Buras dan Gogos, Makanan Khas Lebaran Warisan Keluarga
Oleh: Sultani
Hari lebaran begini membuat ingatan saya kembali ke masa lalu ketika masih hidup di kampung dalam keluarga yang masih komplit, bapak-ibu bersama 4 saudara. Kami hidup di salah satu pesisir pantai di Pulau Flores dalam budaya Bugis-Makassar. Salah satu bentuk kebudayaan yang tetap lestari hingga sekarang adalah makanan khas keluarga yang diwariskan secara turun temurun.
Sebetulnya makanan warisan nenek moyang kami ini banyak jenisnya, dan penyajiannya juga ada yang bersifat khusus terkait dengan upacara tertentu, ada juga yang bersifat umum, bahkan ada yang biasa dibuat menu makanan harian. Dari semua jenis makanan tersebut, saya akan menceritakan makanan favorit saya ketika Lebaran, yaitu buras dan gogos.
Kedua jenis makanan ini sudah menjadi menu utama semua keluarga yang ada di kampung, sehingga popularitasnya ketika Lebaran meningkat drastis. Kalau kami pergi siara (silaturahmi) ke keluarga lain, kedua makanan ini pasti selalu ada di atas piring yang disajikan bersama lauk dan sayuran.
Di keluarga kami punya kebiasaan, setelah shalat Idul Fitri semuanya akan berkumpul di rumah saudara orang tua yang paling tua untuk bermaaf-maafan dengan orang yang paling dituakan. Setelah itu baru bermaaf-maafan dengan paman-bibi serta sepupu.
Dalam momen silaturahmi keluarga besar ini, tuan rumah akan menyediakan menu makan untuk semua tamu sebagai makanan pembuka Lebaran hari itu. Di sinilah buras dan gogos dan makanan khas Bugis-Makassar akan disajikan untuk disantap bersama.
Setelah acara silaturahmi keluarga besar, baru dilanjutkan dengan acara makan-makan di masing-masing keluarga. Biasanya, ketika makan bersama keluarga besar, porsi makan sengaja dibatasi karena makanan Lebaran yang paling enak sebetulnya yang dimasak oleh ibu kami (almarhumah) yang sudah tersedia di rumah.
Masa, sudah capek-capek dimasakin ibu gak dimakan, rugi dong!
Tibalah gilirannya makan di rumah bersama ibu-bapak dan saudara ditambah dengan beberapa anggota keluarga lainnya. Kami duduk berkeliling melingkari menu makanan yang sudah disediakan. Ada buras, gogos, dan nasi. Lauknya ada ayam goreng, ayam sayur, ayam bakar, daging goreng, ikan goreng, ikan babas, pallumara, dan satu atau dua jenis sayur hijau.
Acara makan ini dimulai dengan pembacaan doa yang dipimpin oleh Bapak. Dilanjut dengan pengambilan makanan pertama dari Bapak, ibu, saya kemudian adik-adik, diilanjut hingga orang terakhir. Acara makan bersama di keluarga inti ini pun berlangsung dalam suasana akrab dan hangat. Semua boleh nambah mana yang disukai sampai kenyang atau makanannya habis.
Dan yang paling cepat habisnya adalah buras dan gogos, karena kedua makanan ini paling mudah dimakan dan sudah menjadi ciri makanan lebaran di keluarga kami.
Apa itu Buras dan Gogos?
Tentu Kompasianers ada yang penasaran tentang makanan lebaran yang sudah menjadi resep keluarga kami secara turun temurun ini. Dalam Ramadan bercerita 2024 hari 28 ini  saya akan paparkan sedikit tentang kedua makanan yang mirip dengan lontong karena terbuat dari beras dan dibungkus dengan daun pisang.
Buras dibuat dengan beras putih biasa, dimasukkan dibungkus dengan daun pisang sebak 2 lapis. Beras yang masih mentah diletakkan di atas daun pisang yang sudah dipotong sesuai ukuran porsi beras. Biasanya ukuran satu genggan tangan orang dewasa.
Beras ini dibungkus di dalam daun pisang yang utuh. Setelah terbungkus buras ini kemudian diletakkan lagi di atas daun pisang yang kedua dengan ukuran yang lebih lebar dan lebih tebal. Daun pisang lapis kedua ini berfungsi sebagai baju luar dari buras.
Buras biasanya dibuat pipih sehingga kelihat tipis dari luar. Biasanya buras-buras yang sudah dibungkus ini akan ditumpuk secara vertikal hingga lima biji lalu diikat dengan tali rafia menjadi satu.
Buras yang sudah diikat menjadi satu paket ini kemudian direbus hingga matang. Sekali rebus bisa mencapai 10 paket buras dalam panci berukuran sedang. Setelah matang buras akan ditiriskan sebelum dimasukkan ke dalam wadah penyimpanan. Diperlukan waktu hingga 20 menit untuk memastikan buras matang dengan sempurna.
Sementara gogos adalah makanan yang terbuat dari ketan putih atau kami menyebutnya beras pulut. Pertama-tama beras pulut direbus terlebih dahulu. Setelah matang, ketan akan ditiriskan dan ditunggu sampai dingin. Bahan dasar gogos yang sudah matang ini selanjutnya akan dipindahkan ke dalam daun pisang untuk dibungkus.
Untuk membungkusnya, ketan ini dicetak terlebih dahulu dengan bilah bambu yang dibelah supaya bentuknya bundar dan lonjong seperti bambu. Panjangnya kira-kira 10-15 centimeter. Diameternya kurang lebih sama seperti diameter lemper.
Ketan yang sudah dicetak ini kemudian diletakkan di atas daun pisang yang sudah disesuaikan ukurannya. Ketan lalu digulung di dalam daun pisang sebagai pembungkus. Bungkus daun pisang pertama ini kemudian ditutupi lagi dengan daun pisang kedua yang berfungsi sebagai lapis luar.
Daun pisang lapis luar ini dibungkus sedemikian rupa sehingga bisa menutupi dengan sempurna ketan yang ada di dalam bungkus pertama. Supaya kuat, kedua sisi dari lapis luar ini akan ditahan dengan lidi yang sudah dipotong pendek-pendek.
Ketan yang sudah berada di dalam dua lapis daun pisang inilah yang disebut gogos. Kalau hanya dibungkus satu lapis daun pisang disebut lampar atau lemper. Setelah terbungkus dengan rapi, gogos sudah siap untuk dibakar.
Pembakarannya menggunakan arang batok kelapa supaya matangnya lebih merata hingga ke bagian paling dalam. Untuk menghasilkan aroma dan cita rasa yang khas, Â ketika dibakar seluruh bagian luar gogos akan dilumuri minyak kelapa yang sudah dicampur dengan bumbu khas untuk gogos ini.
Tandanya kalau gogos sudah matang bisa dilihat dari tekstur daun pisang yang agak gosong dan kaku, ditambah warnanya hijau kecoklatan. Setelah matang gogos akan dimasukkan ke dalam baskom, lalu diseleksi yang daunnya masih utuh dan paling wangi. Gogos-gogos inilah yang nanti disajikan sebagai menu makanan lebaran.
Tinggal Kenangan
Sejak merantau ke Jakarta dari tahun 1991, momen kebersamaan dan keakraban Lebaran ketika acara makan bersama keluarga sudah menjadi cerita masa lalu. Lebaran dari tahun ke tahun membuat kenangan tersebut semakin jauh meninggalkan saya. Kerinduan terhadap aroma gogos melalui asap pembakaran yang menyeruak ke dalam hidung benar-benar hilang dari hidup ini.
Sensasi mengupas lapisan demi lapisan daun pisang yang membungkus buras dan gogos hanya melintas di memori ketika mendengar cerita saudara tentang acara makan bersama yang masih terus berlanjut. Bahkan, cita rasa kuah pallumara yang menjadi kesukaan saya pun hanya menyisakan cerita nostalgia.
Di Jakarta saya masih bisa menikmati buras dan gogos pada saat lebaran ketika silaturahmi ke rumah saudara. Mereka memang sengaja membuatnya dan menyisakan untuk saya makanan  yang menjadi ciri khas keluarga kami ketika lebaran.
Cita rasa buras dan gogos di Jakarta tetap beda meski bahan dan bentuknya masih sama seperti di kampung dulu. Sensasi kebersamaannya pun tidak sama lagi. Meski demikian, saya tetap bersyukur karena makanan khas lebaran yang resep pembuatannya menjadi pusaka keluarga masih terus dilanjutkan di tanah rantau dan bisa menjadi sumber pendapatan ekonomi bagi mereka yang melestarikannya.
Depok, 7 April 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H