Oleh: Sultani
Pemilu 2024 menandai titik terendah bagi eksistensi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) di DPR karena perolehan suaranya tidak bisa menembus ambang batas parlemen 4 persen.
Kemerosotan suara PPP ini merupakan paradoks dalam perjalanan partai yang pernah menjadi wadah penting bagi kekuatan politik Islam sejak zaman Orde Baru. Dalam kontestasi politik yang semakin kompleks, PPP menemukan dirinya terjebak dalam perpecahan internal dan kehilangan basis dukungan.
Partai Persatuan Pembangunan atau PPP adalah salah satu aset politik bangsa yang eksistensinya terbentuk dari unsur-unsur politik Islam yang tumbuh sejak zaman kolonialisme Belanda.
PPP menjadi wadah yang menghimpun kekuatan-kekuatan tersebut secara formal dalam organisasi politik yang dibentuk oleh rezim Orde Baru sejak Januari 1973. Kedudukan PPP sebagai wadah formal untuk menghimpun kekuatan-kekuatan politik Islam menjadi signifikan dalam konteks politik Indonesia pada masa itu.
Pemilu 1977 menjadi momen penting bagi PPP. Partai ini berpartisipasi dalam pemilu tersebut dengan mengusung narasi ke-Islaman, dan berjanji untuk membawa aspirasi-agenda Islam ke dalam kebijakan pemerintah.
PPP berhasil memenangkan sebagian besar suara dari basis pendukungnya yang terutama terdiri dari kelompok-kelompok agama, organisasi Islam, dan komunitas-komunitas Muslim.
Keterlibatan PPP dalam Pemilu kedua era Orde Baru itu mencerminkan dinamika politik yang unik pada saat itu. Meskipun dibentuk di bawah naungan pemerintah Orde Baru, PPP masih mampu mempertahankan identitasnya sebagai partai politik Islam yang independen. Kehadiran PPP memberikan saluran yang jelas bagi ekspresi politik bagi komunitas Muslim Indonesia pada masa tersebut.
Dengan basis dukungan yang kuat dari kelompok-kelompok Islam, partai ini telah mampu bertahan dan bahkan berperan penting dalam mengukir arah politik nasional di era Orde Baru.
Pemilu 2024
Pemilihan Umum 2024 di Indonesia telah menjadi sorotan utama dalam panorama politik negeri ini. Namun, di tengah keriuhan proses demokrasi tersebut, terungkap sebuah fakta yang mengejutkan: PPP - sebuah entitas politik yang selama ini diidentifikasi sebagai tonggak kekuatan politik Islam - mengalami penurunan signifikan dalam eksistensinya di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) gagal melewati ambang batas parlemen 4 persen.
Berdasarkan hasil rekapitulasi KPU yang diumumkan pada 20 Maret 2024 lalu, PPP berhasil meraup 5.878.777 suara atau setara 3,87 persen suara sah secara nasional.
Perolehan suara yang mentok di bawah 4 persen ini merupakan kemerosotan dukungan paling rendah dalam sejarah dan sepak terjang PPP yang sudah lama malang melintang di panggung politik nasional. Kemerosotan ini menandai sebuah titik nadir yang mencolok dalam perjalanan partai tersebut sejak zaman Orde Baru.
Konsekuensinya PPP dinyatakan gagal masuk ke Senayan karena perolehan suaranya tidak memenuhi ambang batas parlementer sebagai syarat minimal untuk masuk ke parlemen. Dalam pemilu terbaru ini, eksistensi PPP tampaknya mengalami cekikan yang tak terduga dengan perolehan suara hanya 3,87 persen.
Penurunan eksistensi PPP di DPR pada pemilu 2024 mencerminkan serangkaian faktor yang kompleks. Salah satunya adalah pergeseran dinamika politik di Indonesia, di mana isu-isu keagamaan tidak lagi menjadi satu-satunya poin fokus.
Munculnya isu-isu ekonomi, lingkungan, dan kesejahteraan sosial telah mengaburkan garis-garis tradisional dalam politik Indonesia. Politik aliran sebagai isu agama yang bisa menarik dukungan umat Islam untuk PPP selama ini ternyata tidak berpengaruh apa-apa terhadap elektabilitasnya. Politik aliran yang pernah populer di era Orde Baru ternyata tidak laku lagi di era reformasi ini.
Selain itu, tantangan internal juga menjadi faktor penting dalam mengguncang keberadaan PPP. Persaingan antarpartai Islam, perpecahan internal, dan ketidakmampuan untuk menyesuaikan diri dengan perubahan zaman turut menyumbang pada kelemahan partai ini. Meskipun memiliki sejarah yang panjang dan kaya, PPP tampaknya kesulitan menghadapi tantangan-tantangan baru yang muncul.
Relevansi PPP sebagai wadah untuk kekuatan politik Islam juga dipertanyakan. Dalam konteks yang semakin kompleks dan beragam, pemilih cenderung memilih berdasarkan isu-isu yang lebih luas dan terkait dengan kepentingan pribadi mereka, bukan sekadar identitas agama. Hal ini membuat PPP kesulitan untuk mempertahankan basis dukungan yang solid.
PPP dan Ambang Batas Pemilihan
Kiprah PPP di DPR sudah terukir dengan elegan sejak Pemilu 1977 yang disponsori oleh Orde Baru. Hingga kekuasaan Soeharto tumbang pada 1999, posisi PPP di DPR berdasarkan hasil Pemilu 1997 tetap solid dan kritis terhadap penguasa.
Eksistensi PPP di DPR selama 5 kali pemilu berturut-turut karena didukung oleh soliditas pemilih Islam yang masih percaya bahwa partai ini adalah satu-satunya saluran politik umat Islam.
Dinamika politik nasional berubah total ketika Indonesia memasuki era politik baru setelah kejatuhan Orde Baru. Era yang dikenal sebagai masa reformasi ini mengubah wajah politik nasional menjadi lebih bebas melalui kebebasan berpendapat dan mendirikan partai politik.
PPP sebagai partai pembawa panji Islam selama 32 tahun lebih langsung terkena imbasnya setelah semua unsur fusinya keluar dan mendirikan partai politik sendiri-sendiri. Akhirnya, PPP hanya tertinggal orang-orang lama yang benar-benar mencintai partai ini.
Dengan postur partai yang mengecil PPP tampil sebagai salah satu peserta Pemilu 1999 yang kemudian dinobatkan sebagai Pemilu era reformasi yang paling demokratis karena melibatkan 48 parpol peserta. Dari 48 parpol tersebut, sekitar 20 persennya merupakan partai Islam sempalan dari PPP.
Sistem Pemilu yang dianut pada 1999 adalah proporsional sebagai mekanisme untuk mengalokasi jumlah kursi berdasarkan perolehan suara parpol di daerah pemilihan. Formula kursi ditentukan secara proporsional, di mana perolehan kursi partai di setiap daerah pemilihan sesuai dengan perolehan suaranya.
Sistem proporsional dirancang untuk melihat tingkat kompetisi partai politik dalam memperebutkan kursi di daerah pemilihan. Dalam sistem pemilu proporsional, besaran daerah pemilihan dan formula alokasi kursi punya kaitan erat dengan tingkat kompetisi partai politik dalam memperebutkan kursi di daerah pemilihan yang bersangkutan.
Dari sinilah istilah ambang batas pemilihan electoral threshold sebagai angka ambang batas mendapatkan kursi digunakan. Angka ambang batas mengacu pada jumlah suara minimal yang harus diperoleh partai politik untuk mendapatkan kursi yang ada di daerah pemilihan tersebut.
Ambang batas pemilihan merupakan salah satu variabel penting dari sistem pemilu yang berdampak langsung kepada proses konversi suara menjadi kursi secara proporsional.
Electoral threshold merupakan ambang batas perolehan kursi parpol agar dapat mengikuti pemilu berikutnya. Indonesia menganut ambang batas pemilihan ini untuk Pemilu 1999, 2004, dan 2009.
Baca juga: Problem Ambang Batas Parlemen Dalam Sistem Pemilu Proporsional
Ambang batas untuk Pemilu 1999 ditetapkan sebesar 2 persen untuk kursi DPR. Dengan ambang batas pemilihan tersebut, PPP masih menjadi salah satu partai politik yang cukup dipercayai oleh pemilih Islam. Pemilu 1999 mencatat, partai berlambang Ka’bah ini bisa meraih 11,3 juta suara dari 105,73 juta pemilih.
Artinya, PPP masih bisa menguasai 10,71 persen suara nasional. Perolehan tersebut membuat PPP bisa mendulang 59 kursi DPR atau menguasai 12,77 persen kursi di DPR. Penguasaan kursi ini membuat PPP secara otomatis lolos menjadi peserta Pemilu 2004.
Pemilu 2004 nilai ambang batas Pemilu dinaikkan menjadi 3 persen. Posisi PPP dalam pemilu ini perkasa karena berada di posisi 5 besar dengan total suara sebanyak 9.248.764 atau 8,15 persen suara nasional.
Kursi DPR PPP relatif stabil karena hanya berkurang satu kursi dibanding Pemilu 1999. Dengan mendulang 58 kursi berati PPP menguasai 10,55 kursi DPR yang membuat partai ini langsung lolos lagi di Pemilu 2009.
Pemilu 2009 suara PPP mulai merosot menjadi 5,53 juta yang berdampak pada turunnya proporsi penguasaan suara secara nasional menjadi 5,32 persen. Penurunan yang signifikan karena berkurang hampir separuh dari kekuatannya dibanding Pemilu 2004.
Jumlah kursi PPP di DPR tinggal 38 atau berkurang 20 kursi dari pemilu sebelumnya. Meski kursinya berkurang banyak, PPP masih bisa lolos menjadi peserta Pemilu 2014 karena nilai ambang batas pemilunya masih 6,79 persen kursi DPR.
Pengunaan ambang batas pemilu berdasarkan minimal perolehan kursi DPR ternyata tidak efektif dalam menyederhanakan parpol peserta pemilu sebagai tujuan dari penerapan ambang batas tersebut.
Pemilu 2014 electoral threshold diganti dengan parliamentary threshold sebagai mekanisme untuk menyederhanakan parpol sebagai peserta Pemilu 2019.
Parliamentary Threshold adalah ambang batas perolehan suara sah secara nasional suatu partai politik untuk diikutkan dalam penentuan kursi anggota DPR. Dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum disepakati nilai ambang batas parlemen adalah 4 persen. Nilai 4 persen sebagai ambang batas ini berlaku untuk Pemilu 2019 dan Pemilu 2024. Sedangkan Pemilu 2014 ambang batas parlemennya 3,5 persen.
Dengan model seleksi berbasis perolehan suara sah nasional ini, posisi PPP masih relatif aman pada Pemilu 2014 meskipun nilai ambang batasnya semakin tinggi.
Setidaknya, dalam Pemilu 2014 PPP masih menguasai 6,53 persen suara sah nasional. Artinya, perolehan tersebut menunjukkan PPP masih tangguh di tengah persaingan ideologis antarsesama partai Islam, dan partai ini pun lolos menjadi peserta Pemilu 2019.
Peta persaingan politik yang sangat ketat pada Pemilu 2019 membutuhkan insting politik yang kuata dan kejelian dalam memilih sekutu untuk berkoalisi menghadapi pemilu. PPP yang saat itu berada pada parpol koalisi pendukung Jokowi sama sekali tidak memperoleh keuntungan elektoral terhadap pemilihnya.
Alih-alih mendapatkan coat tail effect dari Capres Jokowi, suara partai ini malah terpuruk jauh dibanding dengan pemilu 2014. Perolehan suara PPP pada Pemilu 2019 turun merosot tinggal 4,52 persen.
Ini adalah angka yang bisa membuat “sport jantung” para caleg dan fungsionaris partai karena nyaris gagal masuk Senayan. Partai ini masih selamat meskipun perolehan suaranya benar-benar pas di posisi 4 persen.
Perolehan Suara PPP Sejak Berlakunya Ketentuan Ambang Batas Parlementer:
Pemilu 2014 (3,5 persen) : 6,53 persen
Pemilu 2019 (4 persen) : 4,52 persen
Pemilu 2024 (4 persen) : 3,87 persen
Pemilu 2024 menjadi sandungan yang menghentikan langkah PPP untuk masuk ke Senayan lagi. Artinya, untuk Pemilu 2029 PPP harus mendaftarkan diri lagi untuk menjadi peserta pemilu sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Jika melihat kembali riwayat perolehan suara kursi PPP dari Pemilu 1999, tren kekuatan partai sudah menunjukkan tanda-tanda penurunan di pemilu-pemilu berikutnya. PPP yang sangat perkasa pada Pemilu 1999 dengan menguasai 10,71 persen suara nasional dan 12,77 persen kursi DPR, diam-diam suara dan kursinya turun secara perlahan-lahan.
Partai ini tidak mampu berinovasi atau membuat gebrakan politik yang berarti dalam rangka memperkuat ikatan dengan pemilih-pemilih loyal. Setiap gejala penurunan suara dalam pemilu tidak diikuti langkah-langkah strategis untuk mengantisipasi penurunan suara di pemilu berikutnya.
Pemilu 2019 dan 2024 bisa dikatakan sebagai senjakala untuk partai yang pernah menjadi induk semua partai Islam sekarang. Pemilu 2019 menjadi sinyal bagi pemimpin PPP untuk segera membenahi partai ini agar tidak tenggelam di Pemilu 2024.
Rupanya sinyal ini tidak digubris dengan baik. Seolah para pemimpin partai sudah tidak berdaya untuk mengangkat lagi pamor partainya yang terus merosot dari waktu ke waktu.
Rekapitulasi KPU terhadap hasil Pemilu 2024 mengungkap bahwa PPP sudah tidak berdaya menghadapi dinamika politik yang terus berubah dari pemilu ke pemilu. Suara yang diperoleh PPP pada Pemilu 2024 merupakan dukungan terakhir dari sisa-sisa pemilih fanatik yang sekarang usianya semakin tua.
Pemilu 2024 menandai sebuah titik penting dalam perjalanan eksistensi PPP di DPR. Meskipun peran dan kontribusi partai ini dalam sejarah politik Indonesia tidak dapat dipungkiri, tantangan-tantangan yang dihadapi saat ini menunjukkan perlunya refleksi mendalam dan transformasi yang mendasar bagi PPP jika ingin bertahan dalam dinamika politik yang terus berubah di masa mendatang.
Depok, 23 Maret 2024
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI