Post-truth
     Fenomena post-truth ini menggambarkan kondisi masyarakat di mana fakta obyektif kurang berpengaruh dalam membentuk opini publik dibanding daya tarik emosional dan kepercayaan pribadi. Kebenaran obyektif tidak lagi disepakati dan diterima secara umum. Setiap orang memiliki versi kebenaran masing-masing dalam memandang sesuatu, yang dipengaruhi emosi dan subyektivitas pribadi. Singkatnya, di era post-truth masyarakat seringkali mengabaikan fakta-fakta obyektif dalam menilai kebenaran.
Post-truth tidak akan mungkin terjadi tanpa adanya teknologi yang mendukung proses komunikasi politik. Semenjak internet dan gawai menjadi bagian dari kehidupan masyarakat, gaya komunikasi menjadi lebih interaktif dan terbuka. Perubahan ini juga terjadi dalam komunikasi politik, yang muatan informasinya lebih transparan. Intensitas interaksi yang tinggi melalui media sosial membuat informasi-informasi yang lalu lalang di jagat maya sulit dikontrol kebenarannya. Alih-alih memfilter kebenaran, informasi yang diterima justru ditelan dan disebarkan secara terus-menerus. Post-truth muncul ketika preferensi masyarakat terhadap informasi hanya mengikuti emosi dan keyakinan pribadinya.
Post-truth sebagai cara komunikasi politik merupakan fenomena global yang trending ketika musim pemilu, termasuk Amerika Serikat. Oxford menobatkan istilah post-truth sebagai Word of The Year pada 2016, karena penggunaannya yang begitu masif selama pemilihan presiden di Amerika Serikat dan referendum untuk keluar dari Uni Eropa yang diadakan di Inggris.
Di Indonesia fenomena post-truth ini mulai muncul secara massif ketika Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2012. Kontestasi politik yang menghadapkan gubernur petahana Fauzi Bowo dengan Joko Widodo ini menjadi medan perang media sosial di mana post-truth tumbuh dengan subur. Kedua kubu menggunakan media sosial untuk saling serang, saling hujat, saling ejek, saling fitnah dan propaganda-propaganda negatif lainnya yang membuat masyarakat Jakarta terbelah. Propaganda politik ini dikemas dalam berbagai media komunikasi sehingga memunculkan istilah Hoax, Bot, dan Cyber Army yang kita kenal saat ini.
Penggunaan media sosial dan post-truth ini berlanjut ketika Pemilu Presiden 2014 yang menghadapkan Joko Widodo dengan Prabowo Subianto. Post-truth yang sudah membelah masyarakat Jakarta melalui Pilgub 2012 menemukan lahan yang lebih luas untuk berkembang lebih besar lagi. Terbukti, setelah Pilpres 2014 soliditas rakyat Indonesia menjadi rapuh karena terbelah oleh rasa permusuhan akibat perbedaan dukungan capres.
Dari pemilu ke pemilu, penggunaan media sosial, termasuk Twitter dalam ruang kontestasi semakin intensif. Aditya Perdana, Direktur Eksekutif Algoritma yang juga pengajar ilmu politik Universitas Indonesia menuturkan, seiring dengan makin tingginya penetrasi internet di masyarakat, maka secara kuantitas penggunaan media sosial untuk kepentingan elektoral juga meningkat. Sayangnya, penggunaan media sosial tersebut tidak selalu berbanding lurus dengan kualitas konten.
Pilpres 2024 hampir bisa dipastikan akan berlangsung di bawah suasana keterbelahan sosial yang diwariskan dari kontestasi politik periode sebelumnya, Pilpres 2019 dan Pilgub DKI Jakarta 2017. Gejala post-truth yang sudah mengakar selama 5 tahun terakhir kembali bangkit seiring dengan munculnya propaganda-propaganda politik beraroma kampanye hitam dan kampanye negatif. Suasana perang kampanye ini sangat terasa di Twitter ketimbang platform media sosial yang lain. Twitter adalah platform media sosial paling populer untuk memainkan isu-isu politik karena gaya komunikasinya yang interaktif, ringkas, dan real time.
Media Sosial Parpol
Saat ini media sosial sudah menjadi salah satu ruang bagi parpol untuk berinteraksi dengan konstituennya. Dari sekian banyak platform media sosial, Twitter paling diminati oleh partai politik di Indonesia. Terbukti, 18 parpol peserta Pemilu 2024 telah memiliki akun resminya di platform media sosial berlogo burung biru ini. Pemilihan media sosial sebagai cara komunikasi politik menunjukkan keinginan partai politik untuk menyesuaikan strategi dalam mengimplementasikan fungsi kelembagaannya.