Mohon tunggu...
Sultani
Sultani Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis Lepas

Senang menulis kreatif berbasis data

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Artikel Utama

Tradisi Ramadan bagi Generasi Z yang "Digital Native"

6 Maret 2024   13:13 Diperbarui: 12 Maret 2024   13:30 2508
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tradisi Ramadan Bagi Generasi Z yang Digital Native

Oleh: Sultani

Di tengah gejolak teknologi yang semakin merajalela, Generasi Z di Indonesia tetap mempertahankan tradisi berpuasa sebagai bagian tak terpisahkan dari identitas dan kepercayaan mereka. Meskipun terhubung secara digital, tradisi-tradisi menyambut bulan puasa tetap eksis dan memiliki pengaruh bagi Generasi Z. Antusiasme Generasi Z untuk mengadopsi dan mengintegrasikan tradisi ini ke dalam kehidupan mereka yang serba teknologi tercemin dari berbagai cara.

Salah satunya adalah dengan menggunakan platform media sosial untuk berbagi pengalaman, tips, dan resep makanan untuk berbuka puasa. Tak hanya itu, mereka juga memanfaatkan aplikasi dan teknologi untuk mengatur jadwal beribadah, mengakses bacaan Al-Quran digital, serta mendapatkan panduan dan informasi terkait aktivitas keagamaan selama bulan Ramadan.

Bagi Generasi Z, berpuasa di era digital bukanlah hambatan, melainkan peluang untuk menemukan keseimbangan antara teknologi dan tradisi. Mereka menyadari pentingnya menjaga nilai-nilai keagamaan dan budaya yang diteruskan dari generasi ke generasi, sambil tetap mengadopsi perkembangan teknologi yang memudahkan dan memperkaya pengalaman mereka dalam menjalankan ibadah.

Dalam kesibukan teknologi, tradisi puasa menjadi penguat ikatan sosial dan spiritual bagi Generasi Z. Mereka menemukan keseimbangan yang harmonis antara keterhubungan digital dan nilai-nilai tradisional, menciptakan sebuah perpaduan yang unik dan membawa makna dalam perjalanan spiritual mereka.

Sumber: Majalahnabawi.com
Sumber: Majalahnabawi.com

Di Indonesia, bulan Ramadan bukan sekadar sebuah siklus ibadah, tetapi juga sebuah perayaan budaya yang kaya dengan tradisi-tradisi dalam memuliakan kesucian bulan puasa. Berbagai upacara khusus dilakukan secara tradisional dan unik dalam rangka memperkaya pengalaman spiritual dan sosial masyarakat Indonesia. Umumnya, semua tradisi yang dilakoni mencerminkan nilai-nilai kebersamaan, kerukunan, dan kesucian yang harus dijunjung tinggi oleh masyarakat Indonesia dalam memuliakan bulan Ramadan.

Tradisi Ramadan

Masyarakat Indonesia memiliki beragam upacara khusus dan unik yang dilaksanakan selama bulan Ramadan untuk menciptakan suasana yang istimewa dan penuh makna.

Tradisi-tradisi ini menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya lokal yang menggambarkan kekayaan nilai-nilai spiritual, sosial, dan budaya yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia. Ramadan bukan sekadar ritual ibadah, melainkan momen penting dalam merayakan dan memuliakan tradisi budaya lokal demi memperkokoh identitas dan kebersamaan dalam memuliakan bulan suci ini.

Dalam konteks ini, tradisi Ramadan mengacu kepada semua aktivitas budaya yang dikerjakan oleh masyarakat terkait dengan datangnya bulan Ramadan yang dibagi menjadi 3 fase, yaitu sebelum puasa, selama puasa, dan setelah puasa. Tradisi sebelum puasa sering ditandai dengan persiapan yang intensif dari membersihkan rumah, mempersiapkan hidangan-hidangan khas Ramadan, berbagi dengan sesama, ziarah ke makam leluhur, dan upacara menyucikan diri di sungai.  

Tradisi selama puasa biasanya berpusat pada kegiatan menyediakan hidangan berbuka secara komunal di masjid, tadarusan di masjid, tarawih keliling, dan kegiatan membangunkan warga untuk sahur. Ada juga juga tradisi "Ngabuburit", di mana masyarakat berkumpul untuk mengisi waktu senggang menjelang berbuka dengan berbagai kegiatan seperti menyanyi, bermain musik, atau menikmati sajian kulinernya.

Sumber: Padang.harianhaluan.com
Sumber: Padang.harianhaluan.com

Fase setelah puasa diwarnai dengan tradisi-tradisi yang merayakan kemenangan dan kebahagiaan setelah menjalani bulan Ramadan dengan penuh kesabaran dan ketekunan. Salah satunya adalah "Idul Fitri", hari raya yang ditandai dengan saling memaafkan, berkumpul bersama keluarga, dan berbagi kebahagiaan melalui berbagai hidangan lezat dan pemberian hadiah kepada yang membutuhkan.

Tradisi yang paling fenomenal dari fase ini adalah kegiatan mudik yang sudah menjadi agenda nasional karena pergerakan manusia yang begitu masif dari kota menuju kampung halaman masing-masing.

Contoh Tradisi Ramadan

Tradisi menyambut Ramadan di berbagai daerah dapat dikatakan sebagai bagian dari budaya Islam karena relevan dengan ciri-ciri kebudayaan itu sendiri, yaitu dibagi dan diturunkan dari generasi ke generasi.

Selain diturunkan, budaya juga dibagikan sehingga bisa tersebar dari daerah ke daerah. Banyaknya tradisi di Indonesia dalam menyambut Ramadan menunjukkan bahwa bukan saja bangsa Indonesia terdiri dari banyak suku bangsa dan sub suku bangsa, melainkan secara harfiah Islam melahirkan banyak keberagaman untuk manusia. (umj.ac.id, Asal Muasal Tradisi Menyambut Ramadan, 24/3/2023).

Semua tradisi tersebut muncul berangkat dari kesamaan pemikiran dan keyakinan tentang pentingnya bulan Ramadan, sehingga memerlukan persiapan untuk menyucikan diri dalam menyambut bulan suci. Tradisi-tradisi tersebut akan tetap hidup di masyarakat selama yang melaksanakannya meyakini bahwa pada bulan Ramadan seluruh umat Muslim akan mendapatkan kebaikan dan pengampunan.

Tradisi sebelum Ramadan biasanya berlangsung sepekan sebelum puasa dimulai. Upacara-upacara yang dilakukan pun beragam. Namun, di beberapa daerah di Pulau Jawa tradisi tersebut cukup populer sehingga bisa dikenali juga oleh masyarakat dari daerah lain. Misalnya tradisi Nyadran di mana mana masyarakat mengunjungi makam-makam leluhur untuk memberikan penghormatan dan berdoa.

Ada juga tradisi bersuci sebelum memulai puasa Ramadan. Masyarakat di beberapa wilayah di Indonesia melakukan tradisi mandi secara khusus yang ditujukan untuk bersuci karena akan menjalankan ibadah puasa.

Tradisi tersebut di Sumatera Utara dikenal dengan istilah Marpangir, di Lampung dikenal dengan istilah Belangiran, sedangkan di wilayah Jawa Tengah disebut tradisi Padusan.

Sumber: news.detik.com
Sumber: news.detik.com

Selain bersuci ada juga tradisi berbagi makanan kepada sesama yang melambangkan kesinambungan tali silaturahmi antar-warga sebelum memulai puasa. Di Aceh ada tradisi  Meugang yaitu menyembelih kambing, kerbau, atau sapi sebelum memasuki bulan puasa. Daging dari hewan-hewan tersebut kemudian dibagikan kepada seluruh warga. Tradisi serupa juga dilakukan oleh warga Jambi yang disebut tradisi Bebantai.

Masyarakat Indonesia juga punya segudang "koleksi" tradisi untuk menghormati ibadah puasa selama bulan Ramadan. Tradisi tersebut mulai dari menyiapkan hidangan untuk berbuka secara komunal, menyambut nuzulul quran dan lailatul qadar, membangunkan sahur, dan menyambut datangnya Idul Fitri.

Di Gresik, Jawa Timur ada tradisi Sanggringan Kolak Ayam sebagai hidangan tradisional istimewa yang dihidangkan khusus untuk makanan berbuka puasa yang dinikmati bersama-sama di Masjid Jami' Sunan Dalem. Biasanya tradisi ini dilakukan tepat pada malam ke-23 bulan Ramadan.

Di Lombok, Nusa Tenggara Barat pun ada tradisi menyediakan hidangan berbuka puasa yang diantarkan langsung oleh warga ke keluarga atau tetangga.

Tradisi ini namanya Ngater, Ngejot, atau Menaek. Ngater artinya mengantar. Sementara Ngejot merupakan tradisi mengantarkan makanan kepada keluarga dan tetangga. Sedangkan Menaek khusus dikirmkan  untuk jemaah di masjid. Tradisi ngater ini ternyata dilakukan juga oleh masyarakat non-Muslim pun ikut mengirim makanan kepada tetangganya dengan motivasi untuk mempererat ikatan kekeluargaan.

Sumber: Kompaspedia.Kompas.id
Sumber: Kompaspedia.Kompas.id

Masyarakat Bantul, DI Yogyakarta masih melestarikan tradisi Takjilan Bubur yang sudah ada sejak abad ke-14. Tradisi berbuka puasa dengan semangkuk bubur berlauk sayuran tahu dan tempe ini masih mengakar kuat di Masjid Sabilurrosyad Kauman, Bantul, Yogyakarta. Masyarakat tetap melestarikan tradisi Takjilan Bubur ini untuk mengenang jasa Panembahan Bodho, salah seorang murid Sunan Kalijaga yang menggunakan bubur sebagai sarana dakwah.

Tradisi puasa yang paling populer di Indonesia adalah menunggu saat datangnya beduk Maghrib. Kalau masyarakat Jawa Barat menyebutnya dengan istilah Ngabuburit. Kata Ngabuburit sendiri sudah menjadi bahasa Indonesia yang dari asal bahasanya berarti sore atau petang. Ngabuburit berarti menunggu sore atau mengisi waktu hingga sore tiba. Dalam konteks puasa, artinya menyempit jadi menunggu saatnya buka puasa. Ngabuburit sudah menjadi tren bulan puasa yang mengacu pada kegiatan menunggu waktu berbuka puasa.

Sekarang kita melihat tradisi membangunkan warga untuk sahur yang berasal dari beberapa daerah di Indonesia. Masyarakat Cirebon, Jawa Barat menjadikan seni Obrok-obrok sebagai cara untuk mengingatkan datangnya waktu sahur. Kesenian ini selalu muncul pada dini hari selama bulan Ramadan untuk mengawal warga makan sahur. Alat musiknya terdiri dari tambur, rebana, gitar, dan seruling yang mengiringi lagu tarling khas Cirebon dan lagu-lagu islami.

Sumber: Kompaspedia.Kompas.id
Sumber: Kompaspedia.Kompas.id

Di Jawa Timur ada tradisi Patrol atau berkeliling kampung atau melakukan ronda sambil memukul gendang dan bernyanyi. Patrol dilakukan oleh rombongan warga dengan tujuan membangunkan siapa saja yang berpuasa, untuk segera menyiapkan sahur. Tradisi serupa juga ada di Tegal, Jawa Tengah. Namanya Koprekan. Tradisi membangunkan warga untuk sahur ini dilakukan dengan berkeliling kampung sambil memukuli kentungan bambu.

Masyarakat Bungku, Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah juga mempunyai tradisi membangunkan warga yang unik. Namanya Ndengu-ndengu. Sekelompok remaja dan anak-anak memainkan seperangkat alat musik yang terdiri dari gong, ganda otolu---sejenis gong kecil berjumlah tiga, gendang, dan simbal. Mereka bermusik sambil keliling kampung untuk memberi tanda bahwa waktu sahur telah tiba.

Sumber: Kompaspedia.Kompas.id
Sumber: Kompaspedia.Kompas.id

Selanjutnya tradisi menjelang akhir Ramadan yang dikenal sebagai peristiwa nuzulul qur'an dan malam lailatul qadar. Hampir semua daerah di Indonesia memiliki tradisi yang unik untuk menghormati peristiwa paling penting dalam puasa yaitu malam turunnya Al Qur'an dan malam seribu bulan.

Masyarakat Bengkulu punya tradisi khusus untuk menghormati nuzulul qur'an yang jatuh pada malam ke-27 bulan Ramadan. Mereka menyebutnya Nujuhlikur. Tradisi ini dilakukan dengan membakar tempurung kelapa yang disusun berjajar rapi di pekarangan hampir setiap rumah warga. Kegiatan membakar tempurung disebut Marak Lunjuk. Nyala dari bakaran tempurung tersebut menjadi penerang jalan desa di tengah gelapnya malam. Tradisi Nujuhlikur sendiri diperingati dengan berbuka puasa bersama di masjid.

Masyarakat Lombok juga punya tradisi khusus untuk menandai dimulainya malam lailatul qadar atau malam yang kebaikannya melebihi seribu bulan. Warga menyalakan  lampu jojor yang diletakkan di tempat tertentu, seperti dekat wadah menyimpan beras, sudut-sudut rumah, seputar pohon kayu dan bong atau gentong penyimpan air wudhu, air minum dan keperluan mencuci peralatan rumah tangga. Lampu jojor ini berfungsi sebagai penuntun arah ke mana lailatul qadar singgah. Lampu jojor sendiri dibuat dari biji jarak atau biji jamplung yang dikeringkan dan ditumbuk halus kemudian dililitkan pada bilah bambu.

Di Semarang ada tradisi Selikuran yang diadakan pada malam menjelang hari ke-21 Ramadan yang dikenal sebagai malam lailatul qadar. Masyarakat merayakan malam Selikuran di mata air Sendang Senjoyo, tempat yang dianggap suci dan dikeramatkan. Masyarakat setempat percaya bahwa pada malam Selikuran itu Sendang Senjoyo akan mengeluarkan lenga tala atau air suci. Malam Selikuran sendiri merupakan salah satu bentuk akulturasi budaya Islam dengan budaya Jawa atau kejawen yang hidup di masyarakat sekitar Sendang Senjoyo.

Untuk menyambut kemenangan setelah berpuasa sebulan, masyarakat Gorontalo merayakannya dengan tradisi Tumbilotohe, yaitu menyalakan dian atau pelita kecil selama tiga hari menjelang Idul Fitri. Nyala pelita harus dijaga terus selama tiga hari untuk menyambut datangnya hari kemenangan. Dulu, masyarakat memakai pelita berupa kayu damar dan sejenis janur yang disebut daun woka, kalau dibakar mengeluarkan aroma harum. Sekarang, modernisasi telah menggeser pelita menjadi lampu untuk merayakan tradisi Tumbilotohe. Meski demikian, makna perayaan tradisi ini tidak bergeser, karena secara harfiah, Tumbilotohe artinya adalah 'menyalakan penerang'.

Sumber: Kompaspedia.Kompas.id
Sumber: Kompaspedia.Kompas.id

Tradisi terakhir yang tidak kalah unik adalah Baarakan Naga yang berasal dari Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan. Tradisi ini hanya diadakan pada malam sahur terakhir bulan Ramadan. Baaran Naga adalah karnaval sepasang naga yang dibawa sekelompok remaja yang berlari-lari dan meliuk-liuk di sepanjang jalan. Upacara ini merupakan simbol turunnya naga laki (naga jantan) dan naga bini (naga betina). Penampilan Baarakan Naga yang semarak membuat sahur terakhir di tempat ini terasa sangat semarak karena rumah penduduk diterangi lampu-lampu.

Tradisi masyarakat Indonesia dalam menyambut Ramadan tidak bertolak belakang dengan makna dan tujuan Ramadan yaitu mencapai derajat takwa atau dengan kata lain tunduk, patuh, dan berserah diri pada Allah. Misalnya tradisi membersihkan diri, berbagi makanan sebelum berpuasa, saling berkunjung dan memaafkan, termasuk ziarah ke makam leluhur sebagai sarana mengingat kematian.

Semua tradisi tersebut sesuai dengan yang tertulis dalam Al-Qur'an dan hadis. Sehingga lumrah bila dikatakan bahwa suatu budaya berkembang dari ajaran-ajaran agama Islam, karena Islam datang sebagai rahmatanlil'alaamin (rahmat bagi seluruh alam). Ritual keagamaan tersebut mempunyai bentuk atau cara melestarikan yang berbeda-beda. Hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan lingkungan tempat tinggal, adat, dan kepercayaan yang diwariskan secara turun-temurun dari nenek moyangnya.

Kehidupan Beragama Gen Z

Hampir semua tradisi Ramadan di Indonesia melibatkan remaja sebagai penggerak utama upacara. Gen Z yang saat ini adalah remaja merupakan elemen penting dari tradisi tersebut. Gen Z adalah elemen paling bernilai dalam setiap tradisi karena merekalah penerusnya. Kelestarian tradisi dengan segala keunikannya diserahkan kepada kaum remaja agar mereka memiliki tanggung jawab untuk memelihara dan menjaga orisinalitas tradisinya. Hikmahnya adalah semua tradisi menyambut Ramadan yang sudah dikenal sejak dulu bisa lestari dan bertahan orisinalitasnya karena kaum remajanya punya komitmen untuk menjaga semua tradisi yang diwariskan dari nenek moyangnya.

Umumnya, Gen Z masih memandang agama sebagai spirit dalam menjalani aktivitas kehidupan di dunia. Fenomena ini diperkuat dengan hasil penelitian dari Varkey Foundation yang dirilis pada 2017 yang mengungkap bahwa Generasi Z dari 20 Negara beranggapan bahwa komitmen terhadap agama menjadi salah satu faktor penting kebahagiaan. Indonesia adalah negara yang paling tinggi komitmen terhadap agama yaitu 93 persen. Artinya, Generasi Z Indonesia masih tetap berpegang teguh kepada nilai-nilai religius ajaran agama di  era digital sekarang.

Islam menyambut baik segala perkembangan teknologi digital yang luar biasa pesat memudahkan apa saja yang sebelumnya dirasa sulit terjadi. Kemajuan teknologi digital yang kian canggih selaras dengan Islam sebagai agama yang humanis dan universal yang memandu moral dan etika perkembangan zaman.

Salah satu fenomena kehidupan beragama di zaman digital ini adalah bergesernya pola konsumsi informasi agama dari pengajian tatap muka langsung, buku, majalah, berpindah menuju media-media berbasis digital yang lebih praktis dan instan. Implikasinya adalah terjadi pergeseran pola Islam komunal kepada Islam yang individual. Masyarakat sudah tidak perlu lagi berkumpul dan bertatap muka dalam sebuah majelis untuk mendengarkan pengajian secara rutin, cukup dengan mendengarkan kajian yang diakses melalui gawai masing-masing.

Generasi Z merupakan kelompok masyarakat yang paling banyak terpapar pergeseran pola kehidupan beragama ini karena karakteristik mereka yang jauh berbeda dengan generasi sebelumnya. Gen Z merupakan generasi yang lahir dalam era  digital sehingga mereka lebih akrab dengan teknologi. Mereka adalah anak kandung internet yang bergelimang dengan kecanggihan teknologi. Gen Z dijuluki sebagai digital native, lantaran hidup mereka sudah dikelilingi dengan internet sejak mereka dalam kandungan. Sementara generasi sebelumnya adalah digital immigrant yang menggunakan internet setelah lahir dan tumbuh berkembang.

Sumber: Indonesiabaik.id
Sumber: Indonesiabaik.id

Generasi Z ditandai dengan tahun kelahiran antara 1997-2012 di mana dunia saat itu sudah melek internet dan bergelimang teknologi. Berdasarkan hasil Sensus Penduduk BPS tahun 2020 Generasi Z sudah mendominasi komposisi struktur penduduk berdasarkan generasi, dengan jumlah 74,93 juta jiwa, atau 27,94 persen populasi Indonesia. Mereka diidentifikasi sebagai pengguna internet terbesar dan 79 persen waktunya dialokasikan hanya untuk mengakses internet.

Gen Z dan Tradisi Ramadan

Jika generasi sebelumnya biasa mengikuti setiap perayaan upacara Ramadan dengan berpartisipasi langsung dalam kegiatan tersebut, Gen Z mulai berkurang kehadirannya lantaran keasyikan mereka dengan gawai di tangannya. Mereka lebih senang mengikuti tren memperdalam pengetahuan keagamaan secara mudah dan instan melalui teknologi digital. Upacara tradisi cenderung diabaikan karena menyita waktu untuk bercengkerama di media sosial. Kalau pun berpartisipasi, biasanya momentum upacara tersebut dijadikan bahan konten yang akan diunggah di akun media sosialnya masing-masing.

Penggunaan teknologi digital yang semakin luas memberikan pengaruh kepada kehidupan beragama Generasi Z. Gejala dan fenomena agama kontemporer paling menonjol adalah kebangkitan agama dan revitalisasi yang terekspresikan dalam bentuk peningkatan gairah dan semangat keagamaan. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa minimal rutinitas Gen Z berselancar di dunia maya adalah 4 jam. Dari 4 jam ini, separuhnya dimanfaatkan untuk mempelajari atau menambah pengetahuan mereka tentang Islam.

Alokasi waktu untuk kehidupan dunia maya Gen Z lebih besar ketimbang ativitas di dunia nyata. Generasi Z yang dikenal sebagai digital native, seringkali menunjukkan keengganannya untuk berpartisipasi secara langsung dalam tradisi menyambut Ramadan yang sudah menjadi kebiasaan masyarakat Indonesia. Fenomena ini dapat dimengerti karena faktor-faktor yang terkait dengan karakteristik generasi ini.

Salah satu faktor determinan utama adalah keterikatan yang tinggi dengan teknologi dan media sosial. Generasi Z tumbuh besar dalam era digital, di mana akses terhadap informasi dan interaksi sosial dapat dilakukan secara daring. Mereka lebih nyaman berkomunikasi melalui layar gawai daripada berinteraksi langsung dalam kegiatan yang melibatkan kerumunan orang. Ketergantungan pada teknologi ini membuat mereka lebih suka menghabiskan waktu di dunia maya daripada berpartisipasi dalam kegiatan tradisional di dunia nyata.

Sumber: Kompas.id
Sumber: Kompas.id

Selain itu, adanya perubahan pola hidup dan nilai-nilai yang berkembang dalam Gen Z juga turut memengaruhi keengganan mereka. Generasi ini cenderung individualis dan lebih fokus pada kebutuhan dan keinginan pribadi mereka sendiri. Mereka mungkin merasa bahwa kegiatan tradisional seperti upacara penyambutan Ramadan kurang relevan atau kurang menarik bagi mereka, sehingga mereka lebih memilih untuk menghabiskan waktu dengan cara yang lebih sesuai dengan minat dan kebutuhannya.

Meski demikian, tidak dapat disangkal bahwa Generasi Z masih menghargai dan menghormati tradisi-tradisi masyarakat Indonesia dalam memuliakan bulan Ramadan. Mereka mengekspresikan penghargaan mereka terhadap tradisi tersebut melalui media sosial, di mana mereka aktif dalam berbagi konten-konten yang berkaitan dengan Ramadan, seperti kutipan-kutipan Al-Quran, doa-doa, dan cerita-cerita tentang pengalaman berpuasa. Mereka juga menggunakan platform media sosial untuk berinteraksi dengan sesama dan memberikan dukungan moral kepada teman-teman mereka yang menjalani ibadah puasa.

Dengan demikian, meskipun Generasi Z mungkin memiliki keengganan untuk berpartisipasi secara langsung dalam kegiatan tradisional, mereka tetap menunjukkan penghargaan dan dukungan terhadap tradisi-tradisi tersebut melalui cara yang sesuai dengan gaya hidup dan kebiasaan digital mereka. Ini menunjukkan bahwa meskipun terjadi perubahan dalam cara generasi ini berinteraksi dengan budaya dan tradisi, nilai-nilai dan identitas budaya tetap dihargai dan dipelihara dalam konteks yang sesuai dengan zaman mereka.

Depok, 6 Marer 2024

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun