Politik Menggunting Dalam Lipatan
Oleh: Sultani
Mahfud MD dalam acara debat cawapres pada 21 Januari 2024 berkali-kali melontarkan kritik secara terbuka terhadap kinerja pemerintah dalam mengelola persoalan-persoalan rakyat. Mahfud menganggap pemerintah kurang becus dari kebijakan-kebijakan yang dianggap merugikan rakyat. Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Kemanan ini mempertanyakan komitmen keberpihakan pemerintah terhadap rakyat melalui program-program yang semakin jauh meninggalkan rakyat.
Mahfud mengkritik subsidi pupuk yang kian besar meskipun lahan pertanian semakin sempit dan jumlah petani berkurang. Cawapres nomor urut 3 ini lalu menyebut bahwa food estate merupakan program pemerintah yang gagal, merusak lingkungan dan dapat merugikan negara. Program pemerintah yang juga dikuliti pasangan Ganjar Pranowo ini adalah impor yang terbilang tinggi sehingga tidak sesuai dengan janji Joko Widodo ketika debat dengan Prabowo Subianto pada 2019.
Mengacu pada momen debat capres 2019 tersebut, mantan Ketua MK ini mengatakan, Jokowi sudah berjanji akan menghentikan impor komoditas pangan jika terpilih. Nyatanya, pemerintah sekarang malah terus mengimpor komoditas pangan seperti kedelai, susu, gula pasir, beras, daging sapi, dan sebagainya.
"Pada tanggal 17 Februari 2019 dalam sebuah debat calon presiden, itu Pak Prabowo mengatakan bahwa Pak Jokowi itu menyampaikan tidak akan mengimpor komoditas-komoditas pangan, jika nanti terpilih presiden. Ternyata, kata Pak Prabowo, empat tahun memimpin Jokowi masih mengimpor dan itu merugikan banyak petani... Pak Jokowi bilang tidak akan impor, tapi sampai sekarang kita masih mengimpor banyak, malah semakin banyak mafianya impor mengimpor bahan pangan," kata Mahfud (Katadata.co.id, 24/1/2024).
Ungkapan Mahfud MD tersebut mengandung multitafsir sehingga bisa memberikan makna yang berbeda-beda, tergantung pada konteksnya. Saya melihat pernyataan Profesor Hukum Tata Negara ini dalam konteks dinamika politik yang suhunya sudah dipanaskan secara terus-menerus sehingga rentan untuk memicu ketegangan. Kontestasi Pemilihan Presiden kali ini memang panas karena dari ketiga pasangan calon yang berkontestasi, semuanya ingin menang dan menggunakan segala cara dan isu agar bisa lebih unggul.
Mahfud MD ketika hadir di atas panggung debat cawapres membawa dua identitas utama pada dirinya, yaitu sebagai calon wakil presiden dan sebagai Menko Polhukam. Sebagai cawapres mengkritik kebijakan pemerintah yang dianggap keliru atau tidak disetujui adalah hak kandidat sehingga lontaran kritikan yang disampaikan bisa dilihat sebagai bentuk koreksi untuk pemerintah. Namun, ketika menempatkan dirinya sebagai pejabat negara petahana, Mahfud MD seharusnya sadar, bahwa dirinya adalah bagian dari kesatuan politik pemerintahan Joko Widodo yang sudah berkomitmen untuk menyelesaikan tugas kenegaraan secara bersama-sama. Sehingga kritikan yang berlebihan terhadap pemerintah sama saja dengan membuka aib yang menjadi tanggung jawabnya juga.
Dalam konteks demokrasi, kritik terhadap kebijakan pemerintah adalah bagian dari proses politik yang sehat, di mana kritik dan perbedaan pendapat terhadap kebijakan adalah hal yang wajar. Seorang pejabat dapat menyuarakan pendapat kritis sebagai bagian dari tanggung jawabnya dalam memberikan masukan dan mencermati kebijakan pemerintah. Pemimpin dan pejabat publik, termasuk Mahfud MD, memiliki hak untuk menyampaikan pendapat mereka dan memberikan kritik terhadap kebijakan yang dianggap tidak sesuai dengan hati nuraninya.
Pertanyaan apakah tindakan kritik Mahfud MD bisa dianggap sebagai tindakan pengkhianatan sangat tergantung pada konteks dan tingkat kekritisan kritik yang disampaikan Mahfud. Pengkhianatan biasanya merujuk pada tindakan yang melanggar kepercayaan atau menghancurkan hubungan loyalitas. Kritik politik terlalu jauh untuk dikaitkan dengan tindakan pengkhianatan. Oleh karena itu, mengkritik pemerintah dalam debat cawapres atau forum formal lainnya tidak secara otomatis dapat dianggap sebagai bentuk pengkhianatan.