Mohon tunggu...
Sultani
Sultani Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis Lepas

Senang menulis kreatif berbasis data

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Oposisi Rasa Koalisi

1 Maret 2024   10:01 Diperbarui: 5 Maret 2024   15:52 354
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik akomodasi untuk melemahkan politik oposisi juga sudah diterapkan oleh pendahulu Presiden Joko Widodo yakni Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Selama 10 tahun berkuasa, SBY juga berupaya untuk merangkul lawan-lawan politiknya ketika bertarung dalam pilpres untuk menjadi bagian dari pemerintahannya. Selama dua periode pemerintahannya, SBY berhasil menghimpun 70 persen lebih kekuatan kursi DPR untuk memperkuat pemerintahannya. Hanya PDIP yang tetap berada di luar pemerintahan selama 10 tahun SBY menjadi presiden.

Oposisi Rasa Koalisi

Sejarah politik Indonesia pasca-reformasi belum melahirkan partai politik yang bermental oposisi murni sebagai lawan pemerintah. PDIP pernah tercatat sebagai partai yang berada di luar pemerintahan SBY ketika semua partai politik di DPR telah dirangkul oleh pemerintah. Perlawanan PDIP terhadap kebijakan pemerintahan SBY berlangsung selama 10 tahun. Setelah itu, PDIP tampil sebagai pemenang pemilu, yang membuat partai ini bermetamorfosis menjadi partai penguasa (the ruling party) selama 10 tahun.

Sumber: rmol.id
Sumber: rmol.id

Ketika PDIP menjadi penguasa, kader terbaiknya yakni Joko Widodo menjadi Presiden Republik Indonesia. Untuk memperkuat pemerintahan yang dijalankan secara bersama-sama Jokowi membentuk koalis partai pendukung pemerintah yang cukup kuata demi stabilitas pemerintahannya. Pada periode pertama pemerintahan Joko Widodo membentuk koalisi dari partai pengusungnya yang mendukung pencapresannya pada Pilpres 2014 yaitu PDIP, PKB, NasDem, Hanura, dan PKP.

Setelah pemerintahan Jokowi berjalan, PAN dan Partai Golkar menyatakan keluar dari Koalisi Merah Putih (KMP) dan bergabung dengan pemerintah. PAN bergabung dengan pemerintah pada 2015 sementara Golkar pada 2016. Keluarnya PAN dan Golkar dari KMP menunjukkan bahwa kekompakan koalisi politik dalam Pilpres ternyata sangat rapuh sehingga sangat rentan untuk berpindah kubu ketika pemerintahan terpilih sudah terbentuk dan bekerja.

Dengan kata lain, rivalitas partai politik dalam koalisi Pilpres bukanlah pilihan politik berdasarkan ideologi untuk membangun platform politik bersama dalam memimpin negara. Rivalitas tersebut cenderung didasari pada kepentingan jangka pendek sekadar untuk menang dan mendapat jatah kekuasaan dalam kabinet. Jika capres yang diusung koalisi kalah dalam Pilpres, komitmen politik dalam koalisi pun berubah. Alih-alih menjadi oposisi, beberapa partai malah meninggalkan koalisi dan memilih bergabung dengan kandidat yang menang untuk membentuk pemerintahan secara bersama-sama.

Pilihan untuk bergabung tergantung pada kondisi yang dihadapi partai, apakah ditawari atau pro aktif mencoba masuk barisan koalisi pemerintahan. Sikap partai politik yang tidak siap menerima kekalahan ini cenderung melahirkan sikap antipati terhadap oposisi dalam budaya politik Indonesia. Partai-partai seperti ini sudah pasti akan menganggap bahwa menjadi oposisi bukan langkah yang populer dalam konteks sistem kepartaian kita. Oleh karena itu, hakekat oposisi dalam politik Indonesia tidak lebih dari oposisi rasa koalisi.  

Oposisi rasa koalisi merupakan antitesis dari pendidikan politik yang mengajarkan rakyat tentang konsistensi agar politik menjadi lebih bermakna. Oposisi rasa koalisi merupakan validasi faktual terhadap adagium politik bahwa tidak ada lawan yang abadi, yang ada hanyalah kepentingan. Sandiwara politik yang diciptakan berupa pertarungan elite politik selama proses pilpres berlangsung tiba-tiba berubah menjadi damai ketika pilpres selesai dan pemenangnya sudah diketahui.

Tanpa disangka sikap para elite politik tiba-tiba berubah, mereka bekerja sama membentuk koalisi pemerintahan yang baru. Tadinya berseberangan sikap politik karena berbeda pilihan capres, sekarang berkoalisi dalam satu kubu demi kekuasaan. Inilah wujud nyata dari oposisi rasa koalisi yang lebih mementingkan kekuasaan partai ketimbang platform bersama untuk membangun negara. Oposisi rasa koalisi sejatinya adalah koalisi parpol-parpol yang tidak berani bersikap konsisten dan cenderung takut menjadi oposisi.

Sumber: Detik.com
Sumber: Detik.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun