Mohon tunggu...
Sultani
Sultani Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis Lepas

Senang menulis kreatif berbasis data

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Kehangatan Mertua Selalu Ada Bersama Kami

16 Mei 2024   18:29 Diperbarui: 25 Mei 2024   10:50 270
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi mertua dan menantu, tips menjalin hubungan harmonis dengan mertua (Shutterstock/Monkey Business Images

Relasi mertua menantu tidak bedanya seperti relasi anak dengan orangtua karena kedudukan keduanya sama saja bagi kita dengan pasangan kita. Mertua adalah orangtua bagi menantu, begitu juga sebaliknya menantu adalah anak bagi mertua. Karena itu relasi keduanya harus terbangun secara simetris tanpa kendala yang berarti. 

Tetapi? Ya, tetapi banyak tetapinya kalau dalam realitas. Tidak semua relasi mertua menantu bisa berjalan mulus penuh kasih sayang layaknya anak kepada orang tua, atau orang tua kepada anak. 

Ada keluarga yang menantunya dinilai keras kepala, songong, malas, atau egois. Ada juga yang sebaliknya, menantu memandang mertua sebagai manusia kolot, gila hormat, suka gibahin menantu, egois, dan otoriter. 

Penilaian-penilaian negatif atau stereotipe dalam relasi mertua menantu ini hanya pendapat pribadi saya yang saya acu dari cerita-cerita teman atau saudara, membaca, atau mendengar konsultasi di media. Menurut saya tidak semua benar, dan tidak semua salah. Semua ada salah dan benarnya. 

Saya tidak akan menilai sejauh mana penilaian-penilaian subyektif saya tersebut benar atau salah. Saya hanya mau menceritakan beberapa pengalaman saya dalam relasi dengan mertua saya, baik yang laki-laki maupun perempuan. 

Menurut saya keduanya adalah mertua yang ideal, mertua yang mampu bersikap adil dalam memperlakukan saya dengan istri sama-sama sebagai anak. 

Mertua laki atau bapak mertua adalah seorang pensiunan kepala desa di salah satu desa yang ada di Kabupaten Tasikmalaya. Pertama kali ketemu beliau sekitar akhir tahun 1990 saat masih pendekatan kepada anaknya. Kesan saya waktu itu, bapak dari calon pacar saya orangnya serius, agamis, dan pendiam. 

Ketika pacaran, intensitas pertemuan kami sangat jarang, karena lokasi tempat tinggal yang berjauhan. Waktu itu calon mertua tinggal di Tasik dan Kuningan sementara saya di Depok. Kami hanya ketemu kalau beliau ke Bekasi, ke rumah anak sulungnya. 

Setelah saya menikahi putrinya, pertemuan kami mulai intens karena mertua berdua selalu wara wiri dari Kuningan ke Bekasi, lalu ke Depok. Mereka kalau ke Depok tidak lupa membawa oleh-oleh kesukaan kami, yaitu opak, rengginang, dan ikan tawes. Untuk ikan tawes, bapak mertua memang sengaja bela-belain untuk mengolahnya terlebih dahulu sehingga begitu sampai di Depok langsung bisa digoreng. 

Karena masih pengantin baru, waktu bercengkerama kami lebih banyak. Beliau suka ngariung atau ngobrol sambil berkumpul di ruang tamu atau ruang keluarga. 

Dalam momen ngariung inilah beliau bercerita tentang masa kecil istri, dan bertanya tentang rencana saya ke depan. Saya pun menceritakan dengan senang hati tentang visi hidup saya 10 tahun lagi. 

Ilustrasi relasi mertua menantu (Sumber: CNNIndonesia.com)
Ilustrasi relasi mertua menantu (Sumber: CNNIndonesia.com)

Waktu itu kami masih ngontrak, jadi saya sampaikan bahwa saya harus bisa beli rumah dalam waktu satu atau dua tahun setelah menikah. Setelah itu baru punya momongan, dan beli isi rumahnya pelan-pelan. Mertua mendengar dengan antusias sambil menyelipkan ungkapan doa semoga Allah mengabulkan cita-cita kami. Kami pun serempak mengucapkan "amin". 

Kalau sekali ke Depok mereka biasanya menginap 2 sampai 3 malam. Setelah itu pindah lagi ke rumah ipar saya di Depok juga. Hubungan kami semakin dekat ketika istri melahirkan anak pertama. Waktu itu masih di kontrakan. Tapi niat untuk beli rumah mulai diwujudkan dengan mulai mencicil DP pertama ke developer. Rumah ini adanya di Parung, Kabupaten Bogor.

Anak pertama saya ini memang bukan cucu pertama mereka. Tapi mereka sangat menyayanginya. Setiap pagi mereka suka menggantikan tugas saya menjemur bayi mungil ini di bawah sinar mentari pagi di halaman rumah. 

Kadang mereka membawa keliling bayi ini dengan kereta dorong keliling komplek kontrakan. Senang juga saya melihat kedekatan kedua mertua saya ketika sedang menjemur anak bayi kami. Mereka suka berantem untuk gantian gendongnya. 

Saya yang sudah siap dengan pakaian kerja hanya bisa mendekat, gendong sebentar dan serahkan lagi ke mereka karena harus segera berangkat. Sebelum berangkat  tidak lupa memberi salam sambil menciumi tangan mereka satu per satu. 

Bapak mertua dan ibu mertua suka menceritakan perkembangan anak saya begitu saya ada di rumah pada malam harinya. Kami suka berkumpul di ruang keluarga sambil menonton televisi bersama-sama. Anak bayi kalau malam-malam begitu hanya tidur di kamar bersama ibunya. Kami bertiga terlibat dalam obrolan ngalor ngidul kalau topik tentang anak sudah habis dibahas. 

Begitu kami pindah ke rumah di Parung, mertua saya adalah orang paling sibuk mengurusi proses perpindahan. Ketika kami memindahkan barang-barang dari kontrakan ke atas pick up mertua laki bertindah seperti mandor menghitung semua barang yang ada. Bahkan beliau sampai rela harus ikut-ikut angkut barang. Kalau ibu mertua lebih konsen menjaga bayi, karena ibunya sedang mengatur barang-barang dari kamar. 

Sesuai dengan tradisi kita, mertua saya lalu mengarahkan saya dan istri untuk tetap berada di luar area pagar rumah sebelum beliau memberi isyarat untuk masuk. 

Beliaulah yang mengarahkan bacaan-bacaan yang mesti saya ucapkan ketika mulai memasuki area halaman rumah sampai ke pintu. Beliau juga yang mengarahkan saya untuk azan di titik-titik yang menurut pengamatan beliau bisa menjadi sumber berkah untuk keluarga kelak. 

Setelah tinggal di rumah baru ini  komunikasi dan kedekatan saya dengan mertua semakin intens. Apalagi setelah kami diberi rezeki untuk membeli sebuah sedan tua yang tangguh sehingga bisa dibawa touring ke Kuningan bolak-balik. 

Sebelum kami beli mobil, setiap lebaran kami selalu berkumpul bersama mertua dan ipar-ipar secara bergantian. Lebaran pertama setelah pernikahan kami lebaran bersama mertua di Kuningan. Setelah anak pertama kami lahir lebaran di rumah kontrakan kami. Lalu gantian di Bekasi, Cikarang, dan ke Depok lagi. 

Baca juga: Pengalaman Mudik Pertama Dengan Mobil Sendiri

Ketika lebaran pertama di Kuningan dengan mobil sendiri mertua kelihatan senang banget menjemput kami di depan Masjid Agung Kuningan, meski waktunya sudah jam 11 malam lewat. 

Beliau dengan sabar menunggu bahkan mau menambah uang tambahan ke tukang ojek yang mengantar sekalian menunggu. Begitu bertemu di depan masjid raut mukanya tetap ceria meskipun ada rasa kantuk yang tidak bisa disembunyikan. 

Lebaran adalah momentum di mana pesona seorang mertua sebagai orang tua semua muncul di tengah-tengah keluarga kami. Mulai dari shalat Ied pada pagi hari mertua selalu mengingatkan kepada kami semua untuk mempersiapkan diri pagi-pagi supaya semua orang bisa mendapat giliran mandi di kamar mandi yang adanya cuma satu. Mertua selalu mandi paling pertama sebelum shalat Subuh.

Setelah shalat Ied momen yang paling haru sudah menanti, yaitu sungkeman. Dimulai dari anak tertua sampai bungsu, lalu disusul dengan cucu-cucu sesuai urutan orang tuanya dalam keluarga. Saya meskipun bukan orang Sunda yang tumbuh dengan tradisi sungkeman ini, hati saya jadi ikut tersentuh mengikuti acara ini. 

Ketika kami bersalaman mertua langsung merapatkan mulutnya ke kuping saya sambil memegang pundak saya. Beliau selalu membisikkan agar menjaga anak istri, jangan lupa mendidik mereka untuk selalu melaksanakan shalat. Tidak lupa beliau selalu meminta maaf kalau perilaku putrinya membuat saya tidak berkenan.

Momentum lebaran tetap menjadi kenangan yang paling mengesankan bersama mertua. Beliau selalu memimpin kami untuk melaksanakan ritual-ritual penting seperti sungkeman, makan bersama, hingga silaturahmi ke suadara yang lain. Kehadirannya sangat terasa dan memberikan rasa teduh kepada keluarga semua anak-anaknya.

Ada saat di mana mertua terserang strok ringan di Kuningan. Mendapat kabar dari ibu mertua, saat itu juga saya bersama keluarga kecil kami langsung berangkat ke Kuningan. 

Saat itu saya bertugas di Semarang, jadi perjalanannya relatif lebih cepat dibanding kalau dari Depok. Sampai di Kuningan, saya dapati mertua duduk di lantai sambil selonjoran. Bicaranya pelan, mukanya sayu, badannya terlihat lemas. Hidupnya setelah terserang strok ringan menjadi tidak semangat.

Wajahnya yang selalu ceria penuh dengan senyum ketika bertemu kami, malam itu tidak begitu terlihat. Ada senyuman di bibirnya, tetapi matanya sayu dan tidak bisa beranjak dari tempatnya. Kami menghampirinya untuk bersalaman.

Setelah itu saya berinisiatif untuk memijit-mijit bagian kaki yang terserang stroke. Saya selalu ajak bicara supaya pikiran beliau tidak kosong. Ada jawaban tapi suaranya terdengar lirih. Saya mencoba untuk membangkitkan semangatnya dengan meminta beliau untuk menggerak-gerakkan jari kakinya. Kemudian saya arahkan untuk mengangkat sedikit lututnya.

Berat sekali. Saya bisa merasakan susahnya mertua untuk mengangkat lututnya sendiri. Saya kemudian membantu untuk mengangkatnya pelan-pelan sambil bertanya bagaimana rasanya. 

Beliau hanya memberikan isyarat seperti orang yang putus asa karena kesulitan menggerakkan kakinya. Saya mencoba memijat-mijat kembali kakinya sambil memberi semangat bahwa stroke ringan bisa disembuhkan. 

Kami tiba di Kuningan setelah Isa dan langsung diskusi dengan ibu mertua untuk langsung dibawa ke rumah sakit malam itu juga. Tapi bapak mertua menolak. Beliau meminta besoknya saja ke rumah sakit. 

Sebagai kompensasinya saya dan istri bergantian memijat kaki sampai beliau merasa nyaman. Sampai larut malam semua anak-anak beliau sudah berkumpul semua di rumah mertua. 

Di rumah sakit, dokter mendiagnosa bahwa mertua terserang stroke ringan. Kondisinya belum bahaya jadi boleh rawat jalan. Mertua kami belikan tongkat untuk membantu meringankan beban kakinya ketika berjalan nanti. 

Sebelum meninggalkan rumah sakit mertua terlihat begitu sumringah karena melihat semua anak cucunya berkumpul di lobi rumah sakit menjemput dirinya yang baru keluar dari ruang dokter didorong oleh ibu mertua. Kami semua menghampiri dan mengelilingi mereka berdua. 

Relasi mertua menantu itu merupakan hubungan yang paling hangat, paling dinamis, paling tulus dan abadi, sama seperti hubungan kita dengan orang tua. Kedua mertua saya sekarang sudah berpulang semua, sosok mereka tetap hadir dalam momen-momen sakral seperti lebaran. Ketika kami berkumpul bersama, sosok kedua mertua selalu menjadi pembahasan yang hangat dari tahun ke tahun. 

Jadi, mumpung kita masih punya waktu untuk berkumpul dengan mertua, bahagiakanlah diri kita dengan membuat mereka tersenyum melihat kita selalu bahagia bersama anak dan cucunya. Kehangatan mertua akan selalu ada bersama kita. 

Depok, 16/5/2024

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun