Mohon tunggu...
Sultan Aqlissalam
Sultan Aqlissalam Mohon Tunggu... Lainnya - Makhluk Tuhan yang Sakral

Eksistensi hanyalah konotasi paradoks dari mereka yang mengimani tuhan secara partisan

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Quo Vadis Negara Demokrasi; Matinya Sense of Justice di Tangan Oligarki?

2 Juli 2021   17:48 Diperbarui: 2 Juli 2021   21:47 345
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kemana perginya demokrasi di tanah air tercinta? Pertanyaan itu mungkin seringkali terlintas di kepala kita, ketika ketimpangan merajalela bahkan kehadiran kebenaran terkesan ditutup-tutupi telah jadi suatu hal yang lumrah. Negara Indonesia yang katanya Negara hukumva (rechstaat) ini, celakanya malah menjadi sarang empuk bagi tirani yang mengatasnamakan demokrasi (re: oligarki).

Saya tidak bermaksud untuk memberikan jawaban yang sangat komprehensif tentang bangsa ini yang belum sepenuhnya dimanusiakan. Dalam kesempatan ini saya hanya akan menjabarkan salah satu sumber dari minimnya demokrasi hingga terjadi hilangnya sense of justice adalah karena tidak berfungsinya negara hukum(rechstaat). 

Tepatnya rule of the law yang puluhan tahun telah berpindah dari orde baru ke reformasi masih tetap sama, ya masih sama-sama penuh noda dan tidak berjalan semestinya. Masih banyak oknum polisi yang sewenang-wenang dengan kekuasaannya, oknum jaksa yang memeras pencari keadilan, dan banyak oknum hakim yang berselingkuh dengan ketidakadilan. Ini THE TRUTH! dan sangat tidak heran apabila animo masyarakat menyambutnya dengan sebuah ketidakpercayaan.

Dilansir oleh Kompas.com, menurut Charta Politika, dikatakan bahwa telah ada penurunan kepercayaan publik terhadap lembaga penegak hukum. Hal tersebut diutarakan langsung oleh Direktur Eksekutif Charta Politika, Yunarto Wijaya, menjelaskan bahwa lembaga penegak hukum yang dimaksud, yakni Polri, KPK, Kejaksaan Agung, Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. "Ada pola yang sama bahwa (kepercayaan publik) dari Polri, KPK, Kejaksaan, MA dan MK mengalami penurunan," ujar Yunarto dalam konferensi pers survei Trend tiga Bulan Kondisi Politik, Ekonomi dan Hukum pada Masa Pandemi Covid-19, Rabu (22/7/2020).

Lebih lanjut ditegaskan, "bahwa pada bulan Juli 2020 ini, angka kepercayaan publik terhadap lembaga tersebut masing-masing 61,6 persen, 60 persen dan 59,4 persen." Angka itu disebut Yunarto, lebih rendah dibandingkan bulan Mei dan Juni lalu.

Bahwa pada dasarnya tendensi dari menurunnya indeks kepercayaan masyarakat terhadap lembaga penegak hukum bisa terjadi karena banyaknya faktor. Misal; mal-administrasi, represif, ketidakadilan atau bahkan korupsi. Dan hal tersebut bisa saja membuat amarah masyarakat kian menjadi-jadi. Yang menjadikannya hal paling fatal adalah hal tersebut terjadi di jantung rumah-rumah keadilan dan hukum. Yang pada dasarnya lembaga tersebut harusnya berfungsi sebagai mata air keadilan. 

Beberapa contoh dapat sangat kentara ditemukan dengan membacanya di media-media berita, seperti kasus suap dan melakukan pemerasan atau penyalahgunaan wewenang terhadap 61 Kepala SMAN seluruh Indragiri Hulu, Riau, oleh Mantan Kepala Kejaksaan Negeri Rengat, Hayin Suhikoto.

Dan juga masih banyak kasus lainnya, bahkan dalam catatan Indonesia Corruption Watch (ICW), sudah ada 20 hakim yang tersangkut korupsi sejak 2012 hingga 2019. Bahkan sekaliber lembaga yang diamanahi untuk menindak, mencegah, menyelidiki urusan tersebut. Nyatanya tersandung korupsi juga. Dilansir dalam Kompas.com Pada Kamis (22/4/2021) pekan lalu, Ketua KPK Firli Bahuri menyampaikan konferensi pers dan menetapkan tiga orang tersangka yang diduga melakukan tindak pidana korupsi pada dugaan perkara jual beli jabatan di Pemerintahan Tanjungbalai, Sumatera Utara 2020-2021.

Salah satu dari tiga orang tersangka itu yakni penyidik KPK, Ajun Komisiaris Polisi (AKP) Stepanus Robin Patujju.

Bahkan untuk sekelas penindak di lapangan sekalipun, yang konon bertugas untuk mengayomi rakyat ini; polisi, tidak terlepas dari penyalahgunaan kekuasaan. Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan, Kepolisian harus mengusut dugaan pelanggaran SOP atas penangkapan Munarman di kasus dugaan terorisme. Usman menilai, polisi terkesan sewenang-wenang.

"Polisi terkesan melakukan penangkapan yang sewenang-wenang terhadap Munarman, serta mempertontonkan secara gamblang tindakan aparat yang tidak menghargai nilai-nilai HAM ketika menjemputnya dengan paksa, " kata Usman dalam keterangannya, Rabu (28/4).

Membaca Arah Demokrasi Kita

Konstruksi dari demokrasi menurut Lincoln adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat (Democracy is government on the people, by the people, and for people).

Nah, istilah tersebut harusnya jangan sampai diplesetkan menjadi dari oligarki untuk oligarki, hal tersebut menurut saya akan menimbulkan social distrust dikalangan masyarakat. Jika itu terjadi maka partisipasi masyarakat terhadap tata kelola demokrasi akan sangat minim. 

Apalagi jika ditambah aparat penegak hukumnya yang represif, korup, melakukan kecurangan, membiarkan ketidakadilan. Masyarakat akan dan sangat frustasi dengan hal tersebut.

Harusnya sense of priority dan sense of justice dari para penegak hukum untuk memfungsikan kembali rule of law yang diharapkan oleh banyaknya masyakarat, adalah tujuan utama demi terciptanya mekanisme hukum yang bebas dari korup, kesewenang-wenangan dan banyak hal yang membuatnya kotor.

Keterlibatan aktif para penegak hukum dalam rangka membangun demokrasi yang egaliter, humanis juga libertarian adalah wajib hukumnya. Karena mereka-mereka ini dibiayai langsung oleh uang rakyat itu sendiri. Maka dari itu tirulah Dwi Themis yang matanya tertutup kain; menggambarkan hukum tidak melihat siapapun subjek yang ada di depannya melainkan hukum itu bersifat objektif. Tidak melihat apa kedudukannya, strata sosialnya, pendidikan, penguasa atau rakyat biasa, kaya atau miskin, karena semua sama di mata hukum. 

Seperti asas hukum : "Equality Before The Law" yang memiliki arti setiap warga negara harus diperlakukan adil oleh aparat penegak hukum dan pemerintah. Kemudian memegang timbangan; menandakan hukum itu adil dan tidak memihak. Tidak lebih berat atau lebih ringan hukuman kepada seseorang apapun kedudukannya. Ketika ada yang melanggar hukum, semua akan ditimbang, mulai dari penyelidikan, pembuktian, hal yang memberatkan maupun yang meringankan si pelanggar juga kebaikan dan keburukannya. Semuanya akan mendapatkan keadilan sesuai dengan timbangan perbuatan yang dilakukan. 

Lalu membawa pedang; Themis membawa sebuah pedang namun pedang tersebut tidak diangkat ke atas melainkan diturunkan kebawah. Artinya, hukum itu bukan untuk membunuh atau melukai seseorang. Hukum bukanlah alat untuk berbuat secara semena-mena (sembarangan). Hukum bersifat sebagai ultimum remidium (obat terakhir) dan saat itu pula pedang akan diangkat ke atas.

Andai kata semua lembaga penegak hukum mencontoh Themis, pastilah rule of law bakal tercipta, juga kegunaan dan sense of law bakal nyata. Walapun pada akhirnya das sollen seringkali tak seindah das sein.

"Namun hal tersebut tentu bukan halangan, selalu ada jalan untuk orang-orang yang berjuang dan berani bertindak nyata."

Sekian dan Terima Kasih!!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun