Mohon tunggu...
Sultani
Sultani Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis Lepas

Senang menulis kreatif berbasis data

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Mengapa PDIP Tetap Unggul Meskipun Ganjar Kalah Dalam Quick Count?

16 Februari 2024   15:19 Diperbarui: 5 Maret 2024   16:24 227
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Para tokoh PDI sadar, Marhaenisme memang kuat pengaruhnya, namun paham ini identik dengan PNI, dan sudah pasti tidak akan direstui oleh Orde Baru karena dianggap mewarisi semangat Orde Lama yang memiliki watak progresif-revolusioner. 

Sebagai langkah kompromistis, para tokoh PDI menyiasati pengordebaruan dirinya dengan mentransformasi Marhaenisme ke dalam istilah lain sehingga menjadi tiga watak dan ciri PDI, yakni: demokrasi Indonesia, kebangsaan Indonesia, dan keadilan sosial. 

Pengordebaruan ideologi PNI ini tersebut merupakan latar belakang yang mewarnai transformasi organisasi dan ideologi PNI sebagai partai penguasa menjadi partai kerdil binaan Orde Baru.

PDI yang hidup selama Orde Baru berkuasa tidak lebih sebagai pelengkap demokrasi yang menghiasi pesta demokrasi secara rutin setiap 5 tahun. Alih-alih memberi kebebasan, potensi PDI sebagai kekuatan oposisi dikebiri secara terus-menerus oleh rezim melalui rekayasa konflik internal seputar suksesi kepemimpinan partai. 

Akibatnya, energi partai hanya dihabiskan untuk menghadapi konflik yang selalu muncul sehingga PDI tidak memiliki waktu yang efektif untuk membangun konsolidasi partainya.

Ketika PDIP dideklarasikan pada 1999, partai ini mengadopsi tiga watak dan ciri PDI, yakni: yakni: Kebangsaan, Kerakyatan, dan Keadilan Sosial  sebagai kontinuitas karakter perjuangan PDI yang berakar pada ajaran Marhaenisme. Identitas wong cilik dari PDIP secara tegas dinyatakan konstitusi partai dengan "... berketetapan menjadikan dirinya menjadi partai modern yang mempertahankan jati dirinya sebagai Partai Kerakyatan".

Ikatan ideologis antara PDIP dengan pemilihnya sudah terbentuk menjadi relasi politik berbasis personal. Fungsionaris, kader, hingga pendukung atau simpatisan partai menempatkan diri mereka di hadapan ketua umum dalam hubungan yang lebih personal, yaitu antara ibu dengan anak. Posisi Megawati dipandang memiliki nilai yang lebih sakral daripada sekedar pemimpin formal, tetapi kedekatan batin antara seorang ibu dengan anak-anaknya.

#2. Jargon Wong Cilik 

Identifikasi PDIP sebagai partai kerakyatan yang dinyatakan dalam deklarasinya merupakan rumusan formal untuk menyebutkan partai moncong putih ini sebagai partai wong cilik. PDIP hendak memanifestasikan wong cilik sebagai identitas utama partai yang mencerminkan nilai-nilai kesederhanaan, keadilan, dan kepedulian terhadap rakyat kecil. 

Dalam konteks politik formal, wong cilik merupakan sebuah jargon politik yang ditransformasi secara utuh dari ciri dan watak kebangsaan, kerakyatan, dan keadilan sosial milik Partai Demokrasi Indonesia.

Tampilnya Megawati sebagai simbol perlawanan wong cilik membuat pengertian wong cilik tidak sebatas orang kecil saja, melainkan bertransformasi menjadi sebuah simbol yang menyatukan cara berfikir, bersikap, dan berperilaku dari sebuah entitas sosial yang termarjinalkan secara sosial dan ekonomi. Simbolisasi ini terkristalisasi menjadi sebuah identitas politik yang bertumpu pada kekuatan arus bawah yang menjadi basis ideologi dan sasaran perjuangan PDIP.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun