Akibatnya, citra politik terhadap oposisi menjadi kurang elegan ketimbang menjadi bagian dari kekuasaan. Oposisi kerap dipandang sebagai kegiatan politik yang kurang bergengsi karena merepresentasikan kelompok yang kalah dalam pemilu. Oposisi sejatinya hanyalah kristalisasi dari hasrat kekuasaan yang tidak tersalurkan lantaran tertundanya kesempatan berkuasa. Karena itulah citra yang terbentuk tentang oposisi di Indonesia tidak jauh dari aktivitas untuk menjatuhkan kekuasaan pemerintah.
Pemerintah sendiri cenderung memandang oposisi sebagai ancaman terhadap kekuasaannya. Karena itu pemerintah selalu berupaya untuk mempertahankan kekuasaan dengan berbagai cara. Mulai dari menggembosi kekuatan mereka, melemahkan perannya di DPR, menarik oposisi ke dalam pemerintahan, hingga memberangus keberadaan oposisi. Inilah realita politik oposisi Indonesia sekarang, di mana kepentingan politik selalu menjadi barometer dalam proses politik yang menghasilkan kompromi dan deal-deal tersembunyi para elite politik.
Politik Akomodasi
Politik akomodasi merupakan validasi faktual terhadap adagium politik lama yang menyatakan bahwa dalam politik tidak ada kawan dan lawan yang abadi, yang ada hanyalah kepentingan. Artinya, politik akomodasi merupakan sebuah realitas politik di Indonesia yang mengacu pada upaya untuk menarik kelompok politik yang kalah dalam pemilu menjadi bagian dari pemerintah sebagai strategi penguasa untuk mengontrol tumbuhnya kekuatan oposisi di DPR.
Fenomena politik akomodasi ini sangat kentara dilakukan oleh Presiden Joko Widodo ketika menjalankan kekuasaannya pada periode pemerintahan pertama dan kedua. Presiden Jokowi tahu betul memanfaatkan hak prerogatif seorang presiden untuk kepentingan stabilitas pemerintahannya. Untuk menjamin secara aktual stabilitas yang dibutuhkan tersebut, Presiden berusaha untuk merangkul semua kekuatan politik yang ada di DPR untuk menjadi bagian dari pemerintahannya.
Hasilnya, pemerintahan Jokowi pada periode pertama berjalan nyaris tanpa gangguan dari oposisi atau partai di luar pemerintahan yang dimotori oleh Gerindra, PKS, dan Demokrat. Jokowi dengan politik akomodasinya mampu mengumpulkan dukungan untuk pemerintahannya bersama Jusuf Kalla hingga 386 kursi atau setara dengan 68,9 persen kekuatan di DPR.
Pertemuan Presiden terpilih Joko Widodo dengan rival politiknya dalam Pilpres 2019, Prabowo Subianto di stasiun MRT Lebak Bulus pada 13 Juli 2019 menjadi momentum rekonsiliasi bersejarah dua seteru politik dalam Pilpres 2014 dan 2019. Rekonsiliasi ini sendiri menjadi sinyal politik akomodasi yang sangat berpengaruh terhadap stabilitas dan konstelasi politik Indonesia hingga sekarang.
Sinyal politik akomodasi tersebut terjawab ketika Presiden Joko Widodo menunjuk dan melantik Prabowo Subianto menjadi Menteri Pertahanan dalam kabinet pada periode kedua pemerintahannya. Masuknya Prabowo sebagai Ketua Umum Partai Gerindra ke dalam kabinet menunjukkan kekuatan Jokowi merangkul kekuatan oposisi yang selama ini bertumpu pada sosok Prabowo dan partainya, Gerindra.
Jokowi sukses mengangkat musuh ke dalam koalisi hanya untuk memastikan bahwa selama periode kedua kekuasaannya, pemerintahannya akan berjalan aman dan mulus, sehingga semua program dan kebijakan pembangunan yang sudah ditetapkan bisa dilanjutkan tanpa adanya hambatan politik yang berarti. Dengan merangkul Gerindra, Jokowi juga berhasil menghimpun kekuatan politik di DPR hingga 471 kursi.
Kekuatan pemerintah Jokowi semakin solid ketika Ketua Umum Partai Demokrat dilantik Presiden menjadi Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional pada 21 Februari 2024. Pemerintah mendapat tambahan kursi dari Demokrat sehingga posisi kekuatan pemerintah terakhir adalah 525 kursi, atau setara dengan 91,3 persen kekuatan di DPR (Kompas.id, Parpol Mana Berani Jadi Oposisi? 21/2/2024).