Mohon tunggu...
Sultani
Sultani Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis Lepas

Senang menulis kreatif berbasis data

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Oposisi Rasa Koalisi

1 Maret 2024   10:01 Diperbarui: 5 Maret 2024   15:52 488
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oposisi Rasa Koalisi 

Oleh: Sultani

Wacana tentang pembentukan oposisi pasca-Pilpres dan Pemilu 2024 merupakan momentum untuk menciptakan sistem pemerintahan demokratis yang dikontrol oleh kekuatan politik di luar penguasa. Kehadiran oposisi sangat diperlukan dalam sebuah sistem demokratis dalam rangka menciptakan keseimbangan kekuasaan antara penguasa dengan kelompok oposan yang berada di luar pemerintahan.

Demokrasi yang ideal selalu menciptakan dua kutub kekuasaan yang berseberangan sebagai representasi dari hasil pemilihan umum. Kutub pertama adalah kelompok peraih suara terbanyak yang menjadi pemenang, dan kutub keduanya adalah peraih suara yang lebih sedikit. Kelompok pemenang yang mewakili mayoritas dukungan politik rakyat akan menjadi penguasa atau pemerintah, sebaliknya kelompok yang kalah akan menjadi lawannya. Meskipun minoritas, bukan berarti pihak yang kalah akan kehilangan peran dalam pemerintahan (Kompas.id, Jangan Takut Menjadi Oposisi, 19/1/2024).

Kubu yang kalah dalam pemilu bisa menempatkan diri sebagai oposisi yang  berperan sebagai penyeimbang atau kontrol di luar pemerintahan, dalam rangka menegakkan fungsi checks and balances dalam sistem demokratis. Dengan menjadi oposisi, pihak yang kalah bukanlah pecundang yang tidak bernilai, melainkan bisa menjaga kualitas demokrasi dengan mencegah munculnya praktik penyalahgunaan kekuasaan yang mengarah kepada pemerintahan otoriter.

Sumber: PKS.id
Sumber: PKS.id

Dalam pemerintahan yang demokratis, oposisi merupakan kekuatan politik yang menjadi lawan pemerintah di parlemen, yang menentang dan mengkritisi kebijakan pemerintah yang bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi. Peran oposisi sendiri adalah mengawal dan mengkritisi kebijakan pemerintah agar berjalan sesuai dengan undang-undang.

Politik oposisi merupakan kegiatan parlementarian yang paling terhormat karena mampu mencegah munculnya ancaman mayoritarianisme dan otoritarianisme. Salah satu komponen negara demokrasi yang membedakannya dengan negara otoriter, adalah eksisnya unsur oposisi sebagai kekuatan pengontrol dan penyeimbang dalam pelaksanaan pemerintahan, sehingga sistem pemerintahannya tidak terjerumus ke dalam penyelewengan kekuasaan (Kumparan.com, Pentingnya Oposisi Pasca Pemilu 2024, 19/2/2024).

Sistem politik Indonesia yang menganut presidensial sejatinya tidak mengenal adanya oposisi. Namun, peran partai politik yang berseberangan dengan penguasa tetap dihargai sebagai bagian dari checks and balance kekuasaan. Benih-benih oposisi dalam politik Indonesia muncul bersamaan dengan gerakan reformasi yang bergulir pada 1998. Ruang oposisi sebagai medan bagi bangunan demokrasi yang ideal belum mendapatkan tempat luas dalam kehidupan partai politik Indonesia. Akibatnya,  fungsi checks and balance terhadap pemerintah saat ini masih kurang efektif.

Sumber: news.republika.co.id
Sumber: news.republika.co.id

Akibatnya, citra politik terhadap oposisi menjadi kurang elegan ketimbang menjadi bagian dari kekuasaan. Oposisi kerap dipandang sebagai kegiatan politik yang kurang bergengsi karena merepresentasikan kelompok yang kalah dalam pemilu. Oposisi sejatinya hanyalah kristalisasi dari hasrat kekuasaan yang tidak tersalurkan lantaran tertundanya kesempatan berkuasa. Karena itulah citra yang terbentuk tentang oposisi di Indonesia tidak jauh dari aktivitas untuk menjatuhkan kekuasaan pemerintah.

Pemerintah sendiri cenderung memandang oposisi sebagai ancaman terhadap kekuasaannya. Karena itu pemerintah selalu berupaya untuk mempertahankan kekuasaan dengan berbagai cara. Mulai dari menggembosi kekuatan mereka, melemahkan perannya di DPR, menarik oposisi ke dalam pemerintahan, hingga memberangus keberadaan oposisi. Inilah realita politik oposisi Indonesia sekarang, di mana kepentingan politik selalu menjadi barometer dalam proses politik yang menghasilkan kompromi dan deal-deal tersembunyi para elite politik.

Politik Akomodasi

Politik akomodasi merupakan validasi faktual terhadap adagium politik lama yang menyatakan bahwa dalam politik tidak ada kawan dan lawan yang abadi, yang ada hanyalah kepentingan. Artinya, politik akomodasi merupakan sebuah realitas politik di Indonesia yang mengacu pada upaya untuk menarik kelompok politik yang kalah dalam pemilu menjadi bagian dari pemerintah sebagai strategi penguasa untuk mengontrol tumbuhnya kekuatan oposisi di DPR.

Fenomena politik akomodasi ini sangat kentara dilakukan oleh Presiden Joko Widodo ketika menjalankan kekuasaannya pada periode pemerintahan pertama dan kedua. Presiden Jokowi tahu betul memanfaatkan hak prerogatif seorang presiden untuk kepentingan stabilitas pemerintahannya. Untuk menjamin secara aktual stabilitas yang dibutuhkan tersebut, Presiden berusaha untuk merangkul semua kekuatan politik yang ada di DPR untuk menjadi bagian dari pemerintahannya.

Hasilnya, pemerintahan Jokowi pada periode pertama berjalan nyaris tanpa gangguan dari oposisi atau partai di luar pemerintahan yang dimotori oleh Gerindra, PKS, dan Demokrat. Jokowi dengan politik akomodasinya mampu mengumpulkan dukungan untuk pemerintahannya bersama Jusuf Kalla hingga 386 kursi atau setara dengan 68,9 persen kekuatan di DPR.

Sumber: Kompas.id
Sumber: Kompas.id

Pertemuan Presiden terpilih Joko Widodo dengan rival politiknya dalam Pilpres 2019, Prabowo Subianto di stasiun MRT Lebak Bulus pada 13 Juli 2019 menjadi momentum rekonsiliasi bersejarah dua seteru politik dalam Pilpres 2014 dan 2019. Rekonsiliasi ini sendiri menjadi sinyal politik akomodasi yang sangat berpengaruh terhadap stabilitas dan konstelasi politik Indonesia hingga sekarang.

Sinyal politik akomodasi tersebut terjawab ketika Presiden Joko Widodo menunjuk dan melantik Prabowo Subianto menjadi Menteri Pertahanan dalam kabinet pada periode kedua pemerintahannya. Masuknya Prabowo sebagai Ketua Umum Partai Gerindra ke dalam kabinet menunjukkan kekuatan Jokowi merangkul kekuatan oposisi yang selama ini bertumpu pada sosok Prabowo dan partainya, Gerindra.

Jokowi sukses mengangkat musuh ke dalam koalisi hanya untuk memastikan bahwa selama periode kedua kekuasaannya, pemerintahannya akan berjalan aman dan mulus, sehingga semua program dan kebijakan pembangunan yang sudah ditetapkan bisa dilanjutkan tanpa adanya hambatan politik yang berarti. Dengan merangkul Gerindra, Jokowi juga berhasil menghimpun kekuatan politik di DPR hingga 471 kursi.

Kekuatan pemerintah Jokowi semakin solid ketika Ketua Umum Partai Demokrat dilantik Presiden menjadi Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional pada 21 Februari 2024. Pemerintah mendapat tambahan kursi dari Demokrat sehingga posisi kekuatan pemerintah terakhir adalah 525 kursi, atau setara dengan 91,3 persen kekuatan di DPR (Kompas.id, Parpol Mana Berani Jadi Oposisi? 21/2/2024).

Politik akomodasi untuk melemahkan politik oposisi juga sudah diterapkan oleh pendahulu Presiden Joko Widodo yakni Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Selama 10 tahun berkuasa, SBY juga berupaya untuk merangkul lawan-lawan politiknya ketika bertarung dalam pilpres untuk menjadi bagian dari pemerintahannya. Selama dua periode pemerintahannya, SBY berhasil menghimpun 70 persen lebih kekuatan kursi DPR untuk memperkuat pemerintahannya. Hanya PDIP yang tetap berada di luar pemerintahan selama 10 tahun SBY menjadi presiden.

Oposisi Rasa Koalisi

Sejarah politik Indonesia pasca-reformasi belum melahirkan partai politik yang bermental oposisi murni sebagai lawan pemerintah. PDIP pernah tercatat sebagai partai yang berada di luar pemerintahan SBY ketika semua partai politik di DPR telah dirangkul oleh pemerintah. Perlawanan PDIP terhadap kebijakan pemerintahan SBY berlangsung selama 10 tahun. Setelah itu, PDIP tampil sebagai pemenang pemilu, yang membuat partai ini bermetamorfosis menjadi partai penguasa (the ruling party) selama 10 tahun.

Sumber: rmol.id
Sumber: rmol.id

Ketika PDIP menjadi penguasa, kader terbaiknya yakni Joko Widodo menjadi Presiden Republik Indonesia. Untuk memperkuat pemerintahan yang dijalankan secara bersama-sama Jokowi membentuk koalis partai pendukung pemerintah yang cukup kuata demi stabilitas pemerintahannya. Pada periode pertama pemerintahan Joko Widodo membentuk koalisi dari partai pengusungnya yang mendukung pencapresannya pada Pilpres 2014 yaitu PDIP, PKB, NasDem, Hanura, dan PKP.

Setelah pemerintahan Jokowi berjalan, PAN dan Partai Golkar menyatakan keluar dari Koalisi Merah Putih (KMP) dan bergabung dengan pemerintah. PAN bergabung dengan pemerintah pada 2015 sementara Golkar pada 2016. Keluarnya PAN dan Golkar dari KMP menunjukkan bahwa kekompakan koalisi politik dalam Pilpres ternyata sangat rapuh sehingga sangat rentan untuk berpindah kubu ketika pemerintahan terpilih sudah terbentuk dan bekerja.

Dengan kata lain, rivalitas partai politik dalam koalisi Pilpres bukanlah pilihan politik berdasarkan ideologi untuk membangun platform politik bersama dalam memimpin negara. Rivalitas tersebut cenderung didasari pada kepentingan jangka pendek sekadar untuk menang dan mendapat jatah kekuasaan dalam kabinet. Jika capres yang diusung koalisi kalah dalam Pilpres, komitmen politik dalam koalisi pun berubah. Alih-alih menjadi oposisi, beberapa partai malah meninggalkan koalisi dan memilih bergabung dengan kandidat yang menang untuk membentuk pemerintahan secara bersama-sama.

Pilihan untuk bergabung tergantung pada kondisi yang dihadapi partai, apakah ditawari atau pro aktif mencoba masuk barisan koalisi pemerintahan. Sikap partai politik yang tidak siap menerima kekalahan ini cenderung melahirkan sikap antipati terhadap oposisi dalam budaya politik Indonesia. Partai-partai seperti ini sudah pasti akan menganggap bahwa menjadi oposisi bukan langkah yang populer dalam konteks sistem kepartaian kita. Oleh karena itu, hakekat oposisi dalam politik Indonesia tidak lebih dari oposisi rasa koalisi.  

Oposisi rasa koalisi merupakan antitesis dari pendidikan politik yang mengajarkan rakyat tentang konsistensi agar politik menjadi lebih bermakna. Oposisi rasa koalisi merupakan validasi faktual terhadap adagium politik bahwa tidak ada lawan yang abadi, yang ada hanyalah kepentingan. Sandiwara politik yang diciptakan berupa pertarungan elite politik selama proses pilpres berlangsung tiba-tiba berubah menjadi damai ketika pilpres selesai dan pemenangnya sudah diketahui.

Tanpa disangka sikap para elite politik tiba-tiba berubah, mereka bekerja sama membentuk koalisi pemerintahan yang baru. Tadinya berseberangan sikap politik karena berbeda pilihan capres, sekarang berkoalisi dalam satu kubu demi kekuasaan. Inilah wujud nyata dari oposisi rasa koalisi yang lebih mementingkan kekuasaan partai ketimbang platform bersama untuk membangun negara. Oposisi rasa koalisi sejatinya adalah koalisi parpol-parpol yang tidak berani bersikap konsisten dan cenderung takut menjadi oposisi.

Sumber: Detik.com
Sumber: Detik.com

Oposisi rasa koalisi yang menjadi panggung politik akomodasinya Presiden Joko Widodo, bisa dilihat pada performa tiga lembaga yang berfungsi mengawasi jalannya pemerintah. Jokowi berhasil menyelaraskan fungsi ketiga lembaga ini dengan kepentingannya melalui pimpinan-pimpinan yang berafiliasi kepada pemerintah.

Pertama adalah DPR yang kursi ketuanya diserahkan kepada partai pemenang Pemilu 2019, yaitu PDIP. Kursi ini kemudian diisi oleh Ketua DPP PDI-P Puan Maharani. Setelah DPR, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) memilih La Nyalla Mattalitti, anggota DPD dari Jawa Timur untuk memimpin lembaga yang menjadi tetangga DPR ini. Terakhir adalah kursi Ketua MPR sebagai lembaga tertinggi negara yang diisi oleh Bambang Soesatyo dari Partai Golkar.

Terpilihnya Bambang Soesatyo sebagai Ketua MPR pada periode kedua pemerintahan Presiden Jokowi menjadi titik kulminasi politik akomodasi yang menghimpun penguasaan seluruh lembaga legislatif di tangan pendukung Jokowi. PDIP merupakan partai pengusung Jokowi-Amin di Pilpres 2019, sementara Golkar menjadi bagian dari koalisi pendukung Jokowi. La Nyalla sendiri diketahui sebagai salah satu tokoh politik yang aktif berkampanye untuk memenangkan Jokowi-Amin.

Sumber: MPR.go.id
Sumber: MPR.go.id

Di DPR sendiri Jokowi telah menguasai 471 kursi atau setara 81,9 persen kekuatan politik parlemen sebelum Partai Demokrat bergabung. Dengan masuknya Demokrat ke dalam koalisi pemerintah, hampir semua kekuatan politik parpol di DPR sudah menjadi bagian pemerintah. Kekuatan politik di DPR sekarang nyaris tanpa oposisi karena 525 kursi atau setara dengan  91,3 persen adalah bagian dari pemerintahan Jokowi. Potensi kekuatan oposisi saat ini hanya bertumpu pada PKS yang hanya menguasai 50 kursi. Dan inilah realitas politik oposisi dalam sistem politik Indonesia sekarang.

Kondisi ini memang kondusif bagi terciptanya pemerintahan yang stabil dan mulus jalannya. Semua kebijakan pemerintah pasti akan diloloskan DPR tanpa perlawanan yang berarti. Suara oposisi nyaris tak didengar sehingga kebijakan-kebijakan pemerintah berjalan tanpa kontrol dan penyeimbang dari kubu lawan. Mekanisme checks and balance dalam demokrasi pun terhalang oleh politik oposisi rasa koalisi ini.

Sumber: news.republika.co.id
Sumber: news.republika.co.id

Model Oposisi Baru

Hasil final penghitungan suara Pilpres 2024 belum rampung oleh KPU. Namun, dari perkembangan laporan sekarang, posisi Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka masih unggul dengan perolehan di atas 50 persen. Hasil ini mengonfirmasi akurasi quick count yang menempatkan paslon nomor urut 2 ini sebagai pemenang Pilpres 2024 dengan perolehan suara 58 persen-an. Artinya, peluang Prabowo-Gibran untuk dilantik sebagai presiden dan wakil presiden terpilih terbuka lebar.

Tantangan terberat presiden terpilih setelah penetapan KPU adalah memastikan dukungan politik partai yang besar demi kelancaran penyelenggaraan pemerintahan 5 tahun mendatang. Prabowo-Gibran harus bisa mengelola dukungan politik dari DPR untuk menjamin stabilitas pemerintahan mereka hingga 2029. Salah satu strategri pengelolaan dukungan politik tersebut adalah menambah dukungan dari partai lain di luar koalisi pilpres. Pemerintahan baru memerlukan dukungan dari kubu oposisi yaitu partai yang kalah dalam pilpres.

Sumber: CNNIndonesia.com
Sumber: CNNIndonesia.com

Pemerintahan Prabowo-Gibran diprediksi akan mendapat tantangan berat dalam membangun kekuatan politik pemerintah di DPR jika partai oposisi gagal dikendalikan dari sekarang. Pasalnya, kekuatan politik partai pendukung Prabowo-Gibran di DPR lebih kecil dibanding kubu oposisi. Untuk menyukseskan kebijakan dan program pembangunan yang sudah dicanangkan, mau tidak mau pemerintah harus menjalani strategi gerilya untuk menarik oposisi ke dalam pemerintahannya.

Kendala lain yang cukup serius bagi pemerintahan terpilih ini adalah sikap PDIP sebagai pemenang pemilu yang sudah memutuskan untuk menjadi kekuatan di luar pemerintahan atau oposisi. Sikap politik PDIP ini perlu disikapi dengan serius karena partai ini sudah makan asam garam sebagai oposisi selama 10 tahun berturut-turut. Artinya, sikap oposisi ini sangat potensial menjadi ancaman terhadap kinerja pemerintah dalam pembangunan. Selain PDIP, PKS pun sudah menunjukkan sikap yang sama untuk berada di luar pemerintahan Prabowo-Gibran.

Sumber: tvonenews.com
Sumber: tvonenews.com

Selain kedua partai ini, partai yang menjadi pengusung rival Prabowo-Gibran belum terdengar pernyataan politiknya terkaits sikap terhadap pemerintahan baru yang terbentuk nanti. Nasdem dan PKB sebagai pengusung capres Anies-Muhaimin masih belum bersikap tegas terkait posisi mereka. Begitu juga dengan PPP dan Perindo yang mengusung paslon Ganjar-Mahfud. Sejauh ini sikap diam parpol ini kita anggap sebagai tindakan menunggu dan melihat (wait and see) perkembangan politik yang relevan dengan kepentingannya masing-masing.

Partai-partai tersebut, meski ketika Pilpres tergabung dalam koalisi capres lawannya Prabowo, namun untuk bersikap oposisi setelah kalah pilpres juga belum jelas. Katakan saja bahwa partai-partai ini sedang membaca kans mereka untuk bergabung menjadi bagian dari koalisi pemerintahan ketika pemerintah butuh tambahan kekuatan politik untuk mengalahkan oposisi.

Model oposisi pada pemerintahan baru tidak akan jauh berbeda dengan cara Presiden Jokowi memperlakukan lawannya selama ini. Prabowo-Gibran sudah pasti akan meneruskan gaya kepemimpinan Jokowi dalam 'mengemong" lawan-lawan politiknya di lembaga legislatif. Mengakomodasi oposisi bukan saja strategi politik pemerintah, tetapi juga sebagai kendaraan untuk mengakselerasi visi pemerintah baru yakni keberlanjutan. Prabowo tidak punya pilihan lain untuk meneruskan program pembangunan yang sudah diletakkan Jokowi selain mengamankan oposisi di DPR.

Kunci dari keberlanjutan program pembangunan sekarang adalah DPR. Untuk menjamin bahwa kunci tersebut selalu bisa digunakan untuk memuluskan jalannya pembangunan, satu-satunya cara adalah mengakomodasi kepentingan partai politik oposisi di dalam pemerintahan.

Oposisi rasa koalisi versi baru akan mewarnai gaya pemerintahan Indonesia selama 5 tahun mendatang. Beberapa partai yang selama Pilpres memilih posisi sebagai lawan capres pemenang tidak tahan menjadi oposisi terlalu lama karena tidak memiliki pengalaman menjadi oposisi murni. Boleh jadi saat ini ada juga partai yang berharap ditawari untuk bergabung atau sudah pro aktif mendekati kubu pemenang untuk bergabung dalam koalisi baru.

Sumber: Fajar.co.id
Sumber: Fajar.co.id

Pertemuan Ketua Umum Surya Paloh dengan Presiden Jokowi di istana beberapa waktu lalu mengindikasikan potensi terjadinya aksi loncat pagar dari partai politik kubu capres Anies-Muhaimin maupun Ganjar-Mahfud. Partai-partai ini berpotensi untuk bergabung dengan pemerintah karena menginginkan posisi strategis di pemerintahan, dengan kompensasi berupa dukungan politik terhadap pemerintah. Barter kekuasaan masih  menjadi mekanisme dalam menyeleksi keterlibatan oposisi dalam pemerintahan.

Tradisi Oposisi Murni? 

Apakah budaya politik demokratis yang muncul sejak gerakan reformasi bergulir tahun 1998 telah melahirkan tradisi oposisi murni dalam sistem kepartaian kita? Tradisi oposisi murni, di mana partai politik yang menjadi oposisi tetap konsisten dalam mempertahankan posisinya tanpa berkoalisi dengan pemerintah, belum terwujud dalam politik Indonesia pasca-reformasi tahun 1998. Faktor-faktor penyebabnya melibatkan dinamika politik, budaya politik, dan realitas politik dalam sistem politik Indonesia.

Sumber: Kompas.id
Sumber: Kompas.id

Pertama-tama, perlu diketahui bahwa politik Indonesia pasca-reformasi masih dalam proses konsolidasi. Transisi dari era Orde Baru yang otoriter menuju demokrasi yang lebih terbuka masih menyimpan problem-problem politik dengan segala kompleksitasnya. Partai-partai masih mencari identitas dan kekuatan politik mereka. Dalam situasi demikian, strategi kolaborasi dengan pemerintah menjadi jalan bagi parpol untuk memperoleh keuntungan politik, termasuk akses ke sumber daya dan posisi kekuasaan.

Kemudian, budaya politik di Indonesia juga berperan dalam menghambat tumbuhnya oposisi murni. Budaya politik yang cenderung pragmatis dan berorientasi pada kepentingan jangka pendek sering kali menempatkan oportunisme politik di atas prinsip. Dalam konteks politik multipartai, di mana partai-partai politik bersaing untuk mendapatkan dukungan publik dan kekuasaan politik, koalisi dengan pemerintah dapat dianggap sebagai cara yang efektif untuk mencapai tujuan tersebut.

Selain itu, sistem politik Indonesia yang menganut sistem proporsional dalam pemilihan umum juga berkontribusi terhadap dinamika ini. Dalam sistem ini, partai politik sering kali harus berkoalisi untuk membentuk mayoritas parlementer atau mendukung pemerintahan yang terbentuk. Hal ini mendorong terjadinya aliansi politik yang berubah-ubah sesuai dengan kepentingan politik masing-masing partai.

Terakhir, faktor eksternal seperti tekanan politik dan ekonomi juga dapat memengaruhi sikap partai politik terhadap pemerintah. Di tengah tekanan untuk mempertahankan stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi, partai-partai politik merasa perlu untuk bergabung dengan pemerintah demi kepentingan nasional yang lebih besar.

Dengan demikian, fenomena bergabungnya partai politik oposisi ke dalam pemerintahan sebenarnya merupakan refleksi dari realitas politik Indonesia pasca-reformasi. Meskipun terdapat aspirasi untuk memiliki oposisi yang murni, faktor-faktor seperti dinamika politik, budaya politik, sistem politik, dan tekanan eksternal sering kali menghambat terwujudnya tradisi oposisi yang konsisten dalam politik Indonesia.

Depok, 1 Maret 2024

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun