Mohon tunggu...
Sultan Aqlissalam
Sultan Aqlissalam Mohon Tunggu... Lainnya - Makhluk Tuhan yang Sakral

Eksistensi hanyalah konotasi paradoks dari mereka yang mengimani tuhan secara partisan

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Quo Vadis Negara Demokrasi; Matinya Sense of Justice di Tangan Oligarki?

2 Juli 2021   17:48 Diperbarui: 2 Juli 2021   21:47 345
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Konstruksi dari demokrasi menurut Lincoln adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat (Democracy is government on the people, by the people, and for people).

Nah, istilah tersebut harusnya jangan sampai diplesetkan menjadi dari oligarki untuk oligarki, hal tersebut menurut saya akan menimbulkan social distrust dikalangan masyarakat. Jika itu terjadi maka partisipasi masyarakat terhadap tata kelola demokrasi akan sangat minim. 

Apalagi jika ditambah aparat penegak hukumnya yang represif, korup, melakukan kecurangan, membiarkan ketidakadilan. Masyarakat akan dan sangat frustasi dengan hal tersebut.

Harusnya sense of priority dan sense of justice dari para penegak hukum untuk memfungsikan kembali rule of law yang diharapkan oleh banyaknya masyakarat, adalah tujuan utama demi terciptanya mekanisme hukum yang bebas dari korup, kesewenang-wenangan dan banyak hal yang membuatnya kotor.

Keterlibatan aktif para penegak hukum dalam rangka membangun demokrasi yang egaliter, humanis juga libertarian adalah wajib hukumnya. Karena mereka-mereka ini dibiayai langsung oleh uang rakyat itu sendiri. Maka dari itu tirulah Dwi Themis yang matanya tertutup kain; menggambarkan hukum tidak melihat siapapun subjek yang ada di depannya melainkan hukum itu bersifat objektif. Tidak melihat apa kedudukannya, strata sosialnya, pendidikan, penguasa atau rakyat biasa, kaya atau miskin, karena semua sama di mata hukum. 

Seperti asas hukum : "Equality Before The Law" yang memiliki arti setiap warga negara harus diperlakukan adil oleh aparat penegak hukum dan pemerintah. Kemudian memegang timbangan; menandakan hukum itu adil dan tidak memihak. Tidak lebih berat atau lebih ringan hukuman kepada seseorang apapun kedudukannya. Ketika ada yang melanggar hukum, semua akan ditimbang, mulai dari penyelidikan, pembuktian, hal yang memberatkan maupun yang meringankan si pelanggar juga kebaikan dan keburukannya. Semuanya akan mendapatkan keadilan sesuai dengan timbangan perbuatan yang dilakukan. 

Lalu membawa pedang; Themis membawa sebuah pedang namun pedang tersebut tidak diangkat ke atas melainkan diturunkan kebawah. Artinya, hukum itu bukan untuk membunuh atau melukai seseorang. Hukum bukanlah alat untuk berbuat secara semena-mena (sembarangan). Hukum bersifat sebagai ultimum remidium (obat terakhir) dan saat itu pula pedang akan diangkat ke atas.

Andai kata semua lembaga penegak hukum mencontoh Themis, pastilah rule of law bakal tercipta, juga kegunaan dan sense of law bakal nyata. Walapun pada akhirnya das sollen seringkali tak seindah das sein.

"Namun hal tersebut tentu bukan halangan, selalu ada jalan untuk orang-orang yang berjuang dan berani bertindak nyata."

Sekian dan Terima Kasih!!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun