Mohon tunggu...
Sultani
Sultani Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis Lepas

Senang menulis kreatif berbasis data

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Pesan Simbolik Pertemuan Capres dengan Sultan Hamengku Buwono X

1 Februari 2024   00:13 Diperbarui: 5 Maret 2024   16:50 767
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pesan Simbolik Pertemuan Capres Dengan Sultan Hamengku Buwono X
Oleh: Sultani

Tiga calon presiden yang akan berkontestasi dalam Pemilihan Presiden 2024 sedang berusaha mengumpulkan dukungan secara simbolik kepada Sri Sultan Hamengku Buwono X selaku Raja Jawa yang bertahta di Yogyakarta. Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto, dan Anies Baswedan sudah sowan kepada sang Raja secara bergantian dalam rangka silaturahmi, memohon restu sekaligus meminta dukungan terhadap pencapresan mereka.

Sowan kepada raja bukanlah peristiwa asing dalam politik Indonesia. Setiap tokoh yang hendak berkontestasi pasti selalu menyempatkan diri untuk mengunjungi raja sebagai simbol permohonan dukungan terhadap niat dan ikhtiar mereka untuk menjadi pemimpin bangsa. 

Ganjar Pranowo adalah capres yang paling awal sowan ke Sultan Jogja. Ganjar diterima langsung oleh Sultan di Kantor Gubernur DI Yogyakarta pada 27 Desember 2023. Kunjungan ini merupakan simbol dari Ganjar untuk minta doa restu demi keselamatan dalam pencalonannya sebagai Presiden.

"Seluruh masyarakat Jogja kita mintai dukungannya," imbuh mantan Gubernur Jawa Tengah tersebut (Detik.com, 28/1/2024).

Sementara itu, capres Prabowo Subianto datang bersama pasangannya Gibran Rakabuming Raka pada 22 Januari 2024. Pasangan ini bertemu dengan Sultan di Gedhong Wilis, Kompleks Kepatihan, Yogyakarta. Prabowo mengemukakan maksud dan tujuan mereka sowan kepada Sultan adalah hendak meminta izin ke Sultan.

"Jadi sesuai budaya kita adat kita kalau mau masuk ke suatu tempat kita datang ke yang paling tua, jadi kami mohon izin gitu. Kami berterima kasih dapat diterima oleh Ngarsa Dalem dalam keadaan yang baik, kami mohon waktu dan tadi hanya sowan, juga melaporkan, minta izin masuk ke daerah lah " ujar Prabowo (Detik.com, 28/1/2024).

Anies Baswedan adalah capres terakhir yang sowan kepada Sultan Jogja, yaitu pada 24 Januari 2024. Sultan Jogja menerima kedatangan Anies di Gedhong Wilis, Kompleks Kepatihan, tempat yang sama ketika Sultan bertemu Prabowo dan Gibran.

Dalam pertemuan tersebut Anies mengaku hanya memohon doa, memohon restu, sekaligus bimbingan. Dari pertemuan tersebut Anies juga mendapat masukan dari Sultan HB X tentang bagaimana menjadi pemimpin yang tetap berpegang teguh kepada kebinekaan dan bisa memayungi semua golongan.

Pesan Simbolik

Mengapa para capres ini rame-rame sowan ke Sultan HB X, padahal sang Sultan tidak memiliki efek elektoral untuk mendongkrak kemenangan mereka? Sultan hanya mempunyai satu suara dan tidak mungkin bisa dibagi kepada ketiganya secara merata.

Secara kasat mata apa yang dilakukan oleh tiga capres itu merupakan bentuk silaturahmi untuk memohon restu dari seorang raja yang masih memiliki pengaruh secara moral kepada kawula yang mengabdi kepadanya. Kunjungan capres kepada Sultan hanya bisa dimaknai sebagai simbol yang memerlukan bahasa simbolik untuk memahaminya.

George Ritzer dan Douglas J. Goodman dalam buku Teori Sosiologi Modern (2004) mendefinisikan simbol sebagai obyek sosial yang dipakai untuk merepresentasikan (atau menggantikan) apa pun yang disetujui orang yang akan mereka representasikan. Tidak semua obyek sosial dapat merepresentasikan sesuatu yang lain, tetapi obyek sosial yang dapat menggantikan yang lain sudah pasti menjadi simbol.

Sumber: jbbudaya.jogjabelajar.org
Sumber: jbbudaya.jogjabelajar.org

Politik simbolik sebagai ekspresi perilaku tersembunyi para capres merupakan suatu proses berpikir yang melibatkan simbol dan arti yang memberikan ciri-ciri khusus pada tindakan sosial dan interaksi sosial mereka. Melalui simbol, para capres sedang mengomunikasikan sesuatu mengenai ciri mereka sendiri yang dilakukan dengan cara-cara yang khas.

Melalui pertemuan dengan Sultan, semua capres hendak menggunakan simbol-simbol yang ada pada diri Sultan --termasuk kekuasaan dan keraton---untuk menunjukkan rasa hormat negara terhadap kehidupan masa lalu yang diwariskan hingga sekarang, sekaligus menjadikannya sebagai proyeksi masa depan melalui visi kebangsaannya.

Pesan dari komunikasi simbolik tersebut adalah melestarikan semangat keraton sebagai miniatur Indonesia dalam menjaga keragaman sosial yang menjadi warisan terbesar bangsa kita.

Harmonisasi Kekuasaan 

Dalam buku Kebudayaan Jawa (Balai Pustaka, 1984), Koenjtaraningrat menegaskan, menurut pandangan orang Jawa, kebudayaannya bukan merupakan satu kesatuan yang homogen. Mereka sadar akan adanya suatu keanekaragaman yang bersifat regional, sepanjang daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Konfigurasi budaya Jawa sendiri berlapis-lapis menyerupai lingkaran yang mengelilingi wilayah "inti" kebudayaan Jawa, yaitu keraton.

Kedudukan keraton sebagai pusat kebudayaan merefleksikan kepercayaan orang Jawa akan adanya kesejajaran antara makrokosmos dengan mikrokosmos, yaitu antara jagat raya dengan manusia. Keraton diyakini sebagai jagat raya dalam bentuk kecil yang selalu berada di bawah pengaruh kekuatan semesta jagat raya. Sudah tentu, kehidupan manusia yang berada di bawah kekuasaan keraton juga akan dipengaruhi oleh semesta jagat raya.

Kekuatan semesta bisa mendatangkan kesejahteraan bagi kehidupan keraton dengan rakyatnya, atau bisa sebaliknya, mendatangkan bencana dan kehancuran.

Pengaruh kekuatan alam semesta ini sangat bergantung kepada kemampuan individu atau kelompok-kelompok dalam masyarakat, terutama raja, dalam menyelaraskan kehidupan dan kegiatan mereka dengan jagat raya. Keselarasan antara jagat raya dapat dicapai dengan cara menyusun tatanan kehidupan bersama (baca: kerajaan) sebagai jagat raya dalam bentuk kecil.

Posisi keraton menjadi sangat kuat lantaran diyakini sebagai pusat magis kerajaan sekaligus tempat turunnya wahyu, selain berkedudukan sebagai pusat kebudayaan dan pusat kekuasaan.

Keyakinan ini mencerminkan konsepsi keraton sebagai negara kosmik yang erat hubungannya dengan konsep raja sebagai titisan atau keturunan dewa atau raja-dewa (ratu-binathara).

Konsep raja-dewa tidak menempatkan raja pada kedudukan yang sama dengan tuhan, melainkan sebatas khalifatullah, sebagai wakil tuhan di dunia. Penurunan kedudukan ini tidak mengubah kekuasaan raja terhadap rakyatnya.

Keraton dan raja merupakan satu kesatuan karena keraton merupakan tempat raja bertahta untuk mengatur jalannya pemerintahan dan menata kehidupan rakyat.

Kesatuan ini melahirkan pemahaman yang lebih kompleks tentang keraton terutama dikaitkan dengan lingkup kekuasaan raja dan perannya dalam mengembangkan aspek-aspek kehidupan rakyat. Keraton bisa dilihat sebagai wilayah yang melingkupi tempat raja bersemayam atau pekarangan raja, keraton sebagai pekarangan/wilayah -- raja bersemayam--- sampai dengan alun-alun, dan keraton sebagai kerajaan atau negara.

Sumber: Kontan.co.id
Sumber: Kontan.co.id

Dalam struktur kekuasaan Jawa, keraton merupakan sebuah entitas sosial sendiri yang menempati lingkaran paling dalam sebagai simbol pusat jagat raya di dunia. Sebagai entitas sosial, keraton merupakan masyarakat atau komunitas yang memiliki kebudayaan sendiri yang menjadi sumber  peradaban dalam menata rangkaian kehidupan budaya yang melekat di dalam kehidupan masyarakat.

Kota Solo dan Yogyakarta merupakan pewaris tahta Kerajaan Mataram (Islam) yang lahir pada abad ke-17. Keraton Mataram yang berdiri di Solo dan Yogya ini bukan merupakan sebuah kerajaan yang utuh seperti ketika ia lahir. Mataram sudah terbagi menjadi empat keraton, yaitu Kasunanan Surakarta dan Pura Mangkunegaran di Solo, serta Keraton Yogyakarta dan Pura Paku Alam di Yogyakarta. Kurang lebih empat abad sudah keempat keraton ini bertahan di Solo dan Yogya hingga sekarang.

Dari keempat keraton tersebut hanya Keraton Yogyakarta yang eksistensinya paling menonjol dan memiliki pengaruh terhadap konfigurasi dan dinamika politik nasional. Apalagi dengan adanya Undang-undang Keistimewaan Yogyakarta, semua tradisi yang ada dalam kehidupan keraton sejak dulu dilindungi dan diakui oleh negara sebagai bagian dari kultur politik di Indonesia.

Kunjugan para capres ke Sultan HB X seolah ingin menegaskan eksistensi raja dan keraton dalam menjaga harmoni kekuasaan yang terus memanas menjelang Pemilihan Presiden 2024. Keraton menjadi tempat untuk mengembalikan watak kebangsaan kita sebagai entitas yang memelihara keragaman sosial yang sedang terancam akibat perbedaan afiliasi politik.

Para capres selaku penerus kepemimpinan nasional hendak menunjukkan secara simbolik bahwa mereka akan mengharmonisasikan keragaman sosial bangsa ini sebagaimana keraton mengharmonisasikan kehidupan mikrokosmos dengan makrokosmos.

Depok, 1 Februari 2024

***

Referensi

Koentjaraningrat. 1984. Kebudayaan Jawa. Jakarta: PN Balai Pustaka.
Ritzer, George. Et. al. 2004. Teori Sosiologi Modern. 2004. Jakarta: Kencana.
Soeratman, Darsiti. 2000.  Kehidupan Dunia Keraton Surakarta 1830-1939. Yogyakarta: Yayasan Untuk Indonesia.
Detik.com, Kala Capres-Cawapres Bergantian Sowan ke Sultan Jogja, 28/1/2024.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun