Mohon tunggu...
Sultani
Sultani Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis Lepas

Senang menulis kreatif berbasis data

Selanjutnya

Tutup

Politik

Politik Indonesia Era 4.0

23 Desember 2023   13:16 Diperbarui: 9 Januari 2024   16:09 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Perilaku disrupsi adalah sebuah keniscayaan yang tidak bisa dihindari oleh siapapun dalam menghadapi gempuran teknologi yang bertubi-tubi. Karena disrupsi sendiri adalah sebuah keniscayaan yang akan terus-menerus terjadi dalam berbagai aspek. Alih-alih menghindar, disrupsi justru harus disikapi dengan bijak supaya bisa mengambil dampak positifnya sebanyak mungkin dan menghindari sejauh mungkin dampak negatifnya. Ini adalah dalil yang harus dipraktikkan untuk mendorong kemajuan negara di era Industri 4.0 ini.

Aspek positif dari disrupsi yang perlu diserap dengan baik adalah pergeseran perilaku masyarakat yang awalnya resisten terhadap berubah menjadi adaptif dengan teknologi. Sebaliknya, aspek negatif yang harus dihindari adalah kelimpahan informasi dan inovasi teknologi yang tidak diimbangi dengan pengetahuan yang memadai berpotensi menyimpan bahaya laten bagi kehidupan sosial, kehidupan berbangsa, dan kehidupan bernegara. Bahaya laten tersebut berupa alienasi dalam relasi antarmanusia dan post-truth yang bisa memecah belah masyarakat.

Politik Indonesia di Era 4.0 setidaknya ditandai dengan fenomena-fenomena umum yang muncul bersamaan dengan menguatnya pengaruh teknologi, terutama internet dalam kehidupan manusia. Internet merupakan hasil inovasi terbesar yang mengubah secara drastis kehidupan manusia di abad XXI ini. Fenomena-fenomena umum yang mengubah cara hidup manusia sebagai dampak dari teknologi tersebut adalah disrupsi, post-truth, dan media sosial sebagai media engagement antarmanusia.

Disrupsi

Kata kunci untuk bertahan dari disrupsi adalah membuka pola pikir bahwa disrupsi adalah sebuah keniscayaan. Alasannya, karena eksistensi manusia yang terus mengalami perubahan tanpa bisa dihentikan, senantiasa memerlukan hal baru, sehingga mau tidak mau segala sesuatu yang lama niscaya akan terdisrupsi oleh hal-hal baru.

Media sosial sebagai platform digital yang lahir dari rahim Industri 4.0 sudah pasti mendisrupsi instrumen komunikasi manusia selama ini yang berbasis teknologi konvensional. Platform media sosial yang beragam saat ini seperti Facebook, Instagram, WahtsApp, Twitter, Tiktok, dan lain-lainnya sudah sangat populer digunakan masyarakat untuk mengekspresikan diri dalam kehidupan sosial mereka di ruang maya. Ekspresi sosial ini mulai dari sekadar obrolan ringan, komunitas satu minat, komunikasi warga, promosi dagang, bisnis, pekerjaan, organisasi, hingga urusan-urusan serius yang formal dan berbobot.

Urusan-urusan serius yang ramai dibahas dalam media sosial saat ini adalah masalah politik, khususnya pemilu dan kontestasi politik menuju Pemilihan Presiden 2024. Inilah era baru politik Indonesia dalam satu dasawarsa terakhir ini, berpolitik dengan teknologi digital atau berpolitik ala Era 4.0. Saya melihat ada pergeseran yang signifikan dalam mobilisasi isu-isu politik mulai dari isu umum, isu strategis, hingga isu-isu sensitif. Mobilisasi isu ini didesain secara kreatif dalam format visual maupun teks dengan konten yang bervariasi. Informasi dan bahasa yang digunakan pun beragam mulai dari yang sopan, vulgar, hingga sarkas.

Fenomena mobilisasi isu politik dan komunikasi politik visual ini baru mencuat seiring dengan popularitas media sosial di masyarakat sekitar 10 tahun terakhir. Facebook, WhatsApp dan Twitter merupakan platform digital yang paling populer digunakan oleh para pemain politik untuk menggerakkan isu tertentu dengan tujuan untuk menyerang lawan politik mereka. Isu ini "digoreng" dalam media sosial untuk memancing perdebatan publik yang lebih sengit dan lebih panas. Isu-isu politik kerap dibumbui dengan sentimen suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) untuk mengobarkan prasangka-prasangka negatif berbasis primordialisme. Puncak dari penggalangan isu tersebut adalah tersulutnya rasa benci atau kebencian kepada sosok tertentu beserta para pendukungnya.

Permainan isu-isu politik ini juga kerap dibungkus dalam kemasan propaganda berupa kampanye hitam (black campaign), kampanye negatif (negative campaign), dan ujaran kebencian. Propaganda-propaganda negatif ini dirancang dalam bentuk informasi yang disebar kepada publik melalui media sosial. Kebanyakan informasinya berisi "hoax" dan memiliki tendensi untuk mendiskreditkan pihak lawan. Media sosial digunakan sebagai wahana untuk meraup dukungan atau simpati dengan mendiskreditkan lawan politik.

Kecepatan sirkulasi informasi yang beredar melalui media sosial membuat masyarakat terus terpapar dengan informasi hoax, ujaran kebencian black campaign, atau negative campaign yang sangat jauh berbeda dengan faktanya. Ironisnya, masyarakat bisa menerimanya dan percaya bahwa informasi tersebut merupakan sebuah kebenaran. Fakta bukan lagi menjadi ukuran kebenaran tetapi rasa simpati kepada sosok. Inilah fenomena post-truth dalam politik yang lahir di Era 4.0 melalui media sosial.

Sumber: berita.99.co
Sumber: berita.99.co

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun