Pembakuan Aksara Latin
Pemerintah Belanda sendiri telah menetapkan penggunaan Ejaan Van Ophuijsen pada 1901. Ejaan ini menggunakan huruf Latin dan sistem ejaan bahasa Belanda yang rancang oleh Charles A. van Ophuijsen.Â
Ejaan van Ophujsen merupakan standardisasi sistem penulisan abjad melalui penetapan ejaan Latin untuk bahasa Melayu yang berlaku di seluruh Hindia Belanda.
Untuk diketahui, ejaan Latin ini sudah dirintis sejak Belanda mendirikan sekolah guru di Maluku yang pengajarannya menggunakan bahasa Melayu.Â
Tokoh-tokoh seperti Pigafetta, de Houtman, Casper Wiltens, Sebastianus Dancaert, dan Joannes Roman merupakan ahli bahasa Melayu dari Eropa yang sudah merintis pemberlakuan sistem baca tulis secara seragam melalui karya tulis mereka. Jadi, kurang lebih tiga abad lamanya aksara Latin digodok oleh para ahli bahasa sebelum dijadikan sebagai ejaan yang baku di Hindia Belanda.
Dengan adanya perubahan pada sistem ejaan, maka ejaan bahasa Melayu yang pada awalnya menggunakan aksara Arab Melayu (abjad Jawi/Arab gundul) berubah menjadi aksara Latin.Â
Huruf Latin yang digunakan untuk menulis bahasa Melayu baku harus sesuai ejaan bahasa Belanda, karena secara de facto Belanda adalah penguasa di Nusantara.
Ejaan van Ophuijsen menempatkan huruf Latin sebagai satu-satunya aksara yang diakui secara resmi oleh Pemerintahan Hindia Belanda untuk digunakan pada lembaga-lembaga pemerintahan, terutama institusi pendidikan dan pelayanan administrasi masyarakat (layanan publik).Â
Dasar dari kebijakan penetapan ejaan ini adalah, penulisan bahasa Melayu di Hindia Belanda sudah menggunakan huruf Latin sejak Belanda pertama kali berkuasa.Â
Untuk Aksara-aksara lama yang sudah ada, pemerintah membiarkan untuk digunakan secara informal dan terbatas untuk urusan-urusaan domestik seperti budaya dan adat istiadat, surat menyurat pribadi, pendidikan dan lain sebagainya.