Mohon tunggu...
Sultani
Sultani Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis Lepas

Senang menulis kreatif berbasis data

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Mengapa PDIP Tetap Unggul Meskipun Ganjar Kalah Dalam Quick Count?

16 Februari 2024   15:19 Diperbarui: 5 Maret 2024   16:24 227
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kemenangan dalam Pemilu 1955 menambah wibawa PNI sebagai partai yang komit dengan nasionalisme dan kerakyatan, sudah dirintis sejak partai ini dibentuk tahun 1946. Pamor PNI semakin kuat tatkala posisi Presiden Soekarno terlihat lebih dekat kepada PNI. 

Kedekatan PNI dan Soekarno lambat laun membuka perbedaan interpretasi antara keduanya dalam menerjemahkan Marhaenisme sebagai landasan ideologi dan program partai.

Partai Nasional Indonesia secara resmi menyatakan Marhaenisme sebagai ideologinya pada Kongres ketiga di Yogyakarta pada 25-27 Juni 1948. Marhaenisme dirumuskan sebagai kesatuan sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi. PNI membedakan dengan tegas Marhaenisme dengan Marxisme dan komunisme. PNI menolak keberadaan historis materialisme, perjuangan kelas, dan kediktatoran dalam bentuk apa pun.

Menurut Kaligis (2014), penolakan ini merupakan strategi PNI untuk menunjukkan bahwa secara ideologis ada perbedaan tegas antara Marhaenisme yang dianut PNI dengan Marxisme dan komunisme. 

Di tingkat politik praktis, PNI berusaha merapatkan diri dengan Presiden Soekarno yang mengutamakan revolusi nasional untuk menghadapi Belanda. Kesan rakyat bahwa PNI baru ini benar-benar penerus PNI sebelum perang menguat seiring dengan komitmen PNI mengambil alih Marhaenisme sebagai dasar prinsip dan program partai.

Dalam beberapa kesempatan, Presiden Soekarno selalu mengkritik ideologi Marhaenisme yang dianggap kurang sesuai dengan prinsip-prinsip revolusi yang hendak diterapkan di Indonesia. Bung Karno menolak Marhaenisme PNI disamakan dengan pemikirannya karena isinya tidak menyebutkan "Marhaenisme sebagai Marxisme yang diterapkan di Indonesia (Kaligis, 2014).

Penafsiran Marhaenisme yang berbeda-beda antara Soekarno dengan para pimpinan PNI menjadi motif utama di balik perjalanan transformasi ideologi dan organisasi partai ini. Perselisihan tersebut memiliki pengaruh yang dominan dalam mewarnai konflik yang terjadi antara PNI dengan Soekarno maupun di antara para pimpinan PNI.

Hingga Orde Lama tumbang, PNI tidak berhasil membuat titik temu perbedaan penafsiran antara pimpinan partai dengan Presiden Soekarno. Di sini jelas bahwa ideologi Marhaenisme yang diadopsi dari Soekarno ternyata tidak diakui oleh Bung Karno sendiri, lantaran interpretasi yang diberikan oleh para pimpinan partai berbeda dengan keinginan Soekarno. Artinya, Marhaenisme yang diemban oleh PNI tidak memiliki akar gagasan yang sejalan dengan ajaran Bung Karno.

Dalam kegamangan tersebut, PNI memasuki era kepemimpinan Orde Baru pada 1968. Orde Baru yang dipimpin oleh Soeharto ini mengadakan Pemilu tahun 1971 di mana PNI menjadi salah satu partai politik pesertanya. 

Pemilu ini menjadi pemilu terakhir PNI sebagai partai otonom dan independen. Tahun 1973 PNI dilebur ke dalam wadah politik baru yang bernama Partai Demokrasi Indonesia bersamaa-sama dengan Parkindo, Partai Katolik, Murba, dan IPKI.

Bersamaan dengan fusi ini, semua parpol yang menjadi unsur fusi harus sepakat untuk menyelaraskan ideologi mereka dengan semangat pembangunan Orde Baru. Pengordebaruan terpaksa diterima sebagai bentuk kompromi idealisme perjuangan dengan pragmatisme politik di hadapan penguasa. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun