Nama Gibran tetiba mencuat bak air mancur yang menjulang ke langit dalam sekejap. Siapa sosok Gibran yang begitu fenomenal dan bisa menguasai opini publik dalam politik Indonesia sekarang? Siapa lagi, kalau bukan Gibran Rakabuming Raka, Wali Kota Solo, putra sulung Presiden Republik Indonesia ke tujuh Joko Widodo yang sekarang menjadi Calon Wakil Presiden RI mendampingi Prabowo Subianto. Gibran dan Prabowo adalah sejoli kandidat orang nomor 1 dan nomor 2 di republik ini yang diusung oleh Koalisi Indonesia Maju (KIM) untuk berkontestasi bersama dua pasangan calon lainnya dalam Pemilihan Presiden RI 2024.
Kehadiran Gibran dalam kontestasi politik nasional sekarang membawa nestapa dan cerita pilu tentang penegakan demokrasi di negara ini. Gibran telah mendompleng kekuasaan ayahnya sebagai Presiden untuk memudahkan langkahnya menjadi orang nomor 2 di Indonesia selama 5 tahun mendatang. Karena kekuasaan ayahnya yang begitu besar di negara ini, langkah ambisiusnya untuk mendapatkan kekuasaan pun menjadi mudah dan berjalan dengan mulus.
Takdir Gibran untuk menjadi calon presiden pun seolah mudah sekali untuk diatur di luar kuasa Tuhan, ketika sang Paman yang menjabat sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi mendukung niat dan ambisi dari putra kakak iparnya tersebut. Drama Judicial Review terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum terkait batas usia capres-cawapres pun dijadikan sebagai pintu masuk untuk mengamankan posisi sang ponakan.
Anwar Usman, paman dari Gibran berhasil menyelamatkan perjalanan ambisi keponakannya tersebut merapat sebagai cawapres Prabowo dengan mengabulkan judicial review yang diajukan oleh seorang mahasiswa yang bernama Almas Tsaibbbirru Re A terkait syarat pendaftaran capres-cawapres berusia minimal 40 tahun atau berpengalaman sebagai kepala daerah baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.
“Paman Usman” pasti sudah memperhitungkan dengan matang bahwa putusannya mengabulkan gugatan tersebut adalah yang paling kompromistis ketimbang gugatan yang sama yang diajukan oleh sejumlah politisi Partai Solidaritas Indonesia. Judicial review versi PSI yang menghendaki syarat usia capres-cawapres diturunkan menjadi 35 tahun. Sang Paman jelas-jelas menolak gugatan uji materi yang dipastikan bisa menyulut kemarahan kubu lawan secara frontal.
Dengan membiarkan usia capres-cawapres tetap 40 tahun tetapi menerima syarat berpengalaman sebagai kepala daerah baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota untuk lolos menjadi capres-cawapres, Paman Usman telah membentangkan karpet merah untuk sang ponakan melangkah menuju singgasana kekuasaan. Drama ini telah dipertontonkan oleh MK kepada seluruh masyarakat Indonesia pada saat keputusan pengabulan uji materi ini dibacakan pada Senin, 16 Oktober 2023.
Hari itu, sejarah telah mencatat sebuah konspirasi kekuasaan untuk menyelingkuhi konstitusi. Maka, terminologi bernada melecehkan marwah MK pun bertebaran di rana publik, seperti MK di-plesetin menjadi “Mahkamah Keluarga”, dan produk putusannya pun dilabeli sebagai “Anak Haram Konstitusi”. Sudah jadi rahasia umum, Gibran Rakabuming Raka lah yang menjadi bulan-bulanan publik sebagai si Anak Haram Konstitusi tersebut.
Pelabelan bernada sarkastik pun bermunculan menyembur pribadi Gibran dan keluarganya. Setelah dijuluki Anak Haram Konstitusi, label baru langsung ditempeli ketika Gibran selalu absen dalam undangan debat terbuka yang disponsori beberapa kampus di Jakarta. “Gibran takut debat” pun menjadi trending topik di media sosial untuk menyerang sosok ayah Jan Ethes ini. Julukan-julukan bernada mengejek seperti tak pernah berhenti ditempelkan terus kepada Gibran ketika dirinya melakukan kesalahan sekecil apa pun. Seperti “Asam Sulfat”, “Belimbing Sayur”, dan yang terakhir yang tidak kalah trending adalah “Samsul” yang merupakan akronim dari julukan “Asam Sulfat”.
Tentu lawan politiknya lah yang sangat gencar untuk melabeli Gibran dengan istilah-istilah yang mencemooh, melecehkan, dan menghina sosok putra sulung Joko Widodo ini. Kita semua tahu bahwa memberi label yang bertujuan untuk membunuh karakter lawan politik merupakan bagian dari perang psikologis atau Psychological Warfare (psywar) yang bertujuan untuk memengaruhi persepsi, sikap, dan perilaku publik terhadap Gibran Rakabuming Raka. Tujuannya adalah untuk menciptakan citra buruk sosoknya kepada publik.
Teknik psywar ini bisa berupa propaganda, manipulasi media, dan taktik psikologis lainnya untuk mengubah opini, kepercayaan, atau persepsi publik yang menerima pencalonan Gibran sebagai cawapres dan akan memilihnya dalam Pilpres nanti. Psywar dalam kontestasi politik memang banyak digunakan untuk menyerang lawan politik yang tidak dikehendaki untuk menang. Karena itu psywar selalu digunakan secara masif untuk memenangkan dukungan publik atau mengintimidasi lawan supaya kalah.
Sosok Fenomenal
Hingga sekarang Gibran tetap perkasa melangkah dan beraktivitas sebagai Wali Kota Solo, sebagai Calon Wakil Presiden, sebagai Kepala Keluarga, bahkan sebagai manusia biasa. Setidaknya, hingga sekarang Gibran berhasil melewati masa-masa sulit yang telah mengadang langkah-langkah awalnya menjadi dan calon wakil presiden dalam kontestasi pemilihan presiden. Kemampuan Gibran menghadapi ejekan dan cemoohan yang motifnya jelas-jelas hendak mendiskreditkan sosoknya menjadi sebuah fenomena politik baru dalam kontestasi kepemimpinan nasional di republik ini.
Penampilan-penampilan Gibran di depan publik tetap terlihat santun dan sabar meskipun raut mukanya terlihat tegang, cemas, dan tentu saja lelah. Kakak dari Kaesang Pangarep ini seolah ingin melepaskan seluruh beban politik dan tekanan sosial yang dihadapi, namun harus ditahan lantaran ada yang menginginkan dia tetap sabar dan melakoni semua cobaan ini. Upaya-upaya untuk mengatasi tekanan psikologis yang berasal dari dalam diri dan koalisinya sendiri dan tekanan dari lawan-lawan politiknya membuat Gibran mengekspresikan diri melalui sikap dan perilaku yang fenomenal. Ekspresi tersebut cukup efektif memancing simpati publik yang bermuara pada keuntungan elektoral baik untuk dirinya sendiri dan Prabowo Subianto maupun untuk Koalisi Indonesia Maju.
Sikap Gibraan yang tenang dan tetap santun menghadapi cemoohan dan hinaan dari lawan-lawannya berubah menjadi energi yang menyerap simpati yang besar terhadap dirinya. Simpati publik ini lambat laun berakumulasi menjadi daya tarik sendiri terhadap sosok Giban. Di balik wajah dan gayanya yang lugu, kampungan, dan plonga-plongo justru menyiman aura politik yang sangat kuat, yang tidak dimiliki oleh kedua rivalnya, Muhaimin Iskandar dan Mahfud Md.
Gibran adalah sosok yang sudah digadang-gadang oleh beberapa kekuatan politik untuk menjadi daya tarik elektoral dalam Pilpres maupun Pemilu 2024. Semenjak dirinya terpilih menjadi Wali Kota Solo 3 tahun lalu, nama Gibran langsung berkibar dengan cepat di panggung politik nasional. Jabatan-jabatan strategis di atas jabatannya sekarang pun sudah diiming-imingi oleh partai politik, termasuk PDI Perjuangan. Bahkan, posisi Gibran sebagai cawapres yang dianggap penuh dengan kontroversi sekarang juga pernah diiming-imingi untuknya.
Pamor politik Gibran yang begitu cemerlang sekarang tidak terlepas dari pengaruh sosok sang ayah, Joko Widodo, Presiden RI sekarang. Jokowi saat ini menjadi sosok paling kuat secara politik, pemegang kuasa tertinggi semua lembaga politik di negara ini, dan memiliki pengaruh yang luas di semua lini politik bangsa ini. Gaya komunikasinya yang santun dan lembut berlawanan dengan strategi politiknya yang tegas dan berdampak nyata. Prinsipnya pada harmoni dan konsolidasi politik dengan semua kekuatan politik di luar dirinya membuat Jokowi sangat lihai dalam memenangi strategi politiknya.
Tampilnya Gibran secara mendadak ke dalam kontestasi Pilpres 2024 sudah pasti direstui oleh ayahnya ini. Jokowi tidak akan menyodorkan Gibran begitu saja kepada Prabowo tanpa kalkulasi politik jangka pendek maupun jangka panjang. Gibran adalah simbol kekuatan politik Jokowi. Simbolisasi politik ini tidak sekadar pamer kekuatan tetapi juga merepresentasikan kelihaian sang maestro politik dalam mendepak lawan-lawannya pada kontestasi politik ini.
Harus kita akui, para sosok kandidat yang paling dinanti kiprahnya saat ini adalah Gibran walaupun banyak juga yang tetap menyangsikan kompetensinya di hadapan publik. Banyak pendukungnya ingin sekali menyaksikan Gibran berorasi, berdebat, berertorika, dan menyampaikan gagasannya secara lugas di hadapan publik negara ini. Boleh jadi, mereka hanya berharap Gibran bisa melakukan itu dengan santun, tenang, dan lancar. Penampilan debat perdana Gibran dalam program Debat Cawapres pada 22 Desember 2024 akan menjadi kekuatan paripurna Gibran untuk membalik cemoohan dan hinaan lawan-lawan politiknya selama ini.
Gibran sudah membuktikan bahwa dirinya kuat dan tahan banting terhadap semua model psywar yang diarahkan kepada dirinya selama ini. Dia masih bisa tampil prima di hadapan publik menyampaikan program-programnya secara lugas. Gibran tetap berkampanye dengan gaya dialogis yang menjadi ciri komunikasi politiknya ketika menyapa pendukungnya. Artinya, sebagai sosok yang paling muda dalam kontestasi Pilpres 2024, Gibran bukanlah sosok yang akan bersembunyi di balik punggung Jokowi yang menjadi sosok pelindungnya. Setidaknya, Gibran mampu meyakinkan publik dan pendukungnya bahwa dia berkompeten dan siap berkompetisi hingga hari pemilihan pada 14 Februari 2024.
Pendongkrak Suara
Hadirnya Gibran sebagai salah satu kontestan dalam Pilpres 2024 bisa mengubah secara total peta persaingan elektabilitas capres yang selama ini selalu didominasi oleh Ganjar Pranowo. Inilah kekuatan awal Gibran dalam mendobrak kemapanan politik yang sudah berlangsung selama dua atau tiga tahun belakangan ini. Kemapanan politik yang dimaksud di sini adalah peta dukungan capres yang selama ini selalu menempatkan Ganjar Pranowo sebagai pemenang.
Sebuah fenomena baru langsung tercipta bersama datangnya Gibran Rakabuming Raka. Sosok cawapres termuda ini ternyata memiliki pengaruh yang terbilang kuat dalam mengumpulkan kekuatan elektoral untuk dirinya sendiri maupun gabungan dirinya dengan Prabowo Subianto. Kekuatan Gibran tersebut bisa direfleksikan melalui hasil-hasil survei tentang elektabilitas para kandidat, baik secara individual maupun berpasangan.
Kekuatan Gibran yang terekam dalam hasil survei Litbang Kompas terbaru yang dipublikasikan pada 11 Desember 2023 terbilang luar biasa untuk seorang cawapres berusia muda dan benar-benar baru tampil di panggung politik nasional. Menurut hasil survei tersebut, Gibran adalah sosok cawapres yang paling tinggi elektabilitasnya. Pasangan dari Prabowo Subianto ini sudah mencatatkan elektabilitasnya sebesar 37,3 persen. Angka yang fantastis, karena Gibran adalah satu-satunya sosok kandidat yang tidak mempersiapkan diri secara matang untuk mempromosikan diri secara terbuka sebagai kandidat dalam Pilpres 2024.
Gibran memang hadir secara instan sebagai calon wakil presiden, sehingga tidak memiliki waktu yang panjang untuk memoles citra dirinya sebagai orang terbaik untuk memimpin bangsa ini. Bagi sebagian kalangan, Gibran adalah politisi karbitan yang lahir sebagai anak haram konstitusi, hasil perselingkuhan konstitusi antara penguasa dengan Ketua MK yang tidak lain adalah pamannya sendiri. Lepas dari persoalan proses tersebut, responden yang mau memilih Gibran sebagai cawapres mereka ternyata paling tinggi dibanding kedua rivalnya.
Dengan modal elektabilitas yang terbilang tinggi ini, pamor Gibran justru menjadi pendongkrak suara untuk meraih elektabilitas tertinggi dari semua pasangan calon. Pasangan Prabowo Subianto – Gibran Rakabuming Raka mencatat elektabilitas mereka sebesar 39,3 persen. Angka elektabilitas ini sangat mudah menyingkirkan kekuatan lawan mereka, yaitu Anies Baswedan – Muhaimin Iskandar dengan elektabilitas 16,7 persen, dan Ganjar Pranowo – Mahfud Md dengan elektabilitas 15,3 persen.
Simbol Kekuatan Jokowi
Sudah jadi rahasia umum bahwa kehadiran Gibran sebagai calon Wakil Presiden pendamping Prabowo merupakan simbolisasi dari kekuatan sosok dan pengaruh politik Joko Widodo. Pengaruh sang ayah bisa dibaca dengan berbagai kacamata politik yang menempatkan sang King Maker ini sebagai tokoh utama di balik suksesi kepemimpinan nasional. Perannya yang begitu kuat dalam memengaruhi peta kekuatan politik nasional membuat orang-orang selalu menghubungkan sosoknya terhadap berbagai perubahan politik yang terjadi. Inilah yang disebut “Jokowi Effect” atau Efek Jokowi dalam peta politik Indonesia saat ini.
Fenomena Jokowi effect ini sebetulnya sudah muncul semenjak Pilpres 2014 melalui efek ekor jas Jokowi terhadap peningkatan elektabilitas parpol pengusungnya. Namun, Jokowi effect menjelang Pilpres 2024 ini merupakan fenomena politik yang menarik karena kekuatan Jokowi justru terasa semakin kuat di ujung masa kekuasaannya. Pada umumnya, pamor seorang presiden akan luntur secara perlahan-lahan sebelum masa kekuasaannya berakhir. Dan ketika berakhir, mantan presiden ini kekuatannya hanya tinggal sejarah.
Jokowi effect inilah yang sekarang menjadi pangkal problem politik yang menggelayuti perhelatan pilpres sekarang. Para pendukung militan Jokowi yang masih loyal saat ini merupakan salah sumber kekuatan di balik Jokowi effect sekarang. Dan kekuatan inilah yang selalu diperebutkan oleh PDI Perjuangan dan Gerindra sebelum kedua partai ini mendeklarasikan capresnya masing-masing. Ketika Gibran dipasangkan dengan Prabowo sudah bisa dipastikan bahwa kekuatan Jokowi effect akan dimobilisir untuk kepentingan pasangan nomor urut 2 ini.
Harus diakui bahwa Jokowi effect itu nyata adanya. Bukan mitos yang hanya ingin mengagung-agungkan nama Jokowi. Terbukti, setelah pasangan calon presiden dan wakil presiden disahkan oleh Komisi Pemilihan Umum, kekuatan PDI Perjuangan sebagai partai penguasa langsung menyusut. Partai ini gagal memobilisir pemilihnya untuk mempertahankan elektabilitas Ganjar. Alih-alih bertambah, elektabilitas Ganjar malah merosot setelah partai ini mulai ditinggalkan oleh pemilih militan Jokowi, entah itu simpatisan PDI Perjuangan atau bukan.
Salah satu manifestasi Jokowi effect yang bisa dirasakan adalah ketika para pendukung Jokowi menyatakan tetap setia mengikuti telunjuk Jokowi untuk memilih capres yang dia kehendaki. Hasilnya, komunikasi simbolik Jokowi mengarahkan pendukungnya untuk memilih capres nomor urut 2, Prabowo – Gibran.
Gibran bukan sekadar merepresentasikan aspirasi politik Jokowi pada pilpres kali ini. Gibran adalah manifestasi dari simbol kekuatan politik Jokowi yang ditunjukkan dengan Jokowi effect. Salah satu penyebab merosotnya elektabilitas Ganjar pasca-penetapan paslon oleh KPU adalah mobilisasi Jokowi effect untuk kepentingan elektoral Prabowo – Gibran. Mobilisasi ini kemudian memicu terjadinya eksodus secara massal para pendukung Jokowi dari Ganjar Pranowo kepada Prabowo Subianto. Eksodus tersebut tidak saja terjadi di dalam tubuh PDI Perjuangan, tetapi juga di daerah-daerah yang menjadi basis kemenangan Jokowi ketika Pemilu 2014 dan 2019. Sekarang wilayah-wilayah yang menjadi kantong suara Jokowi telah mengalihkan preferensi mereka kepada Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Joko Widodo.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H