Mohon tunggu...
Sultani
Sultani Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis Lepas

Senang menulis kreatif berbasis data

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Pesan Simbolik Pertemuan Capres dengan Sultan Hamengku Buwono X

1 Februari 2024   00:13 Diperbarui: 5 Maret 2024   16:50 821
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mengapa para capres ini rame-rame sowan ke Sultan HB X, padahal sang Sultan tidak memiliki efek elektoral untuk mendongkrak kemenangan mereka? Sultan hanya mempunyai satu suara dan tidak mungkin bisa dibagi kepada ketiganya secara merata.

Secara kasat mata apa yang dilakukan oleh tiga capres itu merupakan bentuk silaturahmi untuk memohon restu dari seorang raja yang masih memiliki pengaruh secara moral kepada kawula yang mengabdi kepadanya. Kunjungan capres kepada Sultan hanya bisa dimaknai sebagai simbol yang memerlukan bahasa simbolik untuk memahaminya.

George Ritzer dan Douglas J. Goodman dalam buku Teori Sosiologi Modern (2004) mendefinisikan simbol sebagai obyek sosial yang dipakai untuk merepresentasikan (atau menggantikan) apa pun yang disetujui orang yang akan mereka representasikan. Tidak semua obyek sosial dapat merepresentasikan sesuatu yang lain, tetapi obyek sosial yang dapat menggantikan yang lain sudah pasti menjadi simbol.

Sumber: jbbudaya.jogjabelajar.org
Sumber: jbbudaya.jogjabelajar.org

Politik simbolik sebagai ekspresi perilaku tersembunyi para capres merupakan suatu proses berpikir yang melibatkan simbol dan arti yang memberikan ciri-ciri khusus pada tindakan sosial dan interaksi sosial mereka. Melalui simbol, para capres sedang mengomunikasikan sesuatu mengenai ciri mereka sendiri yang dilakukan dengan cara-cara yang khas.

Melalui pertemuan dengan Sultan, semua capres hendak menggunakan simbol-simbol yang ada pada diri Sultan --termasuk kekuasaan dan keraton---untuk menunjukkan rasa hormat negara terhadap kehidupan masa lalu yang diwariskan hingga sekarang, sekaligus menjadikannya sebagai proyeksi masa depan melalui visi kebangsaannya.

Pesan dari komunikasi simbolik tersebut adalah melestarikan semangat keraton sebagai miniatur Indonesia dalam menjaga keragaman sosial yang menjadi warisan terbesar bangsa kita.

Harmonisasi Kekuasaan 

Dalam buku Kebudayaan Jawa (Balai Pustaka, 1984), Koenjtaraningrat menegaskan, menurut pandangan orang Jawa, kebudayaannya bukan merupakan satu kesatuan yang homogen. Mereka sadar akan adanya suatu keanekaragaman yang bersifat regional, sepanjang daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Konfigurasi budaya Jawa sendiri berlapis-lapis menyerupai lingkaran yang mengelilingi wilayah "inti" kebudayaan Jawa, yaitu keraton.

Kedudukan keraton sebagai pusat kebudayaan merefleksikan kepercayaan orang Jawa akan adanya kesejajaran antara makrokosmos dengan mikrokosmos, yaitu antara jagat raya dengan manusia. Keraton diyakini sebagai jagat raya dalam bentuk kecil yang selalu berada di bawah pengaruh kekuatan semesta jagat raya. Sudah tentu, kehidupan manusia yang berada di bawah kekuasaan keraton juga akan dipengaruhi oleh semesta jagat raya.

Kekuatan semesta bisa mendatangkan kesejahteraan bagi kehidupan keraton dengan rakyatnya, atau bisa sebaliknya, mendatangkan bencana dan kehancuran.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun