Berpolitik dengan media sosial merupakan pilihan yang harus dilakukan oleh partai politik karena hidup di Era 4.0 pasti mendisrupsi pola-pola politik model lama. Hal ini bisa dilihat dari rendahnya minat generasi Milenial dalam politik. Generasi Milenial yang dikenal sebagai Digital Native akan enggan terlibat dalam pengurusan organisasi dengan pola-pola lama. Bagi mereka mobilisasi dan konsolidasi politik dengan menghadirkan massa secara riil di lapangan sudah usang. Sebagai gantinya acara-acara konsolidasi bisa dilakukan dengan penyebaran informasi atau pesan-pesan politik melalui media sosial. Cukup diketik kemudian broadcast ke platform-platform media sosial. Lebih efisien tapi punya dampak yang lebih riil.
Karakter generasi Milenial dan generasi sesudahnya lebih praktis dalam memandang persoalan hidup mereka. Termasuk soal mengekspresikan aspirasi politik mereka. Partai politik harus bisa membaca pergeseran perilaku pemilih pemula dan pemilih muda yang berasal dari generasi digital. Karena itu pilihan menggunakan Twitter dan media sosial lainnya merupakan langkah yang tepat meskipun saat ini masih terkesan kagok dalam pemanfaatannya.
Belum semua parpol atau elite parpol percaya dengan efektivitas media sosial dalam politik elektoral kita. Ini yang membuat kebanyakan mereka masih enggan atau tidak serius mengelola media sosial, termasuk dalam menyajikan konten-konten yang berkualitas. Akan tetapi, ada sejumlah parpol dan elitenya mulai sadar akan pentingnya media sosial dalam kontestasi politik di masa yang akan datang. Mereka sekarang mulai membangun tim media sosial yang bertugas untuk memantau data media sosialnya untuk membuat umpan balik (feedback) secara langsung kepada followers-nya. Kendati, ia juga melihat ada sejumlah elite parpol yang sudah membuat tim media sosial dan juga memantau data media sosialnya untuk umpan balik.
Kehadiran media sosial dalam politik diperkirakan bisa menciptakan engagement antara partai politik dengan konstituen dan calon pemilih, terutama dari kalangan generasi muda yang notabene adalah pemilih pemula atau pemilih muda. Parpol bisa membuat konten di media sosial tentang program-program strategis yang relevan dengan aspirasi masyarakat atau konstituennya. Partai juga bisa mengekspresikan fungsi-fungsi kelembagaannya melalui konte-konten yang menarik dan mudah dicerna oleh pemilih muda. Di Twitter ada fasilitas yang bisa mengakomodasi komunikasi interaktif melalui cuitan berantai atau utas (thread). Partai politik, atau ketua umum, atau fungsionaris partai bisa mengoptimalkan komunikasi politik dengan konstituennya dengan membuat utas yang berisi visi-misi partai secara langsung kepada pengikut atau follower. Melalui utas inilah engagement antara parpol dengan audiens bisa terbangun.
Fenomena berpolitik di era 4.0 melalui penggunaan media sosial yang intensitasnya terus meningkat dari pemilu ke pemilu menunjukkan bahwa kontestasi politik mulai merambah ke ranah dunia maya. Twitter merupakan salah satu platform yang memfasilitasi ruang kontestasi tersebut. Fenomena ini ternyata menguatkan pengaruh teknologi Era 4.0 terhadap kepentingan elektoral, melalui penetrasi internet yang kian massif di masyarakat. Saya percaya bahwa berpolitik menggunakan media sosial kelak akan massif karena media ini mendisrupsi pola komunikasi politik yang selama ini masih dipertahankan oleh elite-elite politik yang sudah menua usianya.
Seperti post-truth yang sudah mengglobal, media sosial juga akan menguasai politik Indonesia dan mengubah lanskap mobilisasi dukungan dan komunikasi politik. Era Industri 4.0 akan membuat komunikasi politik partai atau elite politik dengan follower mereka terjalin semakin kuat dengan engagement yang mengikat mereka secara personal.
Depok, 23 Desember 2023 | 12:46 WIB
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H