Putusan DKPP ini tidak saja mengandung polemik tetapi juga dinilai berlebihan karena sangat rentan untuk dipolitisasi oleh pihak-pihak yang selama ini selalu mempermasalahkan pencalonan Gibran Rakabuming Raka. Memang, DKPP sudah menyatakan bahwa putusannya hanya terkait pelanggaran kode etik oleh KPU, tidak ada hubungannya dengan keabsahan status Gibran sebagai cawapres sekarang. Meski demikian, potensi dipolitisasi tetap bisa terjadi karena putusan ini akan dikoleksi untuk menjadi amunisi yang bisa men-downgrade paslon nomor urut 2.
Alasan DKPP menjatuhkan sanksi pelanggaran kode etik kepada Pimpinan KPU dan jajarannya karena KPU tidak mengubah PKPU tidak bisa langsung diterima. Pasalnya, Putusan MK sudah serta merta membatalkan ketentuan UU yang dibatalkan MK dan peraturan turunan lainnya, termasuk PKPU. Selain itu, KPU juga tidak bisa disalahkan karena menerima pendaftaran cawapres sebelum mengubah PKPU. Jika KPU tidak melaksanakan putusan MK karena harus mengubah PKPU terlebih dahulu, justru bisa menimbulkan persoalan baru.
Ketua Umum Persatuan Doktor Pascasarjana Hukum Indonesia (PEDPHI), Abdul Chair Ramadhan justru berpendapat bahwa Putusan DKPP mengandung rekayasa dan kesesatan terselubung, mengacu pada pertimbangan putusan (ratio decidendi) putusan. Dalam pertimbangan putusannya, DKPP menyebutkan bahwa tindakan Para Teradu menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90 Tahun 2023 adalah tindakan yang sudah sesuai dengan Konstitusi. Frasa 'tindakan yang sudah sesuai dengan konstitusi', sepertinya tepat, namun kalimat tersebut tidak konsisten dan tidak tepat (Detik.com, 6/2/2024).
Secara substantif putusan DKPP ini tidak dapat mengubah penetapan batas usia capres dan cawapres yang sudah divonis MK. Vonis MK ini bersifat final, mengikat umum (erga omnes), dan harus langsung dilaksanakan (selfexecuting). Oleh karena itu, untuk melaksanakan putusan MK ini, KPU tidak perlu menunggu revisi terhadap UU. Kondisi ini juga berlaku bagi regulasi di bawah UU, termasuk PKPU.
Tindakan KPU menerima pendaftaran Gibran sebagai cawapres merupakan komitmen  KPU untuk mewujudkan keadilan dan substansial berkaitan perubahan yang terjadi terkait pencalonan presiden dan wakil presiden. Langkah-langkah yang ditempuh KPU sudah sejalan dengan hukum progresif untuk mewujudkan keadilan. KPU wajib menerima  pendaftaran pencalonan presiden dan wakil presiden, termasuk Prabowo-Gibran, ketimbang merevisi terlebih dahulu PKPU.
Gibran Tetap Cawapres
Mantan Ketua KPU RI yang juga Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo Gibran, Juri Ardiantoro meminta masyarakat untuk tidak terlalu merisaukan putusan yang dianggapnya berlebihan tersebut. Sebab ia menilai secara prinsip pencalonan Gibran Rakabuming Raka sudah sesuai konstitusi. KPU sudah menjalankan kewajiban konstitusionalnya sehingga status Gibran sebagai cawapres tidak terganggu meski DKPP menyatakan telah terjadi pelanggaran kode etik dalam proses pendaftarannya.
Untuk kepastian posisi Gibran sebagai cawapres ini sudah dikonfirmasi oleh komisioner KPU Idham Holik bahwa KPU sudah memproses pencalonan bakal pasangan calon presiden dan wakil presiden dengan benar sesuai peraturan perundang-undangan. Hal senada juga diungkapkan dengan jelas oleh Ketua DKPP sehingga putusannya tidak memengaruhi pencalonan Gibran sebagai cawapres karena sudah sesuai dengan konstitusi.
Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Gadjah Mada Zainal Arifin Mochtar sependapat dengan pernyataan KPU dan DKPP tersebut. Dia menyebut bahwa putusan DKPP terkait pelanggaran etik Ketua KPU RI Hasyim Asy'ari dan enam anggotanya tidak bisa menganulir keikutsertaan atau pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres di Pilpres 2024.