Mohon tunggu...
Sultani
Sultani Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis Lepas

Senang menulis kreatif berbasis data

Selanjutnya

Tutup

Foodie Artikel Utama

Berburu Kuliner di Jalur "Ciayumajakuning" bersama Arus Balik Lebaran

16 April 2024   13:53 Diperbarui: 18 April 2024   15:55 600
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi nasi jamblang (Sumber: Kompas.com)

Macet berjam-jam ketika balik lebaran, tetapi kuliner daerah yang dilewati tidak bisa dinikmati, rugi dong! Mungkin ini bisa menjadi gimmik agar arus balik lebaran 2024 bisa diisi dengan kegiatan yang berkesan dengan mengunjungi pusat-pusat kuliner di daerah yang menjadi jalur arus balik. Sudah bermacet-macet di jalan sebaiknya diimbangi dengan kegiatan yang bisa memanjakan diri dengan memberi asupan makanan yang unik. Maka berburulah kuliner bersama arus balik lebaran. 

Arus balik lebaran adalah momen untuk kita memanjakan diri dan keluarga untuk merayakan "kemenangan" perut setelah sebulan penuh dibiasakan untuk tidak diisi dengan makanan dan minuman di siang hari. Ketika balik dari mudik, perut perlu dimanjakan sesaat dengan makanan istimewa khas perjalanan lebaran, yaitu balik setelah mudik.

Apa kategori dari makanan istimewa ini? Yaitu makanan khas dari daerah-daerah yang tidak pernah kita nikmati ketika di kota. Meskipun ada beberapa makanan dari daerah lain yang dijual di kota kita, tidak ada salahnya kita mampir sejenak untuk menikmati makanan tersebut langsung di tempat asalnya.

Tentu jalur mudik dan balik lebaran yang kita lalui berbeda-beda. Ada yang ke Jawa Timur dan Jawa Tengah, ada yang ke Jawa Barat dan Banten, bahkan ada yang sampai ke Sumatera.

Semua jalur tersebut pasti akan melintasi daerah-daerah penghasil makanan atau kuliner lokal yang sudah terkenal di Jakarta dan kota-kota besar lainnya. Bahkan di seluruh Indonesia.

Misalnya Pecel Lele, Soto Lamongan, Nasi Gudeg, Rendang, Empek-empek, dan lain sebagainya. Makanan ini bisa terkenal di seantero negeri karena putra daerah yang menguasai bumbu dan teknik mengolah makanan ini membawa serta makanan ini ketika merantau. Dari merekalah makanan-makanan daerahnya bisa dirasakan dan menjadi makanan favorit.

Saya pernah menemukan pedagang tahu Sumedang di Kalimantan. Waktu itu saya sedang dalam perjalanan dari Kota Samarinda menuju Kota Bontang, di Kalimantan Timur. Di pertengahan kedua kota tersebut, "nyempil" sebuah kawasan kuliner yang cukup besar areanya. Uniknya, makanan utama yang dijual di sini adalah tahu Sumedang dari Jawa Barat.

Saya hanya bisa terheran-heran dengan pemandangan tersebut. Sambil memesan menunya saya bertanya ke pelayannya, apakah pangsa pasar tahu Sumedang di daerah Kalimantan yang lidah masyarakatnya tidak akrab dengan makanan dari kacang kedelai ini. Mereka hanya menjawab, selama ini bisnis kuliner mereka selalu ramai dikunjungi oleh para pelintas, baik orang Kalimantan asli maupun pendatang.

Pernah juga ketemu pedagang tahu Sumedang di Tanjung Selor, ibu kota Kalimantan Utara. Lapaknya terlihat ramai, bahkan warga mau ikut antre untuk membelinya.

Pernah juga dalam perjalanan dinas ke Kota Palu ketemu kuliner PKL Pecel Lele Dumbo. Selama di Jawa saya tidak pernah makan itu ikan, malah ketemunya di luar habitat yang menjadi asal makanan ini. Bayangkan lele segede lengan orang dewasa dengan panjang kira-kira 30-40 centimeter. Untuk menyajikan ke konsumen lele ini dipotong-potong menjadi 4 atau 5 bagian.

Cerita pengalaman tersebut hanya ingin menggambarkan tentang popularitas beberapa makanan daerah di Indonesia di tempat lain, yang tentu cita rasa dan tradisi pengolahannya sudah banyak berasimilasi dengan selera dan kultur masyarakat setempat.

Dalam momen lebaran, di mana waktu libur yang panjang, keluarga ngumpul utuh, dan kebetulan melintasi langsung daerahnya, maka tidak ada salahnya mampir untuk menikmati kuliner daerahnya.

Jalur "Ciayumajakuning"

Ciayumajakuning merupakan akronim dari nama 4 kabupaten/kota yang berada di kawasan utara bagian timur provinsi Jawa Barat. Nama daerah-daerah tersebut adalah Cirebon, Indramayu, Majalengka, dan Kuningan. 

ari 4 daerah tersebut, jalur balik lebaran yang saya lewati praktis hanya Cirebon dan Kuningan. Pertama, karena jalur mobilnya melintas di jalan-jalan protokol yang melintas di tengah-tengah kota Kuningan hingga Cirebon. Kedua, setelah Cirebon biasanya kami langsung masuk tol hingga ke tujuan terakhir, Depok.

Di kedua daerah ini banyak kuliner yang bisa dinikmati, mulai dari cemilan seperti tahu lontong di Kuningan hingga makanan berat seperti nasi plus lauknya dari Cirebon.

Namun, yang akan saya ceritakan di sini adalah petualangan kami berburu kuliner yang cukup terkenal tetapi jarang ditemui di luar daerahnya.

Ilustrasi kemacetan di salah satu jalur Ciayumajakuning (Sumber: Republika.co.id)
Ilustrasi kemacetan di salah satu jalur Ciayumajakuning (Sumber: Republika.co.id)

Setiap lebaran kami selalu mudik dari Depok ke Tasik melalui jalur selatan, yaitu Cipularang, Cileunyi, Nagrek, Malangbong, dan Ciawi. Sedangkan untuk baliknya selalu lewat jalur utara atau Pantura, yaitu Cirebon, melaui Ciamis dan Kuningan.

Baca juga: Inilah Tips Balik Lebaran Agar Badan Tetap Segar dan Fit Setelah Mudik

Kami biasanya akan berangkat ke Cirebon H+3 dengan pertimbangan jalur sepanjang Tasikmalaya-Ciamis sudah sepi, dan Kuningan-Cirebon sudah mulai berkurang arus kendaraannya.

Selama ini prediksi untuk jalur Tasik-Ciamis lumayan akurat karena jalan poros menuju Ciamis sudah mulai kurang kendaraan pribadi dari luar kota yang terjebak macet. Jalanan lumayan lancar sehingga bisa menghemat waktu perjalanan sampai di Kuningan.

Perjalanan Menuju Kuningan-Cirebon

Sepanjang jalan Ciamis-Kuningan banyak bertebaran restoran dan kuliner khas Sunda di pinggir jalan yang sudah jualan. Ada beberapa tempat yang eksotis dengan pemandangan sawah, atau perbukitan di belakangnya. Kami mampir dulu di salah satu rumah makan yang terbilang eksotis dengan latar pemandangan sawah dan perbukitan.

Menu makan lalapan yang menjadi makanan khas Sunda membuat tempat makan ini didominasi oleh dedaunan hijau yang dipajang di sekitar area kasir. Para pengunjung boleh mengambilnya dengan bebas. Lauk seperti ikan gurame, mujair, dan nila masih segar karena langsung diserok dari kolamnya. Sambelnya pun dibuat dari campuran tomat dan cabe yang masih segar. Nasi yang disajikan pun masih panas, dengan tekstur pulen dan aroma harum beras organik.

Begitu pesanan makanan tersaji di meja, selera makan yang tadinya turun, mendadak pulih kembali setelah mencium aroma nasi, sambel dan ikan goreng yang masih panas semua. Apalagi seporsi sayur asem keluar dari dapur dibawa oleh pelayannya yang geulis sembari melempar senyum kecil ke arah kami.

Begitu sayur asem ini mendarat di meja makan, seketika itu juga langsung saya tarik dan diseruput dengan sendok makan yang sudah ada di mangkok. Cita rasa asam dari kuahnya ini membuat saya ketagihan untuk terus menyeruputnya. Tinggal setengah mangkok saja kuah sayur asem ini ketika saya mulai mengambil nasi, lauk, dan sambel. Saya bersama istri dan anak-anak lalu larut bersama dalam kelezatan makanan yang tersaji di meja kami.

Ilustrasi makanan khas Sunda (Sumber: Detik.com)
Ilustrasi makanan khas Sunda (Sumber: Detik.com)

Tanpa terasa satu jam sudah kami menghabiskan waktu di rumah makan ini. Udara masih sejuk, padahal jarum jam tangan saya sudah menunjukkan waktu salat Duhur. Kami menambah waktu istirahat kami untuk menunaikan salat di musalah yang berada di dalam area rumah makan ini.

Jam satu kami meninggalkan rumah makan ini dengan perut kenyang dan hati yang lega. Jalan menuju Kuningan yang kami tempuh ini merupakan jalur alternatif sehingga kondisi jalannya berkelok, banyak tanjakan dan turunan, melewati persawahan dan kebun, dan ukurannya jalannya cukup dua mobil. Jalannya sendiri dalam kondisi mulus karen sudah di-hotmiks semua.

Kami tiba di Kuningan sekitar jam 3 sore langsung menuju hotel yang sudah di-booking karena ada agenda ziarah ke makam mertua besoknya. Setelah menginap semalam, kami checkout dari hotel jam 12 siang dan langsung menuju ke TPU Kuningan. Selesai ziarah kami langsung bergerak ke arah Cirebon, destinasi kami berikutnya.

Sop Dengkil Haji Jamaha

Perjalanan menuju Cirebon ternyata tidak gampang kali ini. Apalagi bertepatan dengan musim balik lebaran yang sedang bergerak menuju puncaknya. Kondisi lalu lintas di Kota Kuningan pada H+3 lebaran ternyata semakin padat begitu mobil kami masuk ke dalam iring-iringan mobil yang terjebak dalam kemacetan.

Mobil masih bisa bergerak meski pelan-pelan. Hati masih tenang karena perkiraan saya kemacetan ini ujungnya ada di Cilimus, pusat bisnis yang paling ramai di Kuningan. Selama mobil bergerak mata saya selalu awas ke sebelah kanan. Bukan karena mewaspadai kendaraan dari arah sebaliknya, tetapi mengamati salah satu rumah makan yang selalu menjadi favorit saya ketika berada di Kuningan.

Mobil terus bergerak maju. Kadang bisa cepat, tapi kemudian berhenti. Kadang lambat-lambat saja tetapi panjang. Kadang berhenti total dalam waktu yang lama. Matahari mulai condong ke barat sehingga sinarnya membuat mata ini cukup silau dan mengganggu pandangan saya.

Ilustrasi Sop Dengkil (Sumber: Banyumasekspres.id)
Ilustrasi Sop Dengkil (Sumber: Banyumasekspres.id)

Ingatan saya terakhir tentang rumah makan yang saya amati adalah terletak di pinggir jalan, tidak jauh dari kantor PLN dan Koramil, dan temboknya berwarna cerah, entah kuning atau hijau. Namanya "Rumah Makan Sop Dengkil Haji Jamaha" berada di Kecamatan Jalaksana, persis di pinggir jalan poros Kuningan-Cirebon. Kalau dari Kota Kuningan poisisinya di sebelah kanan jalan.

Karena ingatan saya mulai melemah tentang posisi tempatnya, pikiran saya selalu fokus di sebelah kanan jalan sesuai ingatan terkuat saya tentang posisinya. Kemacetan ini ternyata menjadi berkah tersembunyi buat saya, karena mobil saya yang bergerak pelan-pelan setidaknya tidak membuat kemacetan buat mobil-mobil di belakang saya.

Singkat cerita, akhirnya ketemu juga rumah makan Sop Dengkil ini. Ternyata posisinya agak menjorok ke belakang supaya bagian depannya bisa jadi lahan parkir buat 3 atau 4 mobil. Temboknya ternyata berwarna kuning cerah. Bangunannya ternyata sudah ditambah di bagian belakang dengan posisi yang lebih tinggi.

Saya langsung mengurangi kecepatan mobil, menyalakan sein kanan sambil ancang-ancang belok ke kanan. Satu per satu mobil dari depan saya biarkan lewat, sampai mendapat ruang kosong yang benar-benar aman. Dari kejauhan tukang parkir memberikan aba-aba kepada mobil yang melintas untuk berhenti dan mempersilakan mobil kami untuk terus maju.

Tukang parkir terus mengarahkan mobil kami ke tempat parkir yang ada di sisi kanan bangunan utama, dan menunjuk satu celah di antara mobil-mobil lain yang sudah terparkir di sana. Kelihatannya sore itu RM Sop Dengkil Haji Jamaha ini mendapat pengunjung yang membludak karena semua parkiran mobil terisi penuh.

Benar dugaan saya, ternyata di dalam bangunan ini semua meja sudah terisi penuh oleh para penumpang mobil yang ada di parkiran. Kami diarahkan ke bangunan di bagian belakang. Rupanya di sini juga sudah banyak pengunjung yang mengisi meja dan kursinya. Kami mendapat tempat di pojok dekat dengan jendela besar yang mengarah ke pemandangan sawah.

Menu makanan yang tercatat di daftar menu cukup banyak. Mulai dari sop dengkil yang menjadi "best seller" di sini, ada juga sop kikil, soto, bakso, nasi, ayam goreng, dan nasi goreng. Saya tidak begitu memerhatikannya dengan detail. Tapi kelihatannya menu makannya sangat variatif. Untuk minumannya tersedia aneka jus, air jeruk, teh manis, teh tawar, minuman ringan, dan air mineral. Di meja makan sendiri sudah disediakan air putih gratis dalam cerek plastik.

Kami pesan tiga porsi sop dengkil plus nasi putih, bakso, nasi goreng, ditambah minuman es jeruk, teh tawar anget, dan air mineral. Pelayanannya ramah dan responsif. Para pelayan langsung menawarkan menu makan beberapa saat setelah kita duduk. Mereka menyodorkan dengan sopan daftar menu kepada kami.

Mereka akan mencatat semua pesanan dan memberikan informasi yang perlu diketahui oleh pengunjung, terutama ketersediaan menu makannya. Kebetulan hari itu pesanan kami semua tersedia. Pelayan-pelayan ini langsung gerak cepat untuk memproses pesanan sehingga tidak pake lama nunggunya. Kurang dari 10 menit dua pelayan sudah mendatangi meja kami dengan dua nampan berisi penuh dengan makanan dan minuman yang kami pesan.

Mereka menyajikan di meja dengan sopan dan ramah. Setelah semua siap mereka lalu mempersilakan untuk menikmatinya dengan senyuman yang paling ramah. Setelah itu mereka meninggalkan kami untuk menikmati hidangan makanannya.

Sop dengkil rasanya masih gurih, sama seperti ketika saya pertama kali mencicipnya pada tahun 2007. Aroma rempah dari kuahnya sangat terasa. Rasa pedas dari jahe dan lada baru terasa setelah kuahnya melewati tenggorokan. Baru beberapa sendok kuah saja keringat sudah langsung bercucuran dari kening. Badan juga terasa basah karena keringat dampak dari rasa pedasnya.

Dengkil adalah nama untuk bagian kaki kambing, tepatnya dengkul kambing yang dipotong sekitar 15 centimeter. Kulitnya tidak dikupas semua, hanya bulunya saja yang dikerik sehingga tekstur kulitnya yang kasar terlihat jelas. Potongan daging yang masih utuh dengan tulang kakinya di bagian tengah membuat tampilannya agak beda dengan sop kikil pada umumnya.

Sepintas, cita rasa dagingnya seperti kikil. Bedanya terletak pada cita rasa alot dari kulit luar kaki kambing. Supaya nikmat, bagian ini harus digigit pelan-pelan sambil merasakan cita rasa daging yang terbungkus oleh kulit ini. Perpaduan rasa dari tekstur kulit yang alot dengan tesktur daging yang lembut dan licin memberi sensasi yang enak di mulut.

Kulitnya dikunyah sampai halus, ditemani cita rasa daging dan lemak yang lembut. Lebih nikmat lagi kalau ditambah dengan satu atau dua seruput kuahnya yang pedas. Semua cita rasa sop bercampur jadi satu dalam mulut. Sensasi sop dengkil ini selalu membawa saya pada kenangan ketika makan bersama mertua, istri dan anak-anak.

Mertua sayalah yang membawa kami ke tempat ini karena mereka tahu bahwa saya adalah penyuka makanan berkuah bening seperti sop kambing, soto daging, dan sop kikil. Waktu itu warungnya masih kecil, dan hanya 1 bangunan dengan 4 atau 5 meja saja. Bangunan itu yang sekarang menjadi bangunan utama dari rumah makan ini.

Untuk kisah perjalanan mudik kami sehingga saya berjumpa dengan Sop Dengkil Haji Jamaha ini, bisa dibaca di link ini: Pengalaman Mudik Pertama Dengan Mobil Sendiri

Tanpa terasa satu porsi sop dengkil seukuran mangkok bakso ludes kuahnya. Yang tersisa hanya tulang-tulang kaki kambing. Saya berusaha untuk nahan diri meskipun ada keinginan untuk nambah satu porsi lagi. Masih ada target kuliner berikut yang lebih seru di Cirebon yang harus diburu dalam perjalanan balik lebaran kali ini. Semua sudah saya agendakan di dalam memori, tinggal menunggu eksekusi beberapa jam lagi.

Setelah berbenah dan menyelesaikan pembayaran di meja kasir, kami langsung meninggalkan RM Sop Dengkil Haji Jamaha ini dengan perut kenyang dan perasaan lega karena rasa penasaran selama setahun terbayar lunas hari ini. Begitu pikiran saya ketika mobil perlahan-lahan masuk ke dalam iring-iringan kemacetan di jalan raya. Kami kembali ke ritual macet seperti biasanya.

Perjalanan tetap kami nikmati dalam situasi macet. Saya tetap fokus bahwa kemacetan ini pangkalnya ada di Cilimus. Setelah itu mobil-mobil yang akan menuju Cirebon akan bergerak lebih lancar. Terjebak dalam kemacetan sekitar satu jam setengah akhirnya kami sampai juga di ujung kemacetan, yaitu Cilimus.

Beberapa ratus menjelang titik utama macet, sudah terlihat angkot dan elf berhenti dan parkir di bahu jalan yang sudah sempit. Ditambah lagi dengan sepeda motor yang lalu lalang dan nyeberang seenaknya di tengah jalan. Hiruk pikuk di jalan ini masih ditambah dengan aktivitas warga di jalan yang cukup banyak mengambil bahu jalan sehingga menghalangi gerak mobil yang melintas.

Akibatnya, mobil harus berhenti untuk mendahulukan warga yang hendak menyeberang atau sekadar lewat, motor yang berbelok atau nyeberang, dan angkot atau elf yang berhenti untuk naik atau turun penumpang, dan kebiasaan ngetem yang cukup lama.

Akhirnya, pangkal kemacetan bisa diketahui, dan saya yakin ujungnya berada persis di perempatan yang menghubungkan Kuningan dengan Cirebon, Linggarjati, dan kawasan wisata permandian air panas.

Setelah melewati perempatan ini, mobil mulai bergerak bebas dan lancar. Di depan kami hanya ada beberapa mobil yang sudah bergerak dengan kecepatan tinggi. Kami kembali ke situasi jalan yang normal tanpa hambatan apa pun. Lalu lintas tiba-tiba menjadi lancar sehingga saya pun memacu mobil dengan kecepatan tinggi. Tidak lama kami sudah berada di kawasan wisata Gronggong, yang jalannya menurun dan berkelok. Hanya terjadi kemacetan biasa karena ada mobil yang berhenti mendadak atau sekadar parkir. Sisanya, jalanan kembali lancar hingga masuk Kota Cirebon.

Empal Gentong Haji Apud

Perburuan kuliner seri kedua berlanjut di sepanjang Jalan Tuparev, jalan utama yang akan mengantarkan kita masuk ke Kota Udang ini. Jalanan menuju kota agak lengang. Tapi dari arah sebaliknya, arus lalu lintas terlihat ramai padat karena banyak mobil yang menuju ke Gerbang Tol Palimanan.

Hari belum gelap betul ketika mobil kami merayap di ruas Jalan Tuparev. Saya posisikan mobil di sisi kiri jalan agar lebih cepat menepi kalau sudah menemukan target operasi saya. Misi kali ini adalah menemukan salah satu tempat kuliner yang menjual kuliner khas Cirebon yang sudah terkenal, yakni Empal Gentong Asem. Saya sudah punya preferensi nama lapaknya, yaitu Haji Apud.

Mobil masih bergerak dengan kecepatan 20 kilometer per jam sembari mengamati warung-warung yang berada di sebelah kiri jalan. Banyak warung Empal Gentong yang berdiri di sepanjang perjalanan kami. Di depan warung-warung tersebut terdapat mobil-mobil konsumen terparkir dengan rapi. Satu per satu warung kami lewati, dan akhirnya nampak juga plang nama Empal Gentong Haji Apud.

Kondisi warung Haji Apud sore itu sedang ramai. Mobil-mobil konsumennya sudah mengisi semua ruang kosong yang tersedia di depan warungnya. Setelah menurunkan istri dan anak di depan warung, saya langsung mengikuti arahan tukang parkir yang menuntun mobil saya meninggalkan warung Haji Apud. Jaraknya sekitar 300 meter dan posisinya di depan sebuah warung kecil yang masih tutup.

Suasana di dalam RM Empal Gentong Haji Apud (Sumber: Empalgentonghajiapud.com)
Suasana di dalam RM Empal Gentong Haji Apud (Sumber: Empalgentonghajiapud.com)

Di dalam warung pengunjung masih saja ramai. Kelihatannya belum ada satu pun yang beranjak dari tempat duduk mereka meski pun di depan mereka tampak wadah makannya sudah kosong. Mereka masih asyik bercengkerama sambil ngobrol dalam kelompoknya masing-masing. Suara dan tawa mereka membuat ruangan yang berukuran besar tersebut terasa begitu ramai.

Kami duduk di meja yang berhadapan langsung dengan pintu masuk. Kursi yang tersedia cukup untuk kami berempat dengan posisi duduk hadap-hadapan. Kali ini kami dilayani pelayan laki-laki yang tidak kalah sopan dan ramah seperti di RM Dengkil Haji Jamaha. Kali ini pelayannya lebih cekatan, karena konsumen yang datang semakin malam semakin ramai.

Kami hanya memesan dua porsi Empal  Gentong Asem ditambah satu porsi sate kambing. Minumnya teh tawar anget dan es jeruk. Pelayannya langsung menyerahkan menu pesanan kami ke koki dan diteruskan ke bagian dapur. Tidak lama makanan kami pun datang.

Empal gentong ini kuahnya agak keruh dengan cita rasa yang asem. Dagingnya empuk dan manis. Saya hanya konsentrasi untuk mencicipi kuahnya sampai setengah mangkok. Setelah itu saya isi piring kosong dengan nasi putih lalu dicampurkan dengan kuah empal yang masih anget. Dikunyah bersama daging sapi yang terasa empuk.

Empal gentong (Sumber: Kompas.com)
Empal gentong (Sumber: Kompas.com)

Sate kambing muda yang empuk pun tidak luput dari jangkauan saya. Dua tusuk sudah cukup. Selebihnya biar anak saja yang habiskan. Mereka lebih suka makan sate kambing digado ketimbang pake nasi. Walhasil, nasi putihnya saya nambah karena saking enaknya kuah empal ditambah dengan bumbu kacang dari sate kambing.

Kami tidak bisa berlama-lama karena beberapa pengunjung sudah mulai antre di luar menunggu meja kosong. Setelah menghabiskan empal gentong dan sate kambing, teh tawar anget yang sudah menunuggu lama langsung diminum. Segar sekali rasanya kerongkongan saya ketika dibasahi dengan teh dengan aroma melati itu.

Sekarang tinggal menunggu waktu untuk Maghrib, karena waktu sudah menunjukkan jam setengah enam lewat. Kami lalu bergerak meninggalkan warung Haji Apud menuju masjid Agung Cirebon untuk menunaikan Shalat Maghrib.

Nasi Jamblang Mang Dul

Jam 7 kurang kami tinggalkan Masjid dan menyusuri ruas jalan yang menuju jalan Dr. Cipto Mangunkusumo. Kondisi lalu lintas dalam Kota Cirebon malam itu tidak begitu padat. Mobil kami terus bergerak menyusuri malam di kota yang penuh dengan kuliner khasnya. Sepanjang jalan kami melihat para pedagang kaki lima membuka lapak menjual empal gentong atau nasi jamblang. Banyak juga konsumen yang antre untuk makan di sini.

Sayangnya, malam itu saya ingin menunjukkan kepada istri dan anak saya satu tempat yang nasi jamblangnya enak sekali. Ke tempat itulah saya bawa mereka: Nasi Jamblang Mang Dul yang berada di Jalan Dr Cipto Mangunkusumo. 

Nasi jamblang adalah nasi putih yang dibungkus dengan daun jati yang sudah tua sehingga memberikan aroma khas yang langsung menggugah selera makan. Ukurannya sekepal tangan orang dewasa. Untuk menemani nasinya, disediakan aneka lauk mulai dari ikan, daging, telor hingga tahu-tempe. Ikannya ada ikan laut dan sotong, daging sapi dan ayam.

Ilustrasi pedagang nasi jamblang di Cirebon (Sumber: Liputan6.com)
Ilustrasi pedagang nasi jamblang di Cirebon (Sumber: Liputan6.com)

Konsumen tinggal menunjuk saja lauknya, penjualnya akan mengambil dan mencampurkannya ke dalam nasi yang diwadah di atas piring. Selain nasi dan lauknya, nasi jamblang ini juga ditandai dengan sambal cabe merah yang pedesnya juga khas.

Kami tiba di warung ini hampir jam delapan. Dari dalam mobil kami amati kondisi warung yang masih ramai dan padat pengunjung. Antrean masih panjang, sementara meja dan kursinya masih terisi semua. Kami putuskan untuk menunggu dulu sambil berharap antrean bisa berkurang dan tempat makannya segera kosong.

Ternyata semakin malam pengunjung yang datang semakin ramai. Antrean yang tadinya pendek tiba-tiba jadi mengular sampai keluar. Daripada tidak kebagian nasi jamblang lebih baik segera antre meskipun panjang. Akhirnya kami ikut dalam antrean yang posisinya sudah mengular sampai ke warung sebelah.

RM Nasi Jamblang Mang Dul (Sumber: Food.Indozone.com)
RM Nasi Jamblang Mang Dul (Sumber: Food.Indozone.com)

Antrean tetap bergerak meski lamban, Kira-kira 20 menit kemudian tibalah giliran saya di depan pelayannya. Saya langsung ordrer 3 bungkus nasi jamblang dengan lauk sotong dan ikan jambal roti. Tidak lupa sambel cabenya. Saya langsung mencari tempat yang kosong. Ternyata ada satu meja di dekat pintu masuk sudah kosong. Saya pun ke sana dan mengarahkan istri dan anak saya untuk mengikutinya.

Tiga porsi nasi jamblang yang saya pesan habis dalam sekejap karena dipicu oleh sambel cabe dan bumbu sotong. Ditambah dengan asinnya jambal roti membuat selera makan sulit untuk ditawar buat berhenti. Hantam terus sampai habis semuanya. Ternyata anak-anak saya pun makan dengan lahap. Nasi jamblang mereka pun habis seketika.

Ternyata bertualang mencari kuliner di sepanjang jalur balik lebaran memberi kesan yang mendalam dalam hubungan personal di antara kita. Di tengah kemacetan lalu lintas yang tidak nyaman kita masih bisa berdiskusi tentang kuliner dan makanan apa saja yang enak yang patut dicoba secara bersama-sama. Atau juga kita bisa mendengarkan review tentang makanan atau rumah makan yang baru dikunjungi. Semuanya jadi seru dan menyenangkan.

Ilustrasi nasi jamblang (Sumber: Kompas.com)
Ilustrasi nasi jamblang (Sumber: Kompas.com)

Suasana lebaran yang ceria tidak akan hilang begitu saja meski perjalanan balik yang kita tempuh panjang dan melelahkan. Luangkan waktu sejenak bersama keluarga, jelajahi daerah-daerah yang unik karena makanannya. Temukan keasyikan dari setiap perjalanan kita di sana.

***

Depok, 16 April 2024

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun