Mohon tunggu...
Sultani
Sultani Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis Lepas

Senang menulis kreatif berbasis data

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Media Sosial dan Realitas Politik yang Dilebih-lebihkan

3 Januari 2024   22:22 Diperbarui: 10 Januari 2024   21:51 769
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh: Sultani

Peran media sosial yang mendominasi cara komunikasi kita sekarang telah bertransformasi dari sekadar media komunikasi menjadi media mobilisasi opini publik. Pergeseran fungsi ini setidaknya bisa dilihat dari peran media sosial dalam politik kita selama satu dekade terakhir ini.

Tren penggunaan media sosial dalam politik, khususnya politik kontestasi berbasis elektoral sekarang, sangat efektif untuk memobilisasi opini publik berdasarkan isu-isu yang dilontarkan oleh para politisi. Karena itulah popularitas media sosial dalam politik meningkat drastis menjelang saat-saat kontestasi politik seperti Pemilihan Presiden 2024.

Tren maraknya isu-isu politik tersebar melalui media sosial sudah populer sejak Pilgub DKI Jakarta 2012. Namun, tren tersebut mengalami amplifikasi yang signifikan pada Pilpres 2014.

Meski saat itu platform media sosial masih terbatas, namun pola penyebaran isu-isu politik terjadi secara masif, berulang-ulang, dan terstruktur. Dari media sosial lah semua berita dan isu politik palsu atau bohong diproduksi secara massal, seperti seperti negative campaign (kampanye negatif), black campaign (kampanye gelap), hate speech (ujaran kebencian), dan hoax (berita bohong).

Semua kebohongan atau kepalsuan tersebut menghasilkan gelombang firehose of falsehood (semburan dusta) yang sepanjang Pemilu 2014. Semburan dusta ini bertebaran dengan pola yang terstruktur, diulang-ulang, dan mengaduk-aduk emosi serta kepercayaan seseorang.

Ironisnya, semburan dusta ini tetap saja ada meski musim pemilu sudah berlalu. Fenomena semburan dusta semakin subur karena masyarakat penerimanya menyukai kabar bohong asal menyenangkan. Padahal, daya rusak semburan dusta begitu nyata, memengaruhi individu hingga bisa merusak tatanan sosial suatu bangsa.

Pola menyerang berulang-ulang untuk mengurung obyek-obyek kebencian menggunakan media sosial tetap dilestarikan sehingga selalu muncul menjelang kontestasi politik nasional seperti Pemilu 2019 dan Pemilu 2024. Penyerang-penyerang baru banyak bermunculan. Mereka bekerja dengan cara yang sama. Objek kebencian kian rentan jadi sasaran serangan sehingga jatuh nilai sosialnya.

Semburan dusta adalah salah satu bentuk perang gerilya psikologis di era media sosial. Semburan dusta ini hanya dimungkinkan terjadi dalam masyarakat di mana tiap orang punya akses media sosial. Semakin banyak orang yang bisa akses media sosial maka jangkauan semburan dusta bisa semakin luas juga.

Sumber: viva.co.id
Sumber: viva.co.id
Disrupsi Komunikasi

Mengapa media sosial begitu efektif memengaruhi opini publik secara masif sehingga memberi efek riil dalam proses komunikasi massa? Pertanyaan ini hendak menguatkan fenomena media sosial yang mendisrupsi pola komunikasi verbal antarmanusia yang bersifat konvensional. Pada era tekknologi komunikasi yang berkembang pesat sekarang disrupsi tidak bisa dihindari oleh manusia, termasuk dalam komunikasi.

Keniscayaan disrupsi ini bisa dilihat dari dua aspek, yaitu: Pertama, disrupsi adalah dampak yang pasti akan muncul dari sebuah perubahan sosial  yang  dipicu oleh kemajuan teknologi. Kedua, teknologi (digital) bukanlah hambatan untuk manusia berkomunikasi. Dulu, teknologi dapat dikatakan sebagai hambatan karena mahal harganya. Sekarang, produk dan layanan yang dulunya sangat mahal menjadi lebih mudah didapat.

Fakta bahwa media sosial adalah bentuk dari kemajuan teknologi Era Industri 4.0 yang semakin populer saat ini, ternyata tidak saja mendisrupsi perilaku manusia dalam berkomunikasi, tetapi juga menjadi kunci efektivititas dalam komunikasi. Media sosial, selain bisa menyampaikan pesan kepada orang lain, bisa juga membangun jejaring sosial sesama penggunanya. Media sosial tampil sebagai bagian dari media baru yang menawarkan fungsi jejaring sosial.

Media Baru

Terry Flew dalam bukunya: New Media: An Introduction (2002) mendefinisikan media baru/new media sebagai media yang  menawarkan  digitisation,  conver-gence,  interactiviy,  dan  development  of network  terkait  pembuatan  pesan  dan penyampaian  pesannya. 

Kemampuannya menawarkan interaktifitas ini memungkinkan  pengguna  dari media baru memiliki pilihan informasi apa yang dikonsumsi, sekaligus   mengendalikan keluaran informasi yang  dihasilkan, serta melakukan pilihan-pilihan yang diinginkannya. Kemampuan interaktivitas inilah yang menjadi konsep sentral dari pemahaman tentang media baru.  

Media baru hanya pengistilahan yang merujuk pada karakteristik baru yang muncul dalam media komunikasi. Karakteristik baru tersebut adalah muatan interaktif yang sangat tinggi.

Muatan interaktif inilah yang menjadi ciri utama dari media sosial sebagai media baru yang muncul setelah era kejayaan radio dan televisi. Ciri ini menjadi daya tarik yang menghipnotis para pengguna sehingga mereka tenggelam dalam gaya komunikasinya yang menyenangkan.

Yasraf Amir Piliang dalam buku: Dunia Yang Dilipat (2004) menggambarkan,  orang  yang  terbuai  dengan komunikasi media baru bisa tenggelam di dalamnya, dan terbawa arus gaya komunikasi yang ada, hingga tak jarang bisa seolah menjadi sosok lain, yang jauh beda dengan dunia nyatanya.

Sumber: Kompasiana.com
Sumber: Kompasiana.com

Munculnya virtual reality, komunitas virtual, identitas virtual merupakan fenomena    yang banyak muncul  seiring  dengan  hadirnya media sosial sebagai media baru. Fenomena ini muncul karena media sosial memungkinkan penggunanya untuk menggunakan ruang seluas-luasnya, memperluas    jaringan, dan  menunjukkan  identitas berbeda dengan yang dimiliki pengguna tersebut di dunia nyata.

Keunggulan media sosial adalah menghadirkan model komunikasi interaksi secara langsung sehingga orang bisa berbicara seperti dalam komunikasi secara tatap muka. Tawaran fitur  media sosial ini membuat orang keranjingan untuk menggunakannya. Penggunanya pun meningkat tajam  karena memudahkan orang untuk berkomunikasi dengan siapa saja pada waktu dan tempat yang berbeda secara bersamaan.

Instagram, Line, WhatsApp, Facebook, Twitter, dan Tiktok adalah beberapa platform medsos yang paling laris di kalangan masyarakat. Di aplikasi ini penggunanya bisa mengekspresikan diri dengan beropini, bercerita, berargumen, berdebat, atau melakukan banyak hal secara bebas dan terbuka.

Sekarang, orang bisa dengan mudah memiliki akun media sosial. Ini alasan lain yang masuk akal mengapa tren pemakaian media sosial kian marak sekarang. Inilah keniscayaan disrupsi. Manusia sekarang sudah tidak akan tahan lama untuk duduk bersama dan membicarakan isu-isu penting terkait kehidupan, ketimbang membaca atau menyaksikan konten-konten visual yang diunggah melalui Youtube dan media sosial lain.

Realita yang Artifisial

Media sosial adalah media penuh drama dan dramatisasi. Realita yang ditampilkan ber-kebalikan dengan kenyataan yang sebenarnya. Meskipun berawal dari realitas, proses transformasi pesan atau konten bisa menjadi tidak presisi karena individu yang memproduksi dan mendistribusikan pesan memiliki kekuasaan yang sangat bebas untuk mengurangi, melebihkan, dan mendramatisasi.

Siapa pun pengguna media sosial bisa sangat bebas untuk mengekspresikan pikiran, perasaan, dan peran artifisialnya. Tidak ada sekat dalam interaksi sehingga komunikasinya pun tidak memandang jenis kelamin, kelas sosial, karakter personal, latar belakang sosial-budaya, afiliasi politik, dan identitas sosial lainnya. Semua bebas memproduksi konten untuk disebarluaskan. Kendali produksi ada di tangan pengguna.

Produksi tanpa kontrol ini ternyata berkorelasi dengan karakter media sosial yang menuntut kecepatan dalam distribusi. Di sisi lain, tuntutan untuk cepat merespons dan mengomentari pesan menyebabkan pengguna dikejar waktu sehingga mengesampingkan ketelitian atau kecermatan. Di sinilah konten media sosial rentan di-salahtafsirkan atau dipercaya sebagai kebenaran.

Sumber: Kompas.com
Sumber: Kompas.com
Produksi konten yang bebas dan subyektif ini kemudian melahirkan realitas yang dilebih-lebihkan atau yang disebut hiper-realitas (hyperreality). Hiper-realitas merupakan istilah yang digunakan oleh Jean Baudrillard untuk menjelaskan bagaimana realitas dapat dibuat oleh individu secara luas dan terang-terangan. Pengguna medsos membuat atau meniru citra diri dari individu tertentu untuk menjadikannya sebagai identitas diri mereka agar dikonstruksi oleh masyarakat yang lebih luas. Masyarakat dengan leluasa akan membuat realitas atas sesuatu hal yang bisa jadi berbeda jauh dengan realitas yang sebenarnya.

Hiper-realitas sudah menjadi fenomena yang banyak kita temui di masyarakat sekarang. Fenomena ini ditandai dengan semakin banyaknya realitas yang dibuat oleh masyarakat demi merepresentasikan diri mereka sendiri. Media sosial mereproduksi hiper-realitas melalui konten yang sengaja dibuat berlebihan atau kebenarannya melampaui fakta. Dari konten yang lebay khalayak dunia maya dibuat percaya lalu mengasosiasikan dirinya, seolah-olah konten tersebut merupakan representasi keberadaannya.

Paradoks Media Sosial

Masyarakat menjadikan media sosial sebagai alat pengukur status sosial mereka di lingkungan masyarakat. Mereka menganggap bahwa medsos  menciptakan realitas sosial atas diri mereka sendiri. Padahal, tidak jarang mereka mencampuradukkan keaslian diri mereka dengan sesuatu yang palsu demi menciptakan realitas baru di masyarakat tentang diri mereka. Inilah paradoks medsos.

Paradoks medsos merujuk pada penggunaannya untuk mengeksploitasi realita yang imajinatif. Medsos menjadi corong yang mengamplifikasi realitas yang dibuat-buat, realita absurd, semu, atau lebay. Medsos menjadi representasi realitas yang imajinatif. Di jagat maya ini para penggunanya bisa menjadi siapa saja yang diimajinasikan. Setiap pengguna bebas memproduksi dan mendistribusikan representasi imajinasinya. Imajinasi adalah pembeda medsos dengan media arus utama, seperti televisi, radio, dan media cetak.

Paradoks medsos bisa menguat karena mekanisme produksi kontennya berlangsung tanpa kontrol yang efektif untuk membatasi percakapan melalui filter tematik. Pada titik ini juga tuntutan untuk cepat merespons dan mengomentari pesan menyebabkan pengguna dikejar waktu sehingga mengesampingkan ketelitian atau kecermatan. Tanpa kontrol editorial membuat konten medsos rentan untuk dipercaya sebagai kebenaran.

Sumber: Kompas.id
Sumber: Kompas.id

Konten-konten politik yang marak menjelang Pemilihan Presiden dan Pemilu 2024 tentu tidak semuanya mengandung kebenaran. Ada konten-konten yang mengandung hiper-realitas yang diproduksi untuk tujuan-tujuan tendensius untuk mendiskreditkan lawan politik. Pada konteks inilah media sosial  berpotensi memancing konflik, memecah belah masyarakat, dan memicu ketegangan dalam interaksi sosial. 

Publik sebaiknya bijak dalam mengonsumsi konten-konten yang mengandung realitas yang dilebih-lebihkan. Jangan mudah percaya apalagi sampai terprovokasi dengan konten-konten yang terindikasi sudah lebay dan tidak sesuai dengan pertimbangan akal sehat. Agar tidak terprovokasi oleh konten media sosial ketika berselancar, kita hanya perlu mengklarifikasi secara subyektif untuk konten-konten yang mengarah pada kekerasan verbal, kebohongan publik (hoaks), pornografi, dan ujaran kebencian. Selebihnya, lebih baik tidak usah memaknai isi media sosial secara serius.

***

Depok, 03 Januari 2024

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun