Refleksi kemerdekaan yang ke 76 tahun. Â Seperti biasa tradisi perayaan 17 agustus selalu dinanti khalayak masyarakat indonesia. Bahkan hal tersebut selalu menjadi highlight utama baik dalam saluran tv nasional ataupun media massa. Sah-sah saja sebetulnya melakukannya. Tapi yang jadi bahasan lain adalah, apakah benar kita sudah merdeka sepenuhnya? Atau hanya perayaan merdeka semu yang selalu kita agungkan?
Apakah merdeka yang diraih ini meninggalkan belenggu kebebasan terhadap rakyatnya?
Sudahlah mari kita renungkan saja makna kemerdekaan yang ke 76 ini. Carut-marut tentang keadaan hari ini seolah menggambarkan esensi dari fitrah kemerdekaan itu sendiri. Dimana ketimpangan selalu terjadi dalam hal apapun. Jauh dari kata sempurna atau bahkan setidaknya mencapai "baik".
Doktrin nasionalisme seolah menjadi frasa paling penting. Mereka yang bersebrangan dianggap sebagai musuh! Dalam hegemoni dan relasi kuasa hari ini, agaknya kita harus menyoroti berbagai kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah hari ini. Seperti penegakan hukum terhadap pelaku korupsi, pemberlakuan ppkm, pendidikan, dan macam-macam kasus lainnya yang masih mandeg disitu-situ saja.
Sudahkah kita merdeka? Saat kebebasan berpendapat dihalangi, saat ketimpangan banyak terjadi hampir diseluruh antero negeri, dimana peran pemangku kebijakan jika ini terus terjadi dan bahkan harus terus berlarut? Rasanya, yang harus dirawat bukan hanya perut saja. Melainkan akal sehat harus senantiasa kita jaga dengan baik.
Jadi, apa arti kemerdekaan? Dari perspektif politik, ekonomi maupun sosial, kemerdekaan atau kebebasan punya penjelasan berbeda, walaupun bermakna serupa. Berikut ini pendapat beberapa ahli mengenai pengertian kemerdekaan yang terkait satu sama lain.
Kemerdekaan telah menjadi konsep sentral dalam sejarah dan pemikiran politik dan salah satu fitur terpenting bagi masyarakat demokratis.
Secara sosial kemerdekaan berupa karakteristik masyarakat terbuka, individu atau kelompok merasa terbuka dengan pendapat maupun prasangka mereka. Soal kebenaran dalam kemerdekaan secara sosial ini ahli filsafat politik John Stuart Mill (1806-1873) menyatakan, "Bila ada satu orang beda pendapat, tidak akan dibenarkan membungkamnya, daripada bila satu orang itu memiliki kekuasaan membungkam seluruh umat manusia".
Sementara itu, ahli filsafat, sosial dan politik, Jerman-Amerika, Herbert Marcuse, dalam esainya "Repressivetolerance" (1969), menyebut ada perbedaan antara kekerasan revolusioner dan kekerasan reaksioner, antara kekerasan oleh mereka yang tertindas dan oleh para penindas.Â
Dari segi etika, kedua bentuk kekerasan itu tidak manusiawi dan jahat, tetapi, kata Marcuse: "Sejak kapan sejarah dibuat sesuai dengan standar etika?" Untuk itu fungsi dan nilai toleransi bergantung pada kondisi masyarakat yang mempraktikkannya.