Karena itu, dengan kesadaran akan bahayanya ketegangan politik yang berlarut-larut ini maka dibutuhkan komitmen bersama dari seluruh elemen masyarakat dan pemimpin untuk mengutamakan pembangunan harmoni sebagai langkah awal menuju persatuan yang lebih solid. Harmoni merupakan pondasi utama bagi kesatuan bangsa yang kuat dan stabil. Tanpa harmoni, sulit untuk menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pembangunan dan kemajuan bersama.
Konteks Konflik Pasca-pemilu
Pemilu di Indonesia bukan sekadar proses demokrasi, tetapi juga menjadi arena pertarungan ideologi, kepentingan politik, dan aspirasi masyarakat yang beragam. Karena itu pemilu di Indonesia selalu diiringi oleh dinamika politik yang kompleks dan beragam.
Salah satu dinamika politik yang paling menonjol selama ini adalah munculnya konflik dan ketegangan sosial yang berimbas pada stabilitas sosial dan politik negara. Konflik pasca-pemilu di Indonesia selalu dibingkai dalam konteks polarisasi dukungan yang berakar pada pluralisme sosial, kompetisi politik, serta polaritas dan perpecahan.
#1. Pluralisme Sosial
Konteks pluralisme politik yang mewarnai konflik pascapemilu merupakan konsekuensi logis dari karakter Indonesia sebagai negara yang kaya dengan keberagaman, baik dari segi budaya, agama, dan etnis.
Pluralitas ini, meskipun menjadi kekayaan budaya yang luar biasa, ternyata bisa menjadi bahaya laten dengan dampak yang signifikan dalam konteks konflik pasca-pemilu di Indonesia. Pluralitas sosial selalu muncul dalam pemilu yang tercermin pada beragamnya opini dan preferensi politik masyarakat.
Salah satu contoh bahaya laten dari pluralitas sosial ini adalah terjadinya pembelahan dalam masyarakat akibat preferensi politik berdasarkan agama yang bermuara pada mobilisasi politik identitas ketika musim pemilu seperti sekarang.
Pluralitas sosial ini juga terlihat pada beragamnya opini dan pandangan masyarakat terkait dinamika politik selama pemilu berlangsung. Opini yang dimobilisasi berdasarkan aliran politik, ideologi, dan aspirasi politik selama ini selalu berujung pada serangan-serangan politik dengan tendensi untuk mendiskreditkan lawan.
Opini tersebut berkembang menjadi ujaran kebencian, kampanye hitam dan kampanye negatif terhadap lawan. Konteks konflik pasca-pemilu yang dilatari oleh pluralisme ini bisa menjadi sumber konflik politik jika tidak dikelola dengan baik.