Sebagai jenis makanan baru, para pedagang martabak dari India ini merekrut orang-orang Jawa untuk menjadi pembantu mereka sekaligus mempromosikan makanan tersebut kepada masyarakat lokal. Untuk memudahkan ingatan masyarakat terhadap makanan ini, para pembantu orang-orang India ini mempromosikan dagangan martabak mereka dengan kata-kata "martabak Malabar, halal bin halal, halal bin halal". Istilah ini kemudian berkembang dan menjadi sebuah istilah umum yang sudah dimengerti oleh masyarakat Solo.
Sejak saat itu istilah halal bin halal menjadi populer bagi masyarakat Solo. Masyarakat kemudian menggunakan istilah ini untuk sebutan seperti pergi ke Sriwedari di hari lebaran atau silaturahmi di hari lebaran. Istilah halal bihalal yang awalnya mengacu pada kegiatan lebaran di Sriwedari, kemudian berkembang menjadi acara silaturahmi untuk saling bermaafan saat Lebaran.
Silaturahmi Antar Pemimpin Politik
Di luar versi pertama di atas, muncul versi kedua tentang asal-usul tradisi halal bihalal di Indonesia. Menurut versi ini, istilah halal bihalal pertama kali diperkenalkan oleh ulama sepuh Nahdlatul Ulama (NU) KH Abdul Wahab Hasbullah pada 1948. KH Wahab yang merupakan seorang pendiri NU ini, memperkenalkan kata halal bihalal secara langsung kepada Presiden Soekarno.
Kata halal bihalal yang diperkenalkan KH Wahab kepada Presiden saat itu sesuai dengan konteks politik saat itu yang diwarnai dengan konflik politik antar tokoh. Halal bihalal merupakan bentuk  silaturahmi antar-pemimpin politik yang bisa menurunkan tensi politik saat itu.
Pada Hari Raya Raya Idul Fitri di tahun 1948 Presiden Soekarno mengundang semua tokoh politik untuk datang ke Istana Negara untuk menghadiri silaturahim yang diberi tajuk "Halalbihalal" sesuai dengan rekomendasi dari KH Wahab. Hasilnya, para tokoh politik yang datang ke istana akhirnya duduk satu meja dan sepakat untuk berdamai dalam rangka menurunkan tensi politik.
Dengan semangat halal bihalal tersebut para politikus saat itu mulai menyusun kekuatan dan persatuan bangsa ke depan. Meski pun konflik tidak pernah reda betul, namun setiap Idul Fitri para tokoh politik bisa duduk dengan damai di atas satu meja sudah mencerminkan dampak positif dari halal bihalal terhadap penyelenggaraan negara yang damai.
Efek ini kemudian menjalar ke berbagai instansi pemerintahan, institusi pendidikan, hingga ormas dan masyarakat luas. Semuanya menyelenggarakan acara halal bihalal sebagai rangkaian dari pelaksanaan Hari Raya Idul Fitri.
Tradisi halal bihalal tetap bertahan dan terus dilestarikan oleh rezim penguasa pengganti Soekarno. Semua ajaran politik Soekarno memang diberangus oleh Soeharto, namun tradisi halal bihalal tetap dipelihara dan dibiarkan berkembang terus di masyarakat. Halal bihalal pun menjadi tradisi yang sering dilakukan secara formal di instansi pemerintahan, dan secara informal di masyarakat luas, terutama masyarakat muslim di Jawa sebagai pengikut para ulama.