Memaksa semua pekerja untuk berkontribusi dalam skema ini tanpa mempertimbangkan kepemilikan rumah yang sudah ada dapat menimbulkan ketidakpuasan dan dianggap sebagai pemotongan gaji yang tidak perlu. Selain itu, ketentuan kepemilikan rumah sudah diatur dalam BPJS Ketenagakerjaan, yang mencakup program pembiayaan perumahan bagi para pekerja.Â
Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai kebutuhan adanya aturan khusus seperti Tapera. Dengan adanya BPJS Ketenagakerjaan yang sudah menyediakan solusi serupa, Tapera tampaknya hanya menambah lapisan birokrasi tanpa menawarkan manfaat yang jelas atau tambahan bagi masyarakat.
Baca juga:Â KPR: Jalan Menuju Rumah Impian atau Jerat Utang Tak Berujung?
Lebih lanjut, definisi warga yang belum memiliki rumah juga dianggap ambigu. Beberapa individu yang menjadi sasaran program Tapera mungkin sudah memiliki rumah, namun tetap diwajibkan untuk berkontribusi dalam skema ini.Â
Tanpa kriteria yang jelas dan selektif, program ini dapat kehilangan fokus dan tidak mencapai tujuan utamanya untuk membantu mereka yang benar-benar membutuhkan. Untuk meningkatkan efektivitas Tapera, pemerintah perlu memastikan bahwa kebijakan ini didesain dengan mempertimbangkan situasi nyata masyarakat.Â
Sebelum menerapkan pemotongan gaji, harus ada evaluasi yang akurat mengenai status kepemilikan rumah para pekerja. Kebijakan ini juga harus diselaraskan dengan program yang sudah ada seperti BPJS Ketenagakerjaan untuk menghindari redundansi dan memastikan bahwa upaya bantuan perumahan tepat sasaran dan efektif.Â
Dengan demikian, Tapera dapat menjadi alat yang bermanfaat untuk membantu masyarakat memiliki rumah, bukan sekadar kebijakan tambahan yang menambah beban bagi pekerja yang sudah memiliki rumah.
Kriteria Tapera Sebagai KebijakanPeluncuran Tapera lalu memunculkan beberapa pertanyaan penting terkait apakah kebijakan ini telah memenuhi syarat atau kriteria pembuatan kebijakan publik, terutama dalam mengatur kepentingan masyarakat secara langsung.Â
Untuk menilai hal ini, kita perlu mempertimbangkan beberapa aspek utama dari pembuatan kebijakan publik, yaitu transparansi, akuntabilitas, partisipasi publik, dan efektivitas implementasi.
1. Transparansi dan Akuntabilitas