Jokowi, Netralitas, dan Etika Politik
Oleh: Sultani
Presiden Joko Widodo menyatakan bahwa Presiden boleh berkampanye dalam pemilihan umum. Karena itu seorang Presiden juga boleh memihak kepada calon tertentu dalam kontestasi.
"Presiden itu boleh loh memihak. Boleh. Tapi yang paling penting waktu kampanye tidak boleh menggunakan fasilitas negara," kata Kepala Negara (Kompas.com, 25/1/2024)
Pernyataan Presiden Indonesia ketujuh ini sontak memantik reaksi publik, terutama dari kubu pasangan Calon Presiden nomor urut 1 (Anies Baswedan -- Muhaimin Iskandar) dan pasangan Calon Presiden nomor urut 3 (Ganjar Pranowo -- Mahfud MD). Kedua kubu paslon ini akan menjadi pihak yang paling dirugikan kalau Presiden membolehkan dirinya untuk kampanye dan memihak kepada kontestan pemilu. Pasalnya, selama ini semua gestur politik yang diperlihatkan oleh Presiden Jokowi sudah bisa ditafsirkan sebagai bentuk dukungan kepada paslon nomor urut 2, Prabowo Subianto -- Gibran Rakabuming Raka.
Pernyataan Presiden pada saat-saat krusial menjelang Pemilihan Presiden pada 14 Februari 2024 bisa dikatakan sangat sarat kepentingan politik karena sudah mengabaikan prinsip kontrol terhadap konflik kepentingan (conflict of interest). Keterlibatan Presiden secara mendalam dalam proses kontestasi Pilpres 2024 sangat rentan dengan keberpihakan, karena Presiden sudah mengabaikan berbagai aturan legal-formal tentang netralitas kepala negara dan semua aparatur penyelenggara negara dalam pemilu.
Apa motif Presiden Joko Widodo dengan pernyataan politiknya yang kontroversial dan berpotensi mengancam kedudukannya sendiri?
Joko Widodo adalah seorang Presiden yang dipilih secara demokratis selama dua periode melalui Pipres 2014 dan 2019. Hingga Desember approval rating Jokowi masih berada di atas 80 persen, yang artinya mayoritas rakyat masih menyukai dan memiliki loyalitas yang tinggi terhadap Presiden Jokowi. Konsekwensi dari nilai approval rating yang tinggi tersebut adalah dukungan politik yang masih solid terhadap kekuasaan Presiden.
Dukungan politik tersebut menjadi kekuatan politik yang besar bagi Jokowi sehingga memberi peluang kepada dirinya untuk dipilih kembali sebagai Presiden jika konstitusi membolehkan. Karena tidak ada peluang dari konstitusi terhadap ambisi politiknya, kekuatan politik Jokowi tersebut tidak akan memberi keuntungan apa pun bagi dirinya jika tidak dikelola secara rasional. Salah satu manajemen kekuatan politik yang hendak dimanifestasi oleh Jokowi adalah menggunakan pengaruh kekuasaannya melalui suksesi politik nasional melalui Pilpres 2024. Â
Makanya, jauh-jauh hari sebelum bursa capres menajam pada sosok tertentu, Presiden Joko Widodo sudah memberi isyarat akan terlibat dalam kontestasi politik nasional. Bahasa yang digunakan Presiden saat itu adalah cawe-cawe sebagai simbolisasi keinginan untuk ikut menentukan sosok capres yang dikehendakinya. Sikap cawe-cawe ini didasarkan pada pertimbangan bahwa bangsa ini membutuhkan pemimpin yang bisa menjadikan Indonesia sebagai negara maju pada 2030. Kebijakan dan strategi kepemimpinan berikutnya akan menjadi penentu Indonesia untuk menjadi negara maju atau tidak.