Kenangan Quick Count 2014 : Ajang Untuk Menjadi yang Tercepat dan Terakurat
Quick count selalu menjadi rujukan para kandidat pemilu dan pendukungya untuk mengetahui hasil pemilihan sebelum KPU mengumumkan hasil resmi. Hasil quick count memang masih berupa hitungan awal namun akurasinya sangat bisa diandalkan karena hasil yang diumumkan beberapa jam setelah pemungutan suara biasanya tidak jauh beda dengan yang diumumkan KPU. Akurasi inilah yang membuat para kandidat, tim sukses dan pendukungnya, serta sebagian kecil masyarakat berani memprediksi kemenangan pemilu berdasarkan hasil quick count.
Bagi penyelenggara quick count, survei prediksi hasil pemilu berbasis sampel TPS ini merupakan ajang unjuk reputasi dalam membuat prediksi yang paling akurat, sesuai dengan hasil yang diumumkan oleh KPU. Akurasi dalam hasil quick count baru menjadi isu krusial sejak Pemilu 2009 seiring dengan meningkatnya popularitas quick count dengan hasil penghitungan yang beraneka ragam. Untuk diketahui, sejak quick count pertama kali diselenggarakan pada Pemilu 1999, akurasi dalam prediksi hasil pemilu belum menjadi isu yang krusial karena lembaga penyelenggaranya masih sedikit, dan hasilnya hanya dimanfaatkan untuk kalangan terbatas.
Salah satu lembaga yang berpartisipasi menyelenggarakan quick count saat itu adalah LP3ES (Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial). Saya adalah salah satu tenaga interviewer yang memprediksi hasil pemilu dengan simulasi memilih partai politik seperti survei elektabilitas capres sekarang. Hasil prediksi tersebut kemudian dimuat di media massa satu hari setelah pemilu. Seiring berjalannya waktu, muncul lembaga-lembaga survei yang menjalankan bisnis utamanya dalam bidang survei opini publik kemudian berpartisipasi dalam quick count untuk pemilu-pemilu berikutnya. Akurasi data masih menjadi isu biasa, karena ketepatan data hasil prediksi quick count dengan hasil resmi dari KPU tidak terlalu dipermasalahkan. Meski demikian, semua lembaga survei saat itu sangat berambisi untuk menampilkan data yang paling akurat seperti yang dirilis KPU.
Persoalan akurasi data ini baru menjadi isu sentral dalam quick count seiring dengan maraknya pelaksanaan pilkada langsung pada 2005. Lembaga-lembaga survei yang telah ada berlomba-lomba untuk mempromosikan kredibilitasnya dengan menyematkan prestasi terbesar mereka dalam hal akurasi. Seiring dengan maraknya kontestasi politik berupa pemilihan langsung tersebut, quick count pun tumbuh subur dan menjadi populer seiring dengan musim pemilihan umum.
Litbang Kompas sendiri memulai debut quick count dalam Pemilihan Gubernur DKI Jakarta tahun 2007. Hasil quick count Litbang Kompas saat itu menunjukkan adanya selisih atau simpangan rata-rata dengan hasil KPUD Jakarta sebesar 0,11 persen. Prediksi Litbang Kompas terbilang akurat dengan simpangan rata-rata yang menggambarkan realitas hasil pemilihan gubernur yang nyaris sempurna. Angka tersebut jauh lebih kecil margin of error (toleransi kesalahan) sebesar 1 persen. Artinya, terdapat selisih yang sangat kecil  dengan hasil resmi KPUD Jakarta sehingga quick count Litbang Kompas paling akurat untuk menggmbarkan pilihan populasi pemilih Jakarta.
Untuk mencapai akurasi data yang tinggi dalam quick count prinsip teoretisnya hanya satu, yaitu menggunakan data sampel TPS yang dipilih secara acak dan proporsional. Prinsip ini universal berlaku dalam riset sosial dan riset opini publik. Karena itu, semua lembaga survei dan penyelenggara quick count pasti sudah memahami betul bahwa untuk mendapatkan gambaran awal hasil pemilihan umum secara akurat, proyeksi datanya terdapat pada teknik sampling yang tepat. Dalam hal ini, teknik sampling adalah syarat mutlak untuk akurasi data sebagai isu utama dalam memprediksi hasil quick count yang bisa mendekati hasil resmi dari KPU.
Pertanyaannya sekarang, bagaimana Litbang Kompas menjamin bahwa teknik sampling yang digunakan pada quick count 2014 bisa memproyeksi hasil quick count secara akurat hanya dengan mengandalkan teknik penarikan sampel di balik meja dengan menggunakan DPT sebagai kerangka sampel? Secara teoretis, pilihan teknik sampling untuk menentukan TPS sebagai unit sampel yang menjadi obyek quick count sudah cukup handal untuk merepresentasikan populasi seluruh pemilih yang terdaftar dalam DPT. Dengan kata lain, teknik sampling sudah memungkinkan peneliti untuk membuat kesimpulan tentang populasi berdasarkan data yang diperoleh dari TPS sampel.
Akan tetapi, hanya mengandalkan teknik sampling untuk memproyeksi tingkat akurasi data tanpa verifikasi dan validasi faktual tentang informasi TPS yang menjadi sampel sangat berpotensi menciptakan selisih data yang semakin besar antara sampel dengan populasi. Apalagi ukuran populasi quick count jumlahnya mencapai 200 juta lebih pemilih sehingga sampel yang ideal untuk memprediksinya harus mencapai ribuan TPS. Dengan ukuran sampel sebesar itu, pilihan yang paling realistis untuk memastikan proyeksi akurasi data diperlukan verifikasi faktual TPS untuk memperkuat teknik sampling yang digunakan.