Mohon tunggu...
Sultani
Sultani Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis Lepas

Senang menulis kreatif berbasis data

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Artikel Utama

Kosakata Bahasa Indonesia dan Refleksi Asal-Usul Kemampuan Berbahasa

14 April 2024   21:21 Diperbarui: 15 April 2024   08:16 569
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Homo sapiens mengembangkan kemampuan komunikasi menggunakan bahasa (Sumber: Kompas.com)

Kosakata Dalam Bahasa Indonesia dan Refleksi Asal-usul Kemampuan Berbahasa Kita Sebagai Manusia

Oleh: Sultani

Tanpa sengaja saya mengakses akun Linkedin @ivanlanin pada 13 April 2024 pukul 07:31 WIB. Dalam akun tersebut sang pemilik akun menuliskan komentarnya terkait konten video dengan judul "Lack of Critical Thinking Skills in Indonesian" di kanal YouTube "The Indah G Show" sempat ramai dibahas warganet.

Ivan Lanin yang merupakan Direktur di Narabahasa ini secara khusus menggarisbawahi konten video yang berisi obrolan antara Indah Gunawan dan Cinta Laura Kiehl tentang kurangnya pemikiran kritis orang Indonesia: apa saja yang memengaruhinya dan bagaimana cara menanganinya.

"Saya menonton sampai habis video selama hampir dua jam itu. Menurut saya, substansi obrolan dalam bahasa Inggris itu bagus dan dapat menjadi autokritik bagi kita", tulisnya.

Miskin Kosakata?

Dari pembicaraan kedua orang ini, Ivan menyoroti kehebohan yang muncul terkait konten tersebut, justru hanya mempersoalkan pernyataan Indah bahwa bahasa Indonesia miskin kosakata.

Pernyataan tentang bahasa Indonesia yang miskin kosakata ini sendiri sebetulnya berawal dari obrolan bahwa mereka berdua merasa (1) bahasa Inggris lebih ringkas dan (2) banyak kata bahasa Inggris yang tidak punya padanan dalam bahasa Indonesia. Mereka lebih lancar menyampaikan pikiran dalam bahasa Inggris daripada dengan bahasa Indonesia.

Ilustrasi Sumpah Pemuda 1928 sebagai tonggak lahirnya bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan (Sumber: Kompas.com)
Ilustrasi Sumpah Pemuda 1928 sebagai tonggak lahirnya bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan (Sumber: Kompas.com)

Menanggapi polemik yang beredar di media sosial tersebut, Ivan Lanin mencoba memberi jawaban yang obyektif tentang "tuduhan" bahwa bahasa Indonesia miskin kosa kata. Menurut dia, jumlah kosakata sebuah bahasa sulit diukur dengan tepat. Cara paling mudah untuk melakukan itu ialah dengan melihat jumlah entri pada kamus bahasa itu.

Masih dalam rangkaian tulisannya, Ivan kemudian menyebutkan bahwa dirinya memperoleh data jumlah entri kamus tiga bahasa ini dari sebuah rujukan:

- Collins English Dictionary 14th ed. (Inggris) = 730 ribu
- Kamus Besar Bahasa Indonesia Daring (Indonesia) = 120 ribu
- Diccionario de la lengua espaola (Spanyol) = 93 ribu

Merujuk pada data tersebut, Iva menyimpulkan bahwa perbendaharaan kata bahasa Inggris memang lebih banyak daripada bahasa Indonesia. Penyebab utamanya ialah karena bahasa itu merupakan basantara (lingua franca) yang sudah lebih lama berkembang dan dituturkan banyak orang dari berbagai bangsa. Status ini menyebabkan bahasa Inggris kerap digunakan untuk mengungkap konsep baru yang tidak jarang diserap dari bahasa lain.

Untuk membaca secara lengkap catatan Ivan Lanin tentang pendapatnya dalam polemik isu miskinnya kosakata bahasa Indonesia, silakan klik saja link ini: Ivan Lanin

Kosakata Bukan Ukuran

Dengan kesimpulan tersebut, apakah betul bahasa Indonesia itu miskin kosakata dibanding dengan bahasa Inggris?

Dengan membandingkan jumlah entri pada tiga kamus bahasa di atas secara langsung kita bisa menjawab iya, karena dari aspek kuantitas, kosakata bahasa Indonesia hanya 120 ribu sementara bahasa Inggris 730 ribu.

Perbedaan entri dalam kamus bahasa Inggris dan bahasa Indonesia tidak bisa dibaca dengan kasat mata bahwa bahasa Indonesia menempati kasta yang lebih rendah karena kosa katanya lebih miskin dari bahasa Inggris. Jumlah kosakata sulit diukur dengan tepat dan bukanlah standar yang obyektif untuk menilai kualitas dan kedudukan bahasa-bahasa di dunia ini.

Ilustrasi komunikasi antar manusia dengan menggunakan bahasa (Sumber: IDNTimes.com)
Ilustrasi komunikasi antar manusia dengan menggunakan bahasa (Sumber: IDNTimes.com)

Saya yakin semua teori sudah dikemukakan oleh semua ahli bahasa dan linguistik di seluruh dunia untuk menjelaskan tentang kelebihan semua bahasa yang ada di dunia ini. Mau bahasanya kaya kosakata maupun yang miskin kosakata, sejauh bahasa tersebut bisa membuat manusia berkomunikasi dengan baik, maka bahasa tersebut layak disebut berkualitas.

Saya tidak akan bergelut dalam polemik tentang miskinnya kosakata bahasa Indonesia dibandingkan dengan bahasa Inggris atau bahasa-bahasa lain di dunia ini. Menurut hal yang cukup menarik dari perdebatan ini adalah bagaimana sejarah proses lahirnya bahasa dan terbentuknya kemampuan berbahasa sebagai jalan terbentuknya kosakata dalam setiap bahasa manusia di dunia ini.

Revolusi Kognitif 

Mari kita bayangkan kehidupan awal manusia yang dimulai sejak zaman purbakala, ratusan ribu tahun lalu. Saat di mana peradaban belum terbentuk, bahasa seperti yang kita kenal sekarang pun belum ada. Manusia masih menggunakan cara-cara berkomunikasi tanpa bahasa melainkan simbol-simbol dari bunyi atau suara yang mereka keluarkan seperti pada binatang.

Komunikasi seperti ini tujuannya juga masih terbatas, yaitu hanya mengingatkan adanya bahaya yang mengintai, atau memberi informasi tentang sumber makanan yang bisa dicari secara bersama-sama. Komunikasi dalam kelompok hanya mengatur cara untuk mencari makan atau menghindari bahaya berupa serangan dari binatang buas.

Cara-cara manusia dalam berkomunikasi mulai berkembang dengan pola yang lebih teratur terjadi sekitar 70 ribu hingga 30 ribu tahun lalu. Banyak teori yang mencoba memberi jawaban spekulatif untuk menjelaskan perubahan cara berpikir yang fenomenal ini.

Bando, dalam buku "3 Revolusi yang Mengubah Dunia" (2024) menuliskan bahwa Revolusi Kognitif merupakan salah satu revolusi yang  menandai kemunculan cara-cara baru berpikir dan berkomunikasi yang terjadi antara 70 ribu hingga 30 ribu tahun silam.

Harari, dalam Bando (2024) menuliskan teorinya tentang fenomena Revolusi Kognitif sebagai penanda lahirnya kemampuan berkomunikasi menggunakan bahasa pada manusia purba paling modern (Homo sapiens).

Ilustrasi Homo sapiens mengembangkan kemampuan komunikasi menggunakan bahasa (Sumber: Kompas.com)
Ilustrasi Homo sapiens mengembangkan kemampuan komunikasi menggunakan bahasa (Sumber: Kompas.com)

Menurut teori Harari (2021), fenomena Revolusi Kognitif bisa saja terjadi karena karena faktor genetikal yang terjadi pada Homo sapiens. Harari mendasarkan pendapatnya ini pada kebanyakan teori yang berargumen bahwa mutasi-mutasi genetik tanpa sengaja mengubah sambungan-sambungan di dalam otak sapiens, memungkinkan mereka berpikir dengan cara-cara yang tak pernah ada sebelumnya, dan berkomunikasi menggunakan jenis bahasa yang sepenuhnya baru.

Sapiens menciptakan gaya berkomunikasi antar mereka menggunakan bahasa untuk menyampaikan informasi, berbeda dengan gaya komunikasi yang sudah mendarah daging dari pendahulunya yang sudah digunakan berjuta-juta tahun lamanya. Bahasa menjadi cara sekaligus alat komunikasi yang revolusioner dalam pergaulan sehari-hari sapiens.

Kemampuan berkomunikasi dengan bahasa ini merupakan inovasi manusia yang didasarkan pada kesadaran tentang hakikatnya sebagai makhluk sosial sosial yang membutuhkan manusia lain untuk "bergosip" sebagai salah satu aktivitas sosial yang populer di masyarakat. Media yang paling efektif untuk menyatukan persepsi manusia ketika bergosip adalah bahasa.

Bahasa dalam Revolusi Kognitif adalah informasi yang disampaikan melalui bunyi-bunyi ujaran yang diucapkan. Manusia sudah bisa menyambungkan bunyi dan tanda dalam jumlah terbatas, untuk menghasilkan kalimat dalam jumlah tak terbatas dengan maknanya masing-masing.

Pada periode ini manusia bisa menyimpan dan menyampaikan banyak sekali informasi mengenai dunia di sekeliling mereka. Manusia mulai menciptakan informasi dan memanfaatkannya sebagai kekuatan yang bisa memperkokoh kerja sama dalam kelompok.

Sebuah perkembangan yang mengejutkan dari Revolusi Kognitif adalah kemampuan manusia  untuk menyampaikan informasi mengenal hal-hal yang sama sekali tidak ada. Mereka menggunakan bahasa untuk membicarakan segala macam entitas yang tidak pernah mereka lihat, sentuh, atau cium baunya. Agama, mitos, legenda, dewa-dewi, dan tuhan untuk pertama kalinya muncul dalam pikiran manusia pada periode Revolusi Kognitif.

Bahasa digunakan untuk membicarakan soal-soal fiksi yang menyenangkan hati, atau membuat cerita-cerita mitos dan legenda tentang kejadian manusia dan alam semesta. Fiksi pada periode ini sudah bisa membuat manusia mengkhayalkan ini-itu, melainkan juga melakukannya bersama-sama.

Bahasa tidak sekadar membicarakan soal fiksi, melainkan untuk menyampaikan informasi yang bisa direkayasa dalam rangka merangsang kesadaran seseorang, meningkatkan kohesivitas kelompok, dan inovasi perilaku sosial. Kemampuan memanfaatkan informasi dengan bahasa yang jelas merupakan kemajuan revolusioner yang dicetak oleh Homo sapiens sebagai warisan yang sangat berguna hingga sekarang.

Depok, 14 April 2024

***

Referensi

Bando, Muhammad Syarif. 2024. 3 Revolusi yang Mengubah Dunia. PT Indonesia Emas

Group, Bandung.

Harari, Yuval Noah. 2021. Sapiens: Riwayat Singkat Umat Manusia. Kepustakaan Populer

Gramedia (KPG),  Jakarta.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun