu buku, seorang perempuan bisa membuka pintu-pintu baru dalam hidupnya. Dari sinilah Kartini mulai menggagas pentingnya pendidikan perempuan sebagai fondasi masyarakat yang beradab dan adil.
Di tengah semangat Hari Kartini yang dirayakan setiap tahun, kita diingatkan bahwa perjuangan sesungguhnya masih berlangsung. Literasi bukan hanya warisan, melainkan medan juang. Dan seperti Kartini, perempuan Indonesia hari ini masih harus berjuang membuka pintu-pintu yang tertutup, melalui kata, melalui ilmu, dan melalui iman.
Surat-Surat Kartini dan Gagasan Emansipatoris
Dalam situasi sosial yang membatasi gerak perempuan, Kartini menemukan pelarian dan pelampiasan intelektual dalam korespondensi. Surat-suratnya kepada Stella, Abendanon, dan sahabat lainnya di Belanda bukanlah sekadar sapaan personal, tetapi dokumen sejarah tentang perlawanan terhadap kebodohan struktural. Di dalam surat-surat itu, mengalir gagasan besar tentang hak perempuan untuk berpikir, belajar, dan menentukan masa depan sendiri.
Kartini adalah sosok yang sadar akan pentingnya narasi. Ia membangun narasinya sendiri, melawan arus dominan budaya yang membungkam suara perempuan. Dalam surat-suratnya, kita tidak hanya membaca keluh kesah, tetapi juga analisis tajam dan renungan mendalam tentang pendidikan, agama, budaya, dan keadilan. Ia menulis bukan sebagai korban, melainkan sebagai subjek yang sedang merumuskan ulang peta perjuangan sosial.
Bahasa dalam surat-suratnya pun lugas, puitis, dan menggugah. Ia tidak sekadar menyalurkan perasaan, melainkan memprovokasi pembaca untuk berpikir ulang tentang tatanan masyarakat yang tidak adil. Bahkan, ia mengkritik budaya feodal Jawa dan kolonialisme Belanda dengan kehalusan dan kedalaman yang jarang ditemui dari seorang perempuan muda pada masa itu. Pena menjadi alat revolusi, dan surat menjadi manifesto intelektual.
Surat-surat Kartini juga memperlihatkan betapa kuatnya pengaruh bacaan terhadap pembentukan pandangannya. Ia menyebut karya-karya sastrawan dan pemikir Eropa sebagai sumber inspirasinya, tetapi tidak serta-merta menelan mentah-mentah. Ia menyaring nilai-nilai itu dengan kesadaran lokal, menjadikannya sebagai alat dialog antara Timur dan Barat, antara tradisi dan kemajuan.
Pada akhirnya, surat-surat Kartini tidak hanya menjadi warisan pribadi, tetapi harta intelektual bangsa. Dari sinilah lahir buku Habis Gelap Terbitlah Terang yang menjadi simbol literasi emansipatoris. Kartini membuktikan bahwa dalam keterbatasan fisik, seorang perempuan bisa melahirkan revolusi hanya dengan pena dan keyakinan pada keadilan.
Literasi dan Agama
Di balik semangat Kartini memperjuangkan pendidikan dan literasi, ada satu hal yang tidak bisa diabaikan: pencariannya terhadap makna spiritual. Dalam banyak suratnya, Kartini menyinggung soal agama, bukan sebagai bentuk ketundukan, tetapi sebagai wilayah kritik dan harapan. Ia kecewa melihat bagaimana agama kerap dipakai sebagai alat pembenar diskriminasi terhadap perempuan, termasuk dalam menjustifikasi poligami, larangan sekolah, dan ketundukan total pada suami.
Namun, Kartini tidak serta-merta menolak agama. Ia justru menggali potensi agama sebagai kekuatan pencerahan. Ia bermimpi tentang Islam yang penuh kasih, membuka dialog, dan memberi ruang kepada perempuan untuk tumbuh. Ia mengagumi bagaimana dalam ajaran agama, manusia dimuliakan bukan karena gender, tetapi karena ketakwaan dan akal budinya. Literasi agama, bagi Kartini, adalah cara untuk membongkar makna-makna yang terkubur di balik tradisi.
Semangat ini sangat selaras dengan nilai-nilai spiritualitas pembebasan yang juga berkembang dalam banyak pemikiran lintas iman. Ajaran Katolik, misalnya, mengenal prinsip fides quaerens intellectum---iman yang mencari pengertian. Kartini menunjukkan sikap serupa: iman bukan untuk menutup akal, tapi justru untuk menghidupkannya. Ia ingin agar perempuan dapat mengenal Tuhannya melalui pemahaman, bukan sekadar warisan turun-temurun.
Kartini memahami bahwa agama seharusnya membebaskan, bukan mengekang. Ia ingin perempuan mengenal Tuhannya bukan karena takut, tetapi karena cinta dan pengetahuan. Dalam suratnya, ia menulis bahwa ia ingin belajar Islam dari Al-Quran yang diterjemahkan dan dijelaskan secara rasional. Ia mendambakan pendidikan agama yang mendidik hati dan akal secara bersamaan.
Dengan demikian, perjuangan Kartini tidak bisa dilepaskan dari pencarian spiritual. Literasi baginya bukan sekadar membaca buku-buku Eropa, tapi juga membaca kitab suci dengan terang akal dan hati. Inilah wajah Kartini sebagai intelektual spiritual, yang memadukan iman dan pengetahuan untuk membebaskan perempuan dari kegelapan.
Kartini dan Nilai Kemanusiaan Universal
Meski Kartini besar dalam tradisi Islam Jawa, ia memiliki kekaguman mendalam terhadap nilai-nilai cinta kasih yang diajarkan dalam tradisi Kristiani. Ia tidak memandang iman sebagai sekat identitas, melainkan sebagai jalan-jalan menuju kebenaran yang universal. Dalam suratnya kepada Abendanon, ia mengungkapkan betapa ia terinspirasi ajaran tentang kasih, pengampunan, dan kemanusiaan. Nilai-nilai ini sangat membekas dalam visinya tentang masyarakat yang lebih adil dan manusiawi.
Kartini menunjukkan bahwa semangat emansipasi tidak harus bertentangan dengan spiritualitas. Justru dalam cinta kasih itulah ia menemukan kekuatan untuk mencintai bangsanya, memperjuangkan hak kaumnya, dan menghormati sesama manusia tanpa melihat perbedaan agama. Baginya, cinta kasih adalah hukum moral tertinggi yang melampaui aturan sosial dan dogma keagamaan.
Pemikiran Kartini ini beresonansi dengan nilai yang menjunjung tinggi martabat manusia, terlebih kaum kecil dan tersingkir. Ia sangat memahami bahwa perempuan kerap menjadi korban dari struktur sosial dan keagamaan yang kaku. Maka, cinta menjadi alat revolusi---bukan cinta yang sentimental, tetapi cinta yang aktif memperjuangkan keadilan.
Dalam konteks ini, Kartini bisa dilihat sebagai jembatan spiritual antara nilai-nilai Timur dan Barat, Islam dan Kristen, tradisi dan pembaruan. Ia menyadari bahwa pembebasan perempuan membutuhkan bukan hanya hukum dan sistem, tapi juga transformasi batin dan relasi antar manusia yang dilandasi kasih. Maka, memperingati Hari Kartini bukan hanya soal mengenang sejarah, tetapi juga melanjutkan semangat cinta yang memerdekakan.
Relevansi Kartini dalam Konteks Kontemporer
Lebih dari seratus tahun sejak Kartini menulis surat-suratnya, perjuangan literasi perempuan masih menjadi pekerjaan rumah besar di Indonesia. Di banyak daerah, anak perempuan masih menghadapi keterbatasan akses pendidikan, kemiskinan struktural, dan tekanan budaya yang memaksa mereka putus sekolah. Dalam situasi ini, semangat Kartini tetap relevan: bahwa literasi adalah jalan menuju pembebasan.

Pendidikan bukan hanya soal angka partisipasi sekolah, tetapi juga kualitas berpikir, kemampuan membaca dunia, dan keberanian untuk bertanya. Gerakan literasi yang sejati harus menyentuh akar: keluarga, komunitas, dan iman. Kartini mengajarkan bahwa perempuan tidak hanya perlu belajar, tetapi juga membangun komunitas yang saling memberdayakan lewat pengetahuan.
Kini, literasi digital menjadi tantangan baru. Perempuan harus dibekali kemampuan kritis agar tidak terjerumus pada informasi menyesatkan atau budaya konsumtif. Literasi bukan hanya membaca teks, tetapi juga membaca konteks---melihat ketimpangan sosial dan mengambil peran aktif untuk mengubahnya. Inilah warisan Kartini yang perlu kita hidupkan.
Peran lembaga agama dan pendidikan sangat penting dalam menumbuhkan kembali semangat belajar dan berpikir kritis di kalangan perempuan. Seperti yang diimpikan Kartini, iman dan ilmu seharusnya saling menguatkan, bukan melemahkan. Gereja, pesantren, sekolah, dan keluarga adalah ruang-ruang strategis untuk menyalakan kembali obor literasi itu.
Dengan demikian, peringatan Hari Kartini tidak cukup dengan upacara atau pakaian adat. Kita harus bertanya: sudahkah kita menjadi bangsa pembelajar seperti yang dicita-citakan Kartini? Sudahkah perempuan-perempuan muda hari ini menulis surat-surat baru untuk dunia?
Kartini telah menunjukkan kepada kita bahwa revolusi bisa lahir dari meja belajar, dari surat yang ditulis dalam kesunyian, dari doa yang dirangkai dengan ketulusan. Literasi, iman, dan cinta menjadi tiga pilar perjuangannya yang tetap relevan hingga kini. Ia membebaskan bangsanya dengan pena dan menghidupi imannya dengan pembelajaran yang terus-menerus.
Maka, memperingati Kartini berarti melanjutkan perjuangannya: mencintai ilmu, memperjuangkan keadilan, dan memuliakan perempuan dengan cara yang paling luhur, melalui pengetahuan yang membebaskan dan cinta yang mencerahkan.
Depok, 22/4/2025
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI