Mohon tunggu...
Sultani
Sultani Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis Lepas

Senang menulis kreatif berbasis data

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Mengapa Sopir Selalu Menjadi "Tumbal" Kecelakaan Bus?

16 Mei 2024   10:40 Diperbarui: 17 Mei 2024   08:33 777
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi SAD, sopir bus Putera Fajar yang kecelakaan di Ciater, Subang (Sumber: Mediaindonesia.com)

Dari hasil penyelidikan terbaru, bus Putera Fajar ternyata tidak hanya layak jalan, tetapi juga sudah mengalami modifikasi bodi secara ngawur. Bus itu dimodifikasi dengan bodi jenis SHD atau super high decker. Padahal sasis bus lansiran 2006 itu tidak mendukung penggunaan bodi dek tinggi (Detik.com, 14/5/2024).

Sejatinya perombakan bodi tidak bisa dilakukan secara asal, tetapi perlu memperhitungkan juga jenis dan kondisi bus tersebut. Bus PO Trans Putera Fajar menggunakan sasis Hino AK1JRKA yang masih pakai per daun, tidak cocok menggunakan bodi SHD yang tinggi. Perombakan bodi yang dilakukan pada bus ini sangat bertentangan dengan regulasi dan kenyamanan kendaraan saat beroperasi, terutama dari sisi keselamatannya

Sopir Sebagai Tumbal

Tanggal 14 Mei 2024 atau tiga hari setelah kecelakaan maut bus Putera Fajar di Ciater, Subang, polisi akhirnya menetapkan Sadira,  sopir bus tersebut sebagai tersangka tunggal dalam peristiwa yang merenggut 11 nyawa itu.

Putusan tersebut ditetapkan setelah polisi memeriksa 13 saksi dan 2 saksi ahli. Sadira terbukti lalai karena memaksa jalan bus yang dalam keadaan sudah rusak tak layak jalan. Sadira diancam dengan Pasal 411 ayat 5 Undang-undang No. 22 tahun 2009 tentang Lalulintas dan Angkutan Jalan dengan ancaman hukuman maksimal 12 penjara dan denda Rp24 juta 

Melansir Kompas.com, 14/5/2024, polisi menjelaskan beberapa penyebab kecelakaan bus, di antaranya: Oli sudah keruh karena sudah lama tidak diganti. Adanya campuran air dan oli di dalam kompresor yang seharusnya hanya berisi udara saja.

Hal ini terjadi karena ada kebocoran oli Jarak antara kampas rem di bawah standar yakni 0,3 mm. Seharusnya jarak minimalnya 0,45mm Terjadi kebocoran di dalam ruang relaypart dan sambungan antara relaypart dengan booster, karena adanya komponen yang sudah rusak sehingga saluran tidak tertutup rapat dan menyebabkan tekanan berkurang.

Kasus ini menjadi titik kritis membenahi sistem angkutan darat, khususnya bus pariwisata. Insiden ini membuka persoalan lebih luas tentang pihak-pihak yang ditengarai harus bertanggung jawab, selain sopir bus yang selama ini "selalu dijadikan tumbal setiap kecelakaan bus". Pihak-pihak yang tak bisa lepas dari kecelakaan ini maupun insiden yang berulang, antara lain: Perusahaan Otobus.

Sudah saatnya, pengusaha bus yang tidak mau tertib administrasi diperkarakan. Selama ini, selalu sopir yang dijadikan tumbal setiap kecelakaan bus. Perusahaan Otobus yang melanggar administrasi hingga berdampak terhadap hilangnya nyawa orang semestinya ikut diperkarakan sebagai efek jera. 

Setelah kecelakaan bus Putera Fajar di Subang, Kemenhub dan Polri langsung mengadakan cek massal kelayakan bus pariwisata di 6 provinsi. Tapi apa sanksinya?

Dalam regulasinya, pihak yang tidak mematuhi uji berkala ini hanya sebatas diberi sanksi peringatan tertulis dan denda administratif. Pemilik kendaraan yang mengabaikan peringatan ini paling banter diganjar Rp24 juta. Sanksi berat justru dibebani kepada pengemudi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun