Paradoks medsos merujuk pada penggunaannya untuk mengeksploitasi realita yang imajinatif. Medsos menjadi corong yang mengamplifikasi realitas yang dibuat-buat, realita absurd, semu, atau lebay. Medsos menjadi representasi realitas yang imajinatif. Di jagat maya ini para penggunanya bisa menjadi siapa saja yang diimajinasikan. Setiap pengguna bebas memproduksi dan mendistribusikan representasi imajinasinya. Imajinasi adalah pembeda medsos dengan media arus utama, seperti televisi, radio, dan media cetak.
Paradoks medsos bisa menguat karena mekanisme produksi kontennya berlangsung tanpa kontrol yang efektif untuk membatasi percakapan melalui filter tematik. Pada titik ini juga tuntutan untuk cepat merespons dan mengomentari pesan menyebabkan pengguna dikejar waktu sehingga mengesampingkan ketelitian atau kecermatan. Tanpa kontrol editorial membuat konten medsos rentan untuk dipercaya sebagai kebenaran.
Konten-konten politik yang marak menjelang Pemilihan Presiden dan Pemilu 2024 tentu tidak semuanya mengandung kebenaran. Ada konten-konten yang mengandung hiper-realitas yang diproduksi untuk tujuan-tujuan tendensius untuk mendiskreditkan lawan politik. Pada konteks inilah media sosial  berpotensi memancing konflik, memecah belah masyarakat, dan memicu ketegangan dalam interaksi sosial.Â
Publik sebaiknya bijak dalam mengonsumsi konten-konten yang mengandung realitas yang dilebih-lebihkan. Jangan mudah percaya apalagi sampai terprovokasi dengan konten-konten yang terindikasi sudah lebay dan tidak sesuai dengan pertimbangan akal sehat. Agar tidak terprovokasi oleh konten media sosial ketika berselancar, kita hanya perlu mengklarifikasi secara subyektif untuk konten-konten yang mengarah pada kekerasan verbal, kebohongan publik (hoaks), pornografi, dan ujaran kebencian. Selebihnya, lebih baik tidak usah memaknai isi media sosial secara serius.
***
Depok, 03 Januari 2024