Kenangan Quick Count 2014: Menjelajah TPS di Tempat Sulit
Oleh: Sultani
Mengapa quick count menjadi begitu populer dalam musim pemilihan presiden, pemilihan umum, dan pemilihan kepala daerah? Bagi kandidat dan pendukungnya, quick count merupakan metode paling cepat untuk segera mengetahui pemenang kontestasi. Data quick count sudah menjadi referensi para kandidat sejak lama karena hasil prediksinya memiliki akurasi yang tinggi sehingga selisihnya dengan hasil dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) sangat kecil. Karena itulah data quick count sangat diandalkan oleh semua kandidat dan tim sukses untuk mengevaluasi strategi pemenangan selama masa kampanye.
Litbang Kompas sendiri memulai debut quick count dalam Pemilihan Gubernur DKI Jakarta tahun 2007. Dalam ajang Pilgub DKI secara langsung ini Litbang Kompas mengambil 250 titik TPS sebagai sampel untuk memprediksi pemenangnya. Hasilnya, pasangan Fauzi Bowo -- Prijanto unggul atas lawannya, Adang Daradjatun -- Dani Anwar dengan tingkat elektabilitas sebesar 57,76 persen. Sementara tingkat elektabilitas lawannya sebesar 42,24 persen.
Sementara itu, dari hasil resmi KPUD Jakarta, pasangan Fauzi Bowo - Prijanto dipilih oleh 57,87 persen pemilih. Lawannya, Adang Daradjatun - Dani Anwar dipilih oleh 42,13 persen pemilih Jakarta. Dengan data KPUD ini diketahui bahwa simpangan rata-rata hasil quick count Litbang Kompas sebesar 0,11 persen. Angka tersebut menunjukkan bahwa hasil quick count Litbang Kompas memiliki selisih sebesar 0,11 persen terhadap pilihan populasi pemilih Jakarta. Artinya, terdapat selisih (simpangan rata-rata) yang cukup kecil sehingga akurasinya sangat mendekati hasil resmi KPUD Jakarta.
Untuk mencapai akurasi data yang tinggi dalam quick count prinsip teoretisnya hanya satu, yaitu menggunakan data sampel TPS yang dipilih secara acak dan proporsional. Prinsip ini universal berlaku dalam riset sosial dan riset opini publik. Karena itu, semua lembaga survei dan penyelenggara quick count pasti sudah memahami betul bahwa untuk mendapatkan gambaran awal hasil pemilihan umum secara akurat, proyeksi datanya terdapat pada teknik sampling yang tepat.Â
Untuk itulah Litbang Kompas merancang organisasi dan mekanisme kerja quick count serinci mungkin untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya kesalahan dalam menentukan titik sampel di lapangan. Struktur organisasi quick count dengan tugas dan tanggung jawab yang berjenjang memungkinkan efisiensi dalam verifikasi dan validasi faktual TPS yang dilakukan oleh interviewer, korlap, korda, dan korwil. Mekanisme kerja yang bersifat hierarki ini juga memungkinkan pemilihan TPS yang realistis, terjangkau, aman, dan memiliki akses komunikasi namun tetap memenuhi prinsip acak dan proporsional.
Untuk diketahui, quick count Litbang Kompas 2014 dilakukan untuk menghitung hasil Pemilu anggota legislatif (Pileg) yang dilaksanakan pada 9 April 2014 dan Pemilihan Presiden pada 9 Juli 2014. Jadi, cerita tentang persiapan penyelenggaraan quick count ini adalah konsolidasi untuk mempersiapkan SDM dan infrastruktur hitung cepat yang akan digunakan pada Pileg dan Pilpres tersebut.
Â
Menjelajahi Wilayah TPS
Tugas utama seorang koordinator wilayah (korwil) adalah memastikan semua TPS yang menjadi sampel bisa dijangkau dan memiliki akses telekomunikasi seberapa pun jauhnya dari pusat kota. Korwil harus memverifikasi keberadaan TPS yang divalidasi secara faktual oleh interviewer kepada korlap dan korda. Validasi faktual tersebut adalah laporan tentang identitas TPS dan kondisi daerah yang dikirim dalam bentuk short message service (SMS) kepada pusat kontrol data di Jakarta. Untuk daerah-daerah remote (pedalaman) korwil harus mendatangi langsung untuk memvalidasi identitas TPS terpilih sekaligus merekrut warga lokal sebagai informan lokal atau interviewer mandiri. Mereka juga diwajibkan untuk mengirimkan data diri dan data TPS sebagai bukti validasi faktual.
Saya sendiri mendapat tugas sebagai korwil untuk wilayah provinsi Sulawesi Tenggara. Jumlah TPS yang menjadi sampel di sini sekitar 19 TPS yang menyebar dari Kabupaten Wakatobi hingga Kolaka Utara. Dari 19 TPS tersebut, 5 titik termasuk kategori daerah remote (pedalaman) yang harus ditangani oleh informan lokal, sementara 14 titik lainnya berada di dalam jangkauan interviewer reguler (mahasiswa).
Dari titik sebarannya, sampel TPS di Sulawesi Tenggara ini relatif merata untuk wilayah daratan (Pulau Sulawesi) dan wilayah kepulauan yaitu Wakatobi, Pulau Buton, dan Pulau Muna. Untuk menangani ke-19 titik TPS tersebut, saya merekrut dua korlap berdasarkan karakteristik wilayahnya yaitu daratan dan kepulauan. Secara kebetulan juga, wilayah daratan lebih banyak berada dari Kota Kendari ke utara, yaitu Kabupaten Konawe Selatan, Kabupaten Kolaka Utara. Sedangkan wilayah kepulauan berada di sebelah selatan, yaitu Kabupaten Muna (Pulau Muna), Kabupaten Buton (Pulau Buton), dan Kabupaten Wakatobi (Pulau Wangi-wangi). Korlap di kepulauan ini juga saya tugaskan untuk mengoordinir interviewer di wilayah daratan bagian selatan, yaitu Kabupaten Bombana. Pusat kendali korlap bagian utara adalah Kota Kendari, sementara korlap kepulauan di Kota Baubau (Pulau Buton).
Saya sendiri sebagai korwil selain tetap memantau pekerjaan korlap, saya juga harus menjelajahi 5 titik TPS di daerah pedalaman yang ada di Wangi-wangi, Buton, Muna, Bombana, dan Kolaka Utara. Perjalanan ke titik-titik TPS tersebut membawa misi membawa misi rekrut informan lokal dan memastikan adanya akses jaringan komunikasi. Mengingat karakter wilayah Sulawesi Tenggara yang dikelilingi oleh pulau-pulau kecil di sekitarnya juga memengaruh pilihan saya dalam menggunakan alat transport untuk menjangkau titik sampel TPS.
Daerah pertama yang Saya kunjungi dalam misi pertama ini adalah Pulau Wangi-wangi yang ada di Kabupaten Wakatobi. Perjalanan kali ini merupakan kunjungan pertama saya ke daerah yang terkenal karena keindahan alamnya. Saya menggunakan Wings Air dari Bandara Halu Oleo Kendari dengan tujuan Bandara Matahora yang berada di Pulau Wangi-wangi. Orang lokal sering menyebut pulau ini dengan nama Wanci. Wangi-wangi atau Wanci ini merupakan pulau terbesar dari nama 4 pulau yang menjadi elemen Kabupaten Wakatobi ini (Wangi-wangi, Kaledupa, Tomiya, dan Binongko).
Ketika memilih daerah ini untuk dijelajahi, bayangan Saya adalah kesempatan untuk menikmati keindahan pulaunya yang sudah termahsyur sebagai salah satu taman nasional. Kalau waktunya sempit, paling tidak bisa berenang sambil snorkeling di sekitar perairan yang masih biru. Bayangan tersebut buyar lantaran pekerjaan sangat padat meskipun tugas Saya hanya memberikan briefing kepada satu interviewer.
Persoalannya, akses transportasi dengan pesawat untuk keluar dari pulau ini sangat terbatas. Penerbangan ke Wakatobi tidak rutin setiap hari. Hanya dua atau tiga hari seminggu. Selebihnya, kalau warga mau ke Baubau atau Kendari harus menggunakan kapal laut atau kapal feri. Karena waktunya sangat terbatas agenda berenang pun dibatalkan karena keberangkatan kapal dari pelabuhan Wanci ini juga hanya sekali dalam sehari. Kalau terlambat naik kapal, agenda kerja akan tertunda satu sampai dua hari lamanya.
Sebagai ganti dari renang, Saya hanya bisa menikmati angin laut dari atas restoran apung yang memiliki kolam yang berisi ikan laut yang menunggu makanan dari pengunjung restoran. Itu pun bisa dinikmati ketika makan siang bersama tamu-tamu yang lain.
Tugas briefing kepada interviewer Saya tunaikan bersama korlap. Saya jelaskan semua hal terkait konsep dan tujuan quick count, dan mengapa Wanci bisa terpilih sebagai salah satu sampel. Setelah itu baru Saya tunjukkan tentang teknik untuk mengirimkan SMS hasil quick count ke Jakarta. Tapi sebelumnya, interviewer ini saya minta untuk simulasi pengiriman SMS yang berisi data ID sampel, nama interviewer, dan lokasi sekarang. Setelah itu penjelasan tentang kuesioner exit poll, dan honor yang akan diberikan. Semua interviewer akan melalui prosedur kerja yang sama seperti ini. Setelah semua pekerjaan beres, Saya mengingatkan bahwa keterlibatan mereka sudah fix dan tidak bisa diganti lagi sampai dengan hari pelakasanaan quick count.
Berlayar Antar Pulau
Begitu deal, pekerjaan Saya di Wakatobi selesai dan langsung bersiap-siap menuju pelabuhan, membeli tiket untuk penjelajahan TPS berikutnya di Pulau Buton. Pelayaran dari Wakatobi menuju Buton dilakukan pada malam hari sehingga tidak ada pemandangan yang bisa dilihat di sini. Malam itu semua penumpang hanya duduk dan berbaring di atas tempat tidur yang ada di kabin kapal. Kapal bergerak lambat karena terhalang ombak yang cukup besar sehingga terasa sekali olengnya. Cuacanya kurang bagus, karena di luar terasa anginnya cukup kencang, dan di langit terlihat sesekali petir menyambar.
Kapal mulai stabil geraknya menjelang fajar yang diikuti dengan kokok ayam jantan dari buritan kapal. Di ufuk mulai terlihat semburat jingga yang menandakan sebentar lagi matahari akan terbit. Kapal terus bergerak meninggalkan gelombang di atas laut yang terlihat datar dan tenang. Dari kejauhan mulai terlihat daratan dengan rumah-rumah penduduk yang berkilau terkenan semburat cahaya alam.
Kapal terus bergerak maju mendekati pelabuhan yang dituju, yang ada di Kota Baubau. Kami merapat di dermaga Murhum Kota Baubau sekitar jam 8:00 WITA. Udara kota pagi itu masih terasa segar. Jalanan sudah mulai ramai dengan kendaraan yang hilir mudik di depan pintu gerbang pelabuhan. Saya turun dari kapal bersama korlap dan langsung ke hotel yang letaknya berseberangan dengan pelabuhan.
Sekitar jam 10:00 pagi kami langsung bergerak meninggalkan hotel dengan mobil rental menuju ke arah Kabupaten Buton Selatan untuk merekrut interviewer mandiri lagi. Perjalanan dari Baubau menuju ke lokasi sekitar 4 jam. Di sini ritme kerja tertahan karena kami tidak bisa langsung mendapatkan warga lokal yang bersedia menjadi interviewer mandiri. Warga di sini kebanyakan nelayan, jadi mereka tidak bisa di darat seharian. Akhirnya ada seorang guru SD bersedia menjadi informan lokal karena pada hari pemilu dia akan libur di kampungnya. Setelah menjalani prosedur briefing dan simulasi, kami langsung melanjutkan perjalanan untuk merekrut interviewer di Kabupaten Buton Induk. Perjalanan kami hari itu berakhir jam 10 malam di kamar hotel.
Agenda berikutnya adalah menjelajah Pulau Muna dan merekrut satu tenaga interviewer lokal di sana. Di sini relatif mudah karena hampir semua penduduknya pada hari pemilu stand by di rumah. Hampir semua orang menawarkan diri untuk menjadi tenaga pengumpul data di TPS, tapi sayangnya yang dibutuhkan Cuma satu orang. Pilihannya jatuh kepada seorang ibu alumni salah satu perguruan tinggi swasta di Kendari.
Saya meninggalkan Pulau Muna menuju Baubau dengan menggunakan kapal feri penyeberangan sekitar pukul 15:00 WITA. Satu jam kemudian saya sudah berada di kamar hotel untuk beristirahat setelah beberapa hari ini keliling dari Wanci, Buton, dan Muna. Abis Maghrib Saya keluar hotel sekadar untuk jalan-jalan menikmati suasana malam di Kota Baubau. Saya dan korlap Baubau kemudian bertemu di salah satu restoran di dekat hotel. Kami bercengkerama sembari membahas progres kerja dan rencana untuk mengantisipasi kendala yang muncul pada saat pelaksanaan quick count.
Agenda hari berikutnya adalah berlayar ke Bombana, daerah paling selatan dari daratan Pulau Sulawesi. Agenda keberangkatan speedboat dari Baubau ke Bombana jam 1 siang. Selepas sarapan di hotel Saya dijemput korlap untuk dibawa jalan-jalan keliling Baubau. Saya diantar ke situs Benteng Kesultanan Buton yang bangunannya masih utuh dan terawat dengan baik. Setelah puas berkeliling dan mengambil foto-foto di dalam benteng, kami langsung ke hotel untuk siap-siap ke pelabuhan speedboat. Tepat jam 1 siang speedboat yang akan berlayar ke Bombana angkat jangkar dan bertolak meninggalkan pelabuhan Baubau. Penjelajahan di kawasan kepulauan pun berakhir.
Speedboat tiba di dermaga Bombana sekitar jam 7 malam. Hari sudah gelap karena kawasan di sekitar dermaga speedboat ini minim pencahayaan. Satu per satu penumpang turun dari kabin kapal melewati tangga papan yang dipasang sejajar antara bodi kapal dengan dermaga. Saya termasuk penumpang paling akhir yang meninggalkan kapal setelah memastikan semua barang bawaan tidak ada yang ketinggalan di atas kapal.
Di darat sudah menunggu korlap kawasan daratan yang sengaja saya minta untuk menjemput di dermaga. Dia datang bersama 3 interviewer yang sudah dia rekrut. Setelah saling menyapa kami langsung meninggalkan dermaga menuju penginapan, terus ke rumah makan untuk makan malam bersama.
Malam itu saya makan agak lahap karena menu ikan bakarnya sangat menggugah selera. Ikannya saya pesan jenis sunuk merah yang  terkenal paling enak kalau dibakar polos. Saya juga memesan ikan sunuk pallumara yang terkenal gurih dengan cita rasa asam pada kuahnya. Korlap dengan interviewer saya bebaskan untuk pesan makanan apa saja. Tapi di rumah  makan ini semua menu makannya adalah ikan, hanya jenis ikannya saja yang beda.
Sejak dari Wakatobi, Buton, dan Muna, semua rumah makan yang saya datangi menunya serupa yaitu ikan. Ikannya masih segar dan termasuk berkelas untuk yang biasa makan seafood di Jakarta. Ada ikan sunuk, kakap, cue, sampai peda. Ada lagi jenis ikan yang jarang dijumpai di Jakarta, tapi banyak sekali di sini. Semuanya diolah dengan 3 cara, yaitu dibakar, digoreng dan pallumara atau parende. Untuk ikan pallumara atau parende saya tahu persis karena termasuk salah satu makanan favorit ketika di kampung. Dari bahasanya saja saya tahu kalau yang masak ini pasti dari Sulawesi Selatan, yaitu Makassar atau Bone.
Acara makan malam bersama kami lanjutkan di penginapan sembari briefing dan bercengkerama bersama hingga jam 12 malam. Setelah memastikan bahwa mereka telah paham semua dengan sistem registrasi dan simulasi pengiriman data ke pusat kontrol data saya meninggalkan korlap dan interviewer untuk melanjutkan agenda mereka.
Ganti TPS
Kegiatan untuk besoknya adalah mengunjungi salah satu titik sampel di remote area untuk merekrut satu interviewer lokal. Kami berangkat dari hotel jam 9 pagi ke arah selatan menyusuri pesisir pantai. Jalannya mulus dan lurus sehingga perjalanannya terasa nyaman dan menyenangkan. Setelah satu jam perjalanan kami mulai memasuki daerah yang sepi dengan kondisi jalan berlumpur. Kami bergerak terus mengikuti arah jalan menuju Desa Mata Oleo, titik sampel terpilih. Setelah melewati jalan berlumpur, kami memasuki jalan tanah kering yang berpasir. Sekitar 5 kilometer, perjalanan terhenti karena jalan di depan terputus akibat banjir.
Kami menepi sambil berteduh di sebuah rumah yang pintu dan jendelanya tertutup semua. Tidak ada tanda-tanda kehidupan manusia di dalam rumah ini. Kami memberi salam sambil mengamat-amati keadaan di sekeliling rumah, tapi tetap sepi. Sambil menunggu orang lewat, iseng-iseng kami coba buka handphone untuk mengecek sinyal. Ternyata kosong, tidak ada tanda garis satu pun yang muncul di layar Blackberry saya. Sementara dari layar handphone Nokia korlap juga menunjukkan gambar yang sama. Kami simpulkan kawasan ini tidak ada akses untuk sinyal HP sehingga berpotensi untuk dieliminasi sebagai titik sampel.
Tetapi, di titik kami berdiri bukanlah titik sampel yang ditilik oleh teknik sampling dari Jakarta. Kami harus pastikan bahwa di Desa Mata Oleo juga benar-benar tidak ada sinyal HP baru bisa dieliminasi. Desa Mata Oleo sendiri beberapa kilometer di depan posisi kami sekarang.
Akhirnya, ada satu sepeda motor yang datang dari arah Desa Mata Oleo yang bergerak melipir ke pinggir menghindari genangan air. Pelan-pelan motor tersebut mendekat dan berhenti di depan mobil kami yang terparkir. Pengendaranya langsug memberi tahu kalau sudah dua hari ini mobil dengan ban standar tidak bisa masuk ke sini. Katanya, kemarin saja dua atau tiga mobil Avanza bannya tertanam karena nekat melintas di jalan lumpur itu. Hanya mobil dengan ban offroad saja yang bisa tembus sampai ke desa seberang.
Karena waktu sudah banyak yang terbuang Saya tanyakan tentang kondisi Desa Mata Oleo. Kata pengendara motor, desanya masih jauh, harus lewati hutan, dan untuk sampai ke sana harus naik perahu, karena ada kali kecil di depannya. Terus sinyal HP bagaimana? "Susah", katanya. Mendengar informasi itu, Saya langsung putuskan untuk melaporkan kondisi ini ke Jakarta dan mengusulkan penggantian titik sampel dengan karakter desa yang sama.
Ternyata kami sudah berdiri di tempat tadi kurang lebih tiga jam lamanya. Banyak waktu terbuang yang berpotensi memperlambat waktu untuk proses rekrutmen berikutnya. Saya langsung laporkan kondisi ini dan meminta untuk segera diputuskan saat itu juga, karena waktunya sudah mepet sekali. Akhirnya penanggung jawab quick count mengijinkan untuk segera mengganti sampel tapi dengan karakteristik yang sama.
Kami langsung berkoordinasi dengan tim interviewer di Kasipute (ibu kota Kabupaten Bombana) untuk mencari informasi desa pengganti yang karakteristiknya sama dengan Desa Mata Oleo. Akhirnya kami diarahkan ke salah satu desa yang berada di sebelah timur Kasipute. Kami pun langsung bergerak ke desa yang dituju. Perjalanan relatif lancar sehingga kami tiba di sana masih sekitar jam 3 sore. Setelah meminta ijin ke perangkat desa kami diarahkan ke rumah salah satu tokoh masyarakat yang selama ini selalu membantu kepentingan survei lembaga dari luar.
Dari beiau inilah Kami mendapat nama salah satu tokoh pemuda yang pernah kuliah di Makassar untuk menjadi interviewer lokal. Beliau sendiri yang menelepon pemuda ini dan memintanya untuk membantu pekerjaan kami. Setelah bertemu dan menjelaskan semua pekerjaan quick count, pemuda ini menerima tawaran kami. Tugas merekrut interviewer lokal di Bombana pun tuntas. Kami meninggalkan desa ini selepas shalat Isya, menuju Kota Kendari.
Kendari menjadi pusat kontrol data untuk Provinsi Sulawesi Tenggara. Semua interviewer yang bertugas di Kota Kendari, Konawe Selatan, dan Kolaka briefingnya dipusatkan di sini. Karena itu butuh energi yang ekstra untuk menjelaskan kepada 9 interviewer. Briefing di Kendari dilakukan secara maraton dari pagi sampai sore hari karena sisa waktu setelah briefing akan saya gunakan untuk melanjutkan perjalanan ke Kolaka Utara yang waktu tempuhnya bisa sampai 8 jam.
Perjalanan ke Kolaka Utara menjadi misi terakhir Saya dalam merekrut SDM dan membangun infrastuktur jaringan komunikasi yang akan digunakan untuk quick count. Tugas saya hanya merekrut satu tenaga interviewer lokal, namun jarak tempuh dan waktu tempuhnya yang paling lama.
Semua rasa capek dan lelah terbayar oleh keindahan Kota Lasusua yang menjadi ibu kota Kabupaten Kolaka Utara. Kota kecil yang terletak persis di pesisir Teluk Bone ini tampak begitu indah dari atas bukit dengan ikon masjid raya yang dilatari oleh laut biru. Kota ini belum begitu ramai meskipun posisinya menjadi tempat transit antara Provinsi Sulawesi Tenggara dengan Provinsi Sulawesi Tengah dan Sulawesi Selatan. Â
Tugas terakhir ini saya tunaikan dengan baik karena tidak terlalu sulit dalam merekrut interviewer lokal. Kebetulan juga lokasi sampelnya ada di daerah perkotaan sehingga tidak ada kendala dengan sinyal HP. Tugas beres dan kami pun menginap satu malam di kota Lasusua yang terkenal paling adem di seluruh Sulawesi Tenggara. Lagi-lagi semua rumah makan di sini juga menawarkan menu makan berupak ikan segar seperti kota-kota yang sudah saya datangi sebelumnya. Saya menikmati setiap potongan ikan yang dimakan karena memang masih segar dan enak.
Persiapan Terakhir
Perjalanan membentuk infrastruktur dan jaringan komunikasi di TPS merupakan konsolidasi yang dilakukan pada tahap-tahap awal dari rangkaian penyelenggaraan quick count. Kira-kira antara 6 bulan hingga 3 bulan sebelum pelaksanaan. Setelah semua SDM tersedia dan infrastruktur terbentuk korwil memiliki satu kesempatan terakhir untuk melakukan konsolidasi sebagai persiapan terakhir pelaksanaan quick count.
Persiapan terakhir ini dilakukan sepekan sebelum hari H pemilu. Pada masa-masa ini korwil turun lapangan ke wilayah kerja masing-masing hanya untuk memastikan persiapan yang dilakukan selama 6 bulan sudah siap untuk dimanfaatkan pada hari pemilu nanti. Persiapan ini juga menyangkut kelancaran jaringan komunikasi di pusat kontrol data dan koordinasi kerja antara tim lapangan dengan tim pusat. Tahap persiapan terakhir ini juga akan menjadi ajang uji coba kehandalan sistem kerja yang sudah dirancang untuk mendukung kelancaran dan kecepatan arus lalu lintas 2000 SMS yang akan masuk dari pukul 13:00 WIB.
Cerita pengalaman saya membentuk jaringan komunikasi TPS selama kurang lebih 10 hari bisa menjadi patokan untuk membayangkan bagaimana mobilisasi tenaga peneliti Litbang Kompas secara keseluruhan untuk konsolidasi di wilayah kerjanya yang mencakup 34 provinsi di seluruh Indonesia. Ceritanya bisa lebih seru dan lebih sulit dari apa yang saya alami di Sulawesi Tenggara. Dan semua itu akan mencapai puncaknya ketika quick count dilaksanakan pada hari pemilu.
Dua ribu lebih sumber daya manusia yang digerakkan oleh Litbang Kompas untuk memantau TPS dari pagi hari hingga penghitungan suara di TPS dinyatakan selesai. Mereka mencatat dengan kode-kode tertentu lalu mengirimkannya ke pusat kontrol data. Mereka harus menunggu konfirmasi dari petugas kontrol data untuk memastikan kebenaran data yang sudah dikirim tersebut.
Tujuan utama persiapan terakhir adalah memastikan bahwa semua tenaga lapangan sudah siap dan bisa bekerja. Kemudian TPS dan DPT juga sudah bisa diketahui wujudnya. Korwil akan melakukan briefing terakhir sebelum tenaga lapangan diminta untuk ke TPS masing-masing untuk mengecek lokasinya, mencatat dan memotret DPT di TPS, dan melapor kepada petugas KPPS tentang kehadiran mereka pada saat pemilu. Data-data ini kemudian dikirim ke Jakarta dengan kode akses yang sudah diberikan kepada masing-masing interviewer, termasuk informan lokal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H