Akhirnya Mahkamah Konstitusi menuntaskan semua kecurigaan pasangan Calon Presiden nomor urut 01 Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar yang menuding bahwa pelaksanaan Pilpres dipenuhi dengan unsur kecurangan, campur tagan Presiden Joko Widodo, keberpihakan Mahkamah Konstitusi dan lembaga penyelenggara pemilu pada pasangan nomor urut 02, Prabowo Subianto- Gibran Rakabuming Raka. MK telah memutuskan bahwa semua tuduhan yang diajukan terhadap paslon nomor urut 2, Presiden dan jajaran pemerintahan, serta lembaga penyelenggara pemilu tidak terbukti.Â
Ketua MK Suhartoyo saat mengawali pembacaan putusan menyatakan bahwa putusan ini diambil setelah membaca permohonan Anies-Muhaimin sebagai pemohon, mendengar keterangan pemohon, membaca dan mendengar jawaban KPU sebagai termohon. Selain itu, MK juga sudah mendengar keterangan kubu Prabowo-Gibran sebagai pihak terkait dan Bawaslu, serta keterangan saksi, ahli, dan kesimpulan dari Anies-Muhaimin, KPU, Prabowo-Gibran, dan Bawaslu.Â
Tidak ketinggalan, MK juga telah membaca dan mendengar keterangan dari 4 orang menteri dari Kabinet Jokowi, membaca keterangan amicus curiae dari berbagai pihak serta memeriksa alat bukti yang diberikan Anies-Muhaimin, KPU, Prabowo-Gibran, dan Bawaslu.Â
Semua materi dan keterangan tersebut dijadikan MK sebagai bahan pertimbangan utama dalam membuat keputusan agar sidang sengketa Pilpres 2024 bisa memberikan jawaban yang transparan dan  jelas atas tuduhan kecurangan dan keterlibatan aparatur kekuasaan dalam memobilisasi dukungan bagi pasangan calon tertentu. Â
“Menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua Majelis Hakim MK Suhartoyo.
Dari sidang  sengketa pilpres ini saya menemukan 5 fakta menarik yang saya rangkum dari berbagai media. Fakta-fakta tersebut adalah:
1. Kecurangan tidak terbukti
MK menyatakan menolak seluruh gugatan pasangan Anies-Muhaimin selaku pemohon yang mendalilkan adanya kecurangan dalam Pilpres2024, sehingga menguntungkan pasangan Prabowo-Gibran dengan perolehan suara yang sangat signifikan. Gugatan pasangan mantan Menteri Pendidikan Nasional dan mantan Menteri Tenaga Kerja itu dianggap tidak beralasan menurut hukum. Mahkamah tidak akan mempertimbangkan lebih lanjut dalil-dalil yang disampaikan pemohon lantaran dinilai tidak relevan.Â
"Mahkamah berpendapat permohonan pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya," ujar hakim konstitusi Guntur Hamzah.
Lebih lanjut dia menyebutkan, "jika masih terdapat fakta hukum dalam persidangan baik yang didalilkan atau tidak didalilkan oleh pemohon belum dinilai dan dipertimbangkan, Mahkamah meyakini hal tersebut tidak dapat membuktikan adanya relevansi dengan signifikansi perolehan suara atau hasil yang merupakan prinsip dasar dalam mengungkap perselisihan hasil tentang pemilihan umum sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945."
Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (PHPU Presiden dan Wakil Presiden) adalah perselisihan antara pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden dengan KPU mengenai penetapan perolehan suara hasil Pemilu secara nasional. Sengketa hasil Pilpres ini berkaitan dengan perselisihan penetapan perolehan suara hasil Pilpres  secara nasional yang sudah ditetapkan oleh KPU pada 20 Maret lalu.Â
Berdasarkan Keputusan KPU RI Nomor 360 Tahun 2024, Ganjar-Mahfud hanya sanggup mengoleksi 27.040.878 suara atau sekitar 16,47 persen dari seluruh suara sah nasional. Pasangan itu tertinggal jauh dari Prabowo-Gibran yang memborong 96.214.691 suara atau sekitar 58,58 persen dari seluruh suara sah nasional. Sementara itu, Anies-Muhaimin mengantongi 40.971.906 suara atau sekitar 24,95 persen dari seluruh suara sah nasional.
MK telah menolak gugatan pasangan ini lantaran dalil-dalil tentang kecurangan yang diajukan dinilai tidak relevan sehingga tidak beralasan hukum secara keseluruhan. Artinya, tuduhan bahwa kemenangan Prabowo-Gibran atas Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud tidak diterima oleh Mahkamah karena tidak terbukti secara hukum.Â
MK ternyata menolak juga  dalil pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar yang menuding Bawaslu tidak menindaklanjuti dugaan kecurangan pasangan calon nomor urut 2, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming. "Dalil pemohon mengenai Bawaslu tidak menindaklanjuti dugaan pelanggaran pemilu yang dilakukan pasangan calon nomor urut 2 dengan alasan kurang bukti materil adalah tidak beralasan menurut hukum," kata hakim MK Enny Nurbainingsih.Â
Sebaliknya, Mahkamah justru menilai Bawaslu telah menindaklanjuti dugaan pelanggaran, misalnya terkait pencalonan Gibran yang dianggap tidak sesuai dengan Peraturan KPU Nomor 19 Tahun 2023 yang salah satunya mengatur syarat usia calon presiden dan wakil presiden. Menurut MK, Bawaslu juga punya kewenangan untuk menentukan syarat formil dan materil agar laporan diregistrasi dan ditindaklanjuti sebagaimana diatur oleh UU Pemilu. "Mahkamah tidak menemukan bukti yang cukup meyakinkan bahwa Bawaslu tidak menindaklanjuti dugaan pelanggaran pemilu yang dilakukan pasangan calon nomor urut 2," kata Enny (Sumber)
2. Pencalonan Gibran Dinyatakan Sah
Dalam gugatannya ke MK, kubu Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar menilai Gibran tak memenuhi syarat administrasi, sebab KPU RI memproses pencalonan Gibran menggunakan Peraturan KPU (PKPU) Nomor 19 Tahun 2023. Dalam PKPU itu, syarat usia minimum masih menggunakan aturan lama sebelum putusan MK, yakni 40 tahun. Untuk kasus ini, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) juga telah menyatakan seluruh komisioner KPU RI melanggar etika dan menyebabkan ketidakpastian hukum terkait peristiwa itu.
MK menilai, Gibran Rakabuming Raka, telah memenuhi syarat sehingga tidak ada permasalahan dalam keterpenuhan syarat tersebut bagi Gibran selaku cawapres. Pencalonan Gibran dinyatakan sah dan memenuhi syarat sebagai cawapres lantaran terdapat perubahan syarat pencalonan presiden dan wakil presiden yang tertuang dalam Putusan MK Nomor 90 Tahun 2023.Â
Kisruh di balik pencalonan Gibran tersebut karena ada kecurigaan bahwa Presiden Joko Widodo selaku ayah kandung mengintervensi dalam perubahan syarat pencalonan presiden dan wakil presiden. Mahkamah membenarkan Putusan Majelis Kehormatan MK (MKMK) Nomor 2 Tahun 2023 yang menyatakan Ketua MK terdahulu, Anwar Usman, melakukan pelanggaran etik berat akibat Putusan MK Nomor 90 Tahun 2023. Terhadap tuduhan tersebut Mahkamah berpandangan, Putusan MK itu bukan berarti membuktikan bahwa ada cawe-cawe Kepala Negara dalam perubahan syarat pencalonan presiden dan wakil presiden.Â
Hakim MK Arief Hidayat berpendapat bahwa dalam konteks sengketa hasil pemilu, persoalan yang dapat didalilkan bukan lagi mengenai keabsahan atau konstitusionalitas syarat calon, namun keterpenuhan syarat pasangan calon peserta pemilu. Hasil verifikasi serta penetapan pasangan calon yang dilakukan oleh KPU sudah sesuai dengan ketentuan (Kompas.com, 22/4/2024)
Selain itu, MK juga menyoroti sikap  capres-cawapres dan partai politik pengusung yang tidak berkeberatan atas tindakan meloloskan pencalonan Gibran Rakabuming Raka meski KPU tidak segera mengubah syarat usia capres-cawapres pasca-Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023.  Setelah penetapan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Pemilu Tahun 2024, tidak ada satu pun pasangan calon yang mengajukan keberatan terhadap penetapan Pasangan Calon Nomor Urut 2, termasuk Anies-Muhaimin.
Oleh karena itu, Mahkamah berpandangan pencalonan Gibran tersebut tidak bermasalah. Hasil verifikasi dan penetapan paslon oleh KPU sudah sesuai ketentuan dan tidak ada bukti yang meyakinkan MK bahwa Presiden Jokowi ikut cawe-cawe dalam mengubah syarat paslon dalam Pilpres 2024 (Kompas.com, 22/4/2024).
3. KPU Tetap Netral
KPU dinilai oleh kubu Anies-Muhaimin telah memproses pencalonan Gibran menggunakan Peraturan KPU (PKPU) Nomor 19 Tahun 2023 yang mensyaratkan usia minimal berdasarkan aturan lama sebelum putusan MK, yakni 40 tahun. Karena tindakan tersebut DKPP telah menyatakan seluruh komisioner KPU RI melanggar etika dan menyebabkan ketidakpastian hukum terkait peristiwa itu. Menurut tim dari paslon nomor urut 01 ini, kelalaian KPU tersebut membuat pencalonan Gibran sebagai cawapres tidak memenuhi syarat administrasi.
Tuduhan ini ditampik MK karena tidak ada bukti bahwa KPU berpihak terhadap calon wakil presiden nomor urut 2, Gibran Rakabuming Raka lantaran memproses pencalonan putra Presiden Joko Widodo itu walau tak segera mengubah syarat usia capres-cawapres pasca-Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023. MK malah mengapresiasi inisiatif KPU untuk memberi tahu adanya perubahan syarat usia capres-cawapres berdasarkan Putusan MK kepada Pimpinan Partai Politik Peserta Pemilu 2024.Â
Menurut Mahkamah, perubahan syarat yang diberlakukan KPU substansinya telah sesuai dengan putusan MK dan diberlakukan kepada seluruh pasangan capres-cawapres. KPU juga dinilai telah memberi tahu bahwa mereka tidak bisa segera mengubah Peraturan KPU terkait syarat usia capres-cawapres karena untuk melakukan itu mereka harus berkonsultasi dengan DPR dan pemerintah, sedangkan DPR masih dalam masa reses saat itu. Sedangkan KPU sendiri juga terikat dengan jadwal dan tahapan pencalonan presiden dan wakil presiden meskipun wajib menerapkan putusan MK yang berpengaruh terhadap norma pencalonan.Â
Dalam kasus ini MK menilai, KPU telah melakukan tindakan tepat sehingga tidak bisa dianggap berpihak pada pihak terkait dalam proses penetapan pasangan calon dalam Pilpres 2024. Kelambanan KPU dalam mengubah syarat usia capres-cawapres pasca-Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 tidak bisa diartikan sebagai sikap yang tidak netral (Kompas.com, 22/4/2024).
4. Pencalonan Gibran Tidak Bisa Dibatalkan
Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud  meminta MK agar Prabowo-Gibran didiskualifikasi dan digelar pemungutan suara ulang. Anies-Muhaimin juga memasukkan petitum alternatif, yakni diskualifikasi hanya untuk Gibran karena dianggap tidak memenuhi syarat administrasi. KPU dinilai telah memproses pencalonan Gibran menggunakan Peraturan KPU (PKPU) Nomor 19 Tahun 2023. Dalam PKPU itu, syarat usia minimal masih menggunakan aturan lama sebelum putusan MK, yakni 40 tahun.
Baca juga:
Putusan DKPP Tidak Bisa Menganulir Gibran Rakabuming Raka Sebagai Cawapres
Kelalaian KPU mengubah PKPU pasca-Putusan MK tersebut, yang membuat DKPP memutuskan bahwa semua komisioner KPU melanggar kode etik dan pedoman perilaku terkait pencalonan Gibran Rakabuming Raka, tidak bisa jadi dasar untuk membatalkan pencalonan Gibran.Â
Substansi putusan mengenai dugaan pelanggaran etik tersebut tidak  dapat dijadikan alasan untuk membatalkan hasil verifikasi dan penetapan pasangan calon yang telah ditetapkan oleh KPU. DKPP hanya mempersoalkan tindakan KPU yang tidak segera menyusun rancangan perubahan Peraturan KPU Nomor 19 Tahun 2023 terkait syarat usia capres-cawapres pasca-Putusan MK. Dalil yang diajukan pemohon tidak beralasan menurut hukum sehingga tuntutan untuk mendiskualifikasi Gibran sebagai cawapres tidak bisa dipenuhi MK.Â
5. Cawe-cawe Presiden Tidak Berkorelasi Terhadap Hasil Pilpres
MK menyatakan menolak dalil pasangan Anies-Muhaimin yang menuding Presiden Joko Widodo ikut campur atau cawe-cawe dalam pelaksanaan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. Alasannya, tidak ada korelasi antara pernyataan Jokowi yang mengaku ingin cawe-cawe dalam Pilpres 2024 terhadap hasil Pilpres 2024. Mahkamah juga tidak mendapatkan bukti adanya korelasi antara bentuk cawe-cawe dimaksud dengan potensi perolehan suara salah satu pasangan calon presiden dan wakil presiden.Â
Baca juga:
Jokowi, Netralitas, dan Etika Politik
MK malah mempertanyakan dalil yang tidak diuraikan lebih detail tentang tindakan cawe-cawe yang dimaksud beserta dampak dan bukti-buktinya. Kubu Anies-Muhaimin hanya menyerahkan bukti berupa artikel dan berita yang menujukkan kegiatan dan pernyataan Jokowi yang berkehendak untuk cawe-cawe dalam Pilpres 2024, namun tanpa bukti pendukung yang kuat di persidangan. Menurut MK, artikel dan berita tersebut tidak bisa ditafsirkan begitu saja sebagai kehendak untuk ikut campur dalam pelaksanaan Pilpres 2024 dengan menggunakan cara-cara di luar hukum dan konstitusi.
"Terlebih, terhadap dalil Pemohon a quo, Mahkamah tidak mendapatkan bukti adanya pihak yang keberatan, khususnya dari peserta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2024 setelah ada penetapan pasangan calon presiden dan wakil presiden yang mempersoalkan pernyataan adanya cawe-cawe dari Presiden," kata hakim MK Daniel Yusmic Foekh dalam sidang putusan sengketa Pilpres 2024, Senin (22/4/2024).Â
Terhadap dalil yang  menyebut kegagalan wacana presiden tiga periode membuat Jokowi mendukung salah satu kandidat yang diposisikan sebagai penerusnya juga ditolak Mahkamah. MK tidak menemukan penjelasan dan bukti adanya korelasi langsung antara wacana perpanjangan masa jabatan dengan hasil penghitungan suara dan/atau kualitas Pilpres 2024. Mahkamah hanya memberi penilaian bahwa wacana perpanjangan masa jabatan Presiden memang menjadi salah satu background politik dalam kontestasi dalam Pilpres.
Tuduhan lain terhadap Presiden Joko Widodo yang didalilkan kubu Anies-Muhaimin adalah tindakan nepotisme Presiden karena menyetujui dan mendukung putranya, Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres. Dalil ini pun ditolak MK karena tidak beralasan menurut hukum. Kubu Amin tidak menguraikan lebih lanjut dan tidak membuktikan dalilnya sehingga Mahkamah tidak yakin akan kebenaran dalil tersebut. Â Jabatan wakil presiden yang dipersoalkan adalah jabatan yang diisi melalui pemilihan, bukan jabatan yang ditunjuk atau diangkat secara langsung.
Baca juga:
Fenomena Gibran Sebagai Simbol Kekuatan Politik Jokowi di Pilpres 2024
Menurut pandangan MK, dukungan dan persetujuan Jokowi agar Gibran maju sebagai calon wakil presiden bukanlah bentuk nepotisme karena jabatan wakil presiden harus diisi melalui pemilihan umum. Jabatan yang terkait dengan larangan nepotisme adalah jabatan yang pengisiannya dilakukan dengan cara ditunjuk/diangkat secara langsung. Karena itu, MK beranggapan bahwa tindakan Jokowi tersebut bukanlah nepotisme.Â
Baik cawe-cawe maupun nepotisme dalam pilpres tidak terbukti dilakukan oleh Presiden Joko Widodo, dalil kubu Amin tentang intervensi Presiden terhadap perubahan syarat dalam pencalonan presiden dan wakil presiden Pilpres 2024 dengan sendirinya ditolak juga oleh MK. Intervensi tersebut mengacu pada Putusan MK Nomor 90 Tahun 2023. Putusan mengenai uji materi Pasal 169 huruf q Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu itu memberikan peluang buat seseorang yang belum berusia 40 tahun untuk maju sebagai capres atau cawapres, asalkan punya pengalaman sebagai kepala daerah.Â
Putusan tersebut kontroversial lantaran dianggap membuka jalan untuk putra sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka untuk  mencalonkan diri sebagai  wakil presiden. Namun, hal itu bukan berarti membuktikan bahwa ada cawe-cawe Kepala Negara dalam perubahan syarat pencalonan presiden dan wakil presiden. Keluarnya Putusan MK Nomor 90 di bawah kendali Ketua Mahkamah non-aktif Anwar Usman ini tidak serta-merta dapat menjadi bukti yang cukup untuk meyakinkan Mahkamah bahwa telah terjadi tindakan nepotisme yang melahirkan abuse of power presiden dalam perubahan syarat pasangan calon tersebut (Kompas.com, 22/4/2024).
6. Tidak  Ada Relevansi Antara Bansos dengan Kemenangan Prabowo-Gibran
MK tidak menemukan bukti adanya hubungan antara  penyaluran bantuan sosial (bansos) terhadap perolehan suara Prabowo-Gibran pada Pilpres 2024, sebagaimana yang didalilkan oleh pasangan Anies-Muhaimin. Penggunaan anggaran perlindungan sosial, khususnya bansos  yang yang disalurkan secara sekaligus (rapel) dan yang langsung disalurkan oleh presiden dan menteri merupakan bagian dari siklus anggaran yang telah diatur penggunaan dan pelaksanaannya.Â
Berbagai alat bukti yang diajukan oleh pemohon adalah hasil survei yang tidak dipaparkan secara komprehensif sehingga tidak memunculkan keyakinan akan korelasi antara bansos dan pemilih. Â Dengan demikian, dalil pemohon terkait bansos ini menurut Mahkamah tidak memiliki alat bukti yang secara empiris menunjukkan bahwa bansos nyata-nyata telah memengaruhi/mengarahkan secara paksa pilihan pemilih (Kompas.com, 22/4/2024).
Oleh karena itu, Mahkamah berkesimpulan bahwa penyaluran bansos oleh Presiden dan jajarannya tidak berkorelasi terhadap perolehan suara salah satu pasangan calon presiden dan wakil presiden pada Pilpres 2024. MK pun menolak dalil  Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, yang menuding bansos sebagai salah satu alat kecurangan.Â
"Terhadap dalil pemohon yang mengaitkan bansos dengan pilihan pemilih, Mahkamah tidak meyakini adanya hubungan kausalitas atau relevansi antara penyaluran bansos dengan peningkatan perolehan suara salan satu pasangan calon," kata hakim MK Arsul Sani dalam sidang putusan sengketa hasil Pilpres 2024.Â
Depok, 23/4/2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H