Mohon tunggu...
Sultan HadiPrabowo
Sultan HadiPrabowo Mohon Tunggu... Guru - Seorang aktivis pendidikan

Senang menulis

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Dampak Kenaikan PPN 12%: Menguatkan Pendapatan Negara atau Membebani Masyarakat?

8 Januari 2025   15:47 Diperbarui: 8 Januari 2025   18:35 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apa itu PPN?

Menurut Kementerian Keuangan, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) merupakan pajak atas konsumsi barang dan jasa di dalam Daerah Pabean yang dikenakan secara bertingkat dalam setiap jalur produksi dan distribusi. PPN juga tergolong sebagai pajak tidak langsung karena pembayaran atau pemungutan pajaknya disetorkan oleh pihak lain yang bukan penanggung pajak. 

PPN merupakan instrumen fiskal yang memiliki peran strategis dalam menopang pendapatan negara, khususnya yang digunakan untuk membiayai pembangunan seperti infrastruktur, fasilitas publik, dan program lainnya. Oleh karena itu, kebijakan yang berhubungan dengan PPN selalu menjadi perbincangan karena dampaknya pada harga barang dan jasa dapat langsung memengaruhi daya beli masyarakat. 

Kilas Balik Kebijakan Kenaikan PPN

Sebelumnya, kebijakan peningkatan tarif PPN hingga 12% telah diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2021 Pasal 7 Ayat 1b tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Awalnya, tarif PPN dinaikkan dari 10% menjadi 11% pada tahun 2022. Selanjutnya, tarif tersebut direncanakan akan meningkat lagi menjadi 12% mulai 1 Januari 2025. Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS), konsumsi rumah tangga di Indonesia menurun dari 5,05% (y-o-y) pada kuartal III 2023 menjadi 4,91% (y-o-y) pada kuartal III 2024. Selain itu, tingkat inflasi juga terus mengalami penurunan (deflasi) dari 3,0% pada bulan April hingga 1,84% pada bulan September 2024. Hal ini menunjukkan adanya penurunan daya beli masyarakat secara berkelanjutan dan jika dibiarkan, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2025 diperkirakan akan terancam.

Reaksi Masyarakat

Perubahan tarif PPN seperti yang baru-baru ini dilakukan oleh pemerintah memicu reaksi beragam dari berbagai lapisan masyarakat. Di satu sisi, perubahan ini ditujukan untuk meningkatkan penerimaan negara dalam rangka memperkuat anggaran. Akan tetapi, di sisi lain, perubahan ini juga menambah beban finansial kepada konsumen, khususnya kelompok dengan penghasilan menengah ke bawah yang cenderung lebih sensitif terhadap perubahan harga. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk memahami bagaimana PPN memengaruhi daya beli masyarakat secara holistik untuk dapat berargumen pada kebijakan pemerintah dan menilai dampaknya terhadap kesejahteraan sosial.

Barang dan Jasa yang Tidak Dikenai PPN

Menurut Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), barang dan jasa yang tidak dikenai PPN diantaranya adalah makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya. Meliputi makanan dan minuman baik yang dikonsumsi di tempat maupun tidak, termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha jasa boga atau katering, yang merupakan objek pajak daerah dan retribusi daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pajak daerah dan retribusi daerah; Uang dan emas batangan untuk kepentingan cadangan devisa negara dan surat berharga; Jasa keagamaan; Jasa kesenian dan hiburan; Jasa perhotelan (sewa kamar/ruangan); Jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum; Jasa penyediaan tempat parkir; Jasa boga dan katering; Barang kebutuhan pokok (beras, gabah, jagung, sagu, kedelai, garam, daging, telur, susu tanpa tambahan gula, buah-buahan, sayur-sayuran).; dan lain-lain. Perlu dicatat bahwa sebagian barang dan jasa yang tidak dikenai PPN ini masih tetap menjadi objek pajak daerah, dan retribusi daerah.

Dampak Kenaikan PPN Terhadap Masyarakat

Dampak paling nyata dari penerapan PPN adalah kenaikan harga barang dan jasa. PPN menambah komponen biaya dalam struktur harga yang kemudian akan dibebankan oleh penjual kepada pembeli. Sebagai contoh, apabila tarif PPN saat ini adalah 11% maka barang yang dijual dengan harga Rp100.000 akan meningkat harganya menjadi Rp111.000 setelah dikenakan PPN. Hal ini berarti konsumen akan membayar tambahan Rp11.000 kepada negara.

Pengaruh kenaikan harga tentu saja sangat terasa pada barang-barang kebutuhan pokok, seperti bahan makanan, pakaian, dan layanan kesehatan. Meski pemerintah Indonesia memberikan pengecualian PPN untuk sejumlah barang kebutuhan dasar, kenaikan ini tetap saja dirasakan oleh konsumen pada produk lain yang tidak termasuk daftar pengecualian. Akibatnya, pola konsumsi dan alokasi anggaran rumah tangga, terutama bagi masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah akan berubah mengikuti kenaikan harga ini.

Kenaikan PPN juga memengaruhi sektor usaha, terutama usaha mikro kecil menengah (UMKM), yang sering kali kesulitan menyesuaikan harga tanpa kehilangan pelanggan. Kenaikan harga mengakibatkan beberapa UMKM mengalami penurunan permintaan yang mungkin saja dapat memengaruhi pendapatan dan keberlanjutan usaha. Dengan demikian, dampak PPN tidak hanya terbatas pada konsumen, tetapi juga pelaku ekonomi lainnya yang ikut berkontribusi pada rantai nilai produksi dan distribusi.

Beban PPN yang lebih besar dirasakan oleh masyarakat berpenghasilan rendah yang cenderung menghabiskan proporsi pendapatan mereka yang lebih tinggi untuk kebutuhan dasar. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Maret 2024, sekitar 9,03% dari total penduduk Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan, mereka sangat terdampak terhadap fluktuasi harga barang dan jasa. Kenaikan tarif PPN berpotensi mengurangi daya beli kelompok ini secara signifikan. Sebagai contoh, jika sebelumnya mereka dapat membeli 10 kilogram beras dengan harga Rp10.000 per kilogram, setelah kenaikan tarif PPN, harga beras menjadi Rp11.100 per kilogram. Akibatnya, mereka hanya mampu membeli 9 kilogram beras dengan anggaran yang sama yang berdampak pada konsumsi harian mereka. Selain itu, pola belanja masyarakat pun rentan berubah, mereka mungkin akan mengurangi pembelian barang-barang non-pokok dan beralih ke barang-barang yang lebih murah, meskipun kualitasnya tidak sebaik produk yang biasa mereka konsumsi. Dengan demikian, dampak PPN tidak hanya memengaruhi daya beli, tetapi juga kualitas hidup masyarakat berpenghasilan rendah.

Dampak Kenaikan PPN Bagi Negara

Meskipun PPN memiliki beberapa dampak negatif, penerimaan dari pajak ini berpotensi menjadi sumber pendapatan negara yang bermanfaat dan berpengaruh untuk pembangunan infrastruktur dan program sosial. Dari sudut pandang pemerintah, kenaikan PPN ini telah dipertimbangkan secara matang dengan beberapa pertimbangan. Pertama, Sri Mulyani selaku Menteri Keuangan menyatakan bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dari tahun ke tahun membutuhkan sumber pemasukan yang besar, sehingga kenaikan PPN ini diharapkan dapat meningkatkan pendapatan negara. Lebih lanjut Sri Mulyani menjelaskan bahwa tarif PPN tersebut masih terbilang rendah jika dibandingkan dengan negara lain yang mencapai 15%. Kemudian, kenaikan tarif pajak tersebut dinilai sebagai upaya untuk mendudukkan kembali fungsi PPN sebagai pajak atas transaksi barang dan jasa yang sifatnya umum serta menjadi penyeimbang penurunan tarif pajak penghasilan (PPh) badan dari 25% ke 22% dan pada 2022 menjadi 20%.

Meskipun terdapat pro dan kontra di kalangan masyarakat, kenaikan tarif PPN memiliki banyak manfaat bagi masyarakat dan pemerintah. Kenaikan tarif PPN akan membantu mengoptimalkan penerimaan perpajakan yang lebih stabil dibandingkan dengan pajak penghasilan dikarenakan pengendaliannya lebih mudah. Oleh karena itu, adanya kenaikan tersebut dapat meningkatkan penerimaan negara sehingga pemerintah dapat menyiapkan APBN  dengan lebih ideal. Kondisi tersebut akan menguntungkan masyarakat karena pemerintah akan merancang APBN dengan fokus pada kesejahteraan rakyat.

Dampak positif lainnya yaitu kenaikan tarif PPN dapat digunakan sebagai upaya untuk menstabilkan ekonomi negara. Hal tersebut dapat dicapai karena kenaikan tarif tersebut akan mendorong peningkatan penerimaan perpajakan sehingga secara langsung akan menaikkan tax ratio negara. Rasio pajak menunjukkan jumlah pajak yang diterima sebagai persen dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB). Semakin tinggi tax ratio, semakin kokoh pula sumber pendanaan yang dimiliki suatu negara. Negara-negara maju biasanya memiliki tax ratio yang tinggi. Dengan fondasi perpajakan yang kuat tersebut dapat mendorong stabilitas ekonomi negara. Selain itu, pertumbuhan ekonomi akan meningkat dengan adanya kenaikan tarif PPN ini. Hasilnya, pembangunan infrastruktur dan program perencanaan pembangunan jangka panjang lainnya dapat terimplementasi dengan baik. Hal tersebut dapat membuka lapangan kerja dan fasilitas yang dapat menunjang kebutuhan masyarakat. 

Alternatif Solusi

Kenaikan PPN 12% berdampak langsung terhadap daya beli masyarakat, terutama peningkatan harga barang dan beban pajak yang lebih besar bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Pajak regresif seperti PPN cenderung memberatkan masyarakat rentan karena proporsi pendapatan yang dihabiskan untuk konsumsi jauh lebih besar dibandingkan kelompok berpenghasilan tinggi. Disisi lain, penerimaan tambahan PPN dapat menjadi alat untuk memperkuat pembangunan nasional. Jika dikelola secara transparan dan strategis, pendapatan ini berpotensi menciptakan dampak positif jangka panjang seperti peningkatan kualitas layanan publik dan penguatan daya saing ekonomi. Untuk mengimbangi dampak negatif kenaikan PPN, pemerintah perlu menerapkan kebijakan yang mendukung, seperti subsidi untuk masyarakat berpenghasilan rendah atau insentif untuk usaha kecil menengah (UMKM). Kebijakan seperti ini tidak hanya membantu menjaga daya beli masyarakat, tetapi juga mendorong pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. Namun demikian, daripada menaikkan PPN, pemerintah juga dapat mempertimbangkan alternatif sumber penerimaan negara lainnya yang tidak membebani masyarakat kelompok rentan, seperti pajak kekayaan (wealth tax), pajak windfall komoditas, pajak produksi batu bara, atau pajak karbon..

Dampak peningkatan PPN terhadap masyarakat bergantung pada kemampuan kebijakan untuk menyeimbangkan dampak langsung yang dirasakan masyarakat dengan manfaat tidak langsung dari pemanfaatan dana yang dihasilkan. Oleh karena itu, kenaikan PPN perlu dievaluasi secara berkala agar implementasinya adil dan tidak membebani kelompok masyarakat yang paling rentan. Kenaikan PPN menjadi 12% seharusnya dimaknai sebagai peluang untuk memperkuat fondasi ekonomi nasional sekaligus momentum untuk menilai keadilan sistem perpajakan. Dengan perencanaan dan pelaksanaan yang tepat dapat meminimalkan dampak negatif serta memastikan pembangunan berkelanjutan yang inklusif dan merata bagi seluruh lapisan masyarakat.

Referensi

https://klc2.kemenkeu.go.id/kms/knowledge/pajak-pertambahan-nilai-1cc173e8/detail/

https://pajak.go.id/id/artikel/dampak-positif-kenaikan-tarif-ppn

https://nasional.kompas.com/read/2024/12/28/17441861/ppn-naik-jadi-12-persen-daya-beli-masyarakat-makin-lemah

Badan Pusat Statistik. (2024). Profil Kemiskinan di Indonesia Maret 2024. Jakarta: BPS.

Badan Pusat Statistik.(2024).Berita Resmi Statistik: Perkembangan Indeks Harga Konsumen September 2024. Diakses 25 Desember 2024 dari https://www.bps.go.id/id/pressrelease/2024/10/01/2308/inflasi-year-on-year--y-on-y--september-2024-sebesar-1-84-persen-.html

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun