Mohon tunggu...
Sultan Alam Gilang Kusuma
Sultan Alam Gilang Kusuma Mohon Tunggu... Penulis - Founder Fodaru, Peneliti PostNet, IR Student

Social Network Analyst, Antropology Ethusiast, and Strategic Thinker

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Jokowi Said: Time Will Tell (?)

18 Desember 2024   03:29 Diperbarui: 18 Desember 2024   03:40 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: Sultan Alam Gilang Kusuma (Founder Fodaru, Peneliti PostNet)

Wartawan menyodorkan mic sambil bertanya pada penghuni Jl. Kutai Utara, Solo itu. Jawabannya masih dengan gaya selama satu dekade lalu, datar dingin dan cenderung multitafsir. 

Tapi yang menarik dari pertanyaan wartawan kali ini adalah soal perseteruannya dengan PDIP. Buat saya, ini kali pertama dia bicara cukup gamblang dan tak bias soal kendaraan yang membawanya ke puncak kekuasaan dan meraih aprovall rating hampir 80% itu. 

Saya tidak dalam posisi untuk melakukan pembelaan dan biarlah waktu yang menguji, ucapnya. Dan sebaris kalimat pendek ini, akan penting untuk ditafsir, terutamanya para elite banteng-banteng di Diponegoro sana.

Saya mencoba menguji kalimat ini untuk ditinjau dalam beberapa perspektif. 

Pertama, dari sudut Hermeneutika. Gadamer menyebut ini sebagai "fusion of horizons" - ada dialog antara konteks historis (track record Jokowi) dan situasi kekinian (pemecatan). Kalimat Jokowi tersebut, mencerminkan "prejudice" positif dalam arti Gadamerian alias pembicara menahan diri dari penilaian negatif. Selain itu, juga mengandungi dimensi temporalitas dimana makna akan terus berkembang seiring waktu (hermeneutika Heidegger).

Kedua, secara linguistik ungkapan ini menyiratkan kompleksitas makna yang jauh melampaui struktur linguistiknya yang sederhana. Kalimat ini mencerminkan strategic ambiguity - sebuah teknik komunikasi politik dimana ketidakjelasan justru menjadi pilihan strategis untuk menjaga ruang manuver dan menghindari konflik langsung. Penggunaan struktur pasif dan penghilangan subjek aktif menunjukkan kehati-hatian dalam menempatkan diri dalam dinamika politik yang sensitif.

Ketiga, psikologis Jokowi menyiratkan bahwa ia paham bahwa dirinya menjadi pusaran kunci dari banyak situasi politik terkini. Ungkapan ini dapat dipandang sebagai mekanisme coping kolektif menghadapi ketidakpastian politik. Ada upaya psychological distancing melalui temporalisasi - menempatkan resolusi konflik dalam dimensi waktu yang lebih panjang. Ini juga mencerminkan belief in just world, keyakinan bahwa pada akhirnya kebenaran akan terungkap melalui proses alamiah waktu.

Sebagai orang yang dikonstruksi sebagai 'Raja Jawa'. Dia ingin pula menyampaikan bahwa ada upaya meresonansi falsafah 'nrimo ing pandum'. Ini adalah manifestasi dari kemampuan komunikasi tingkat tinggi untuk memperkecil konfrontasi secara terbuka.

Dengan demikian, ungkapan yang tampak sederhana ini sebenarnya adalah instrumen komunikasi politik yang sophisticated. Ia mendemonstrasikan bagaimana bahasa politik dapat menjadi alat efektif untuk manajemen konflik dan pemeliharaan stabilitas sosial, khususnya dalam konteks masyarakat Indonesia yang sangat menghargai harmoni sosial dan menghindari konfrontasi langsung.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun