Mohon tunggu...
Sultan Ali Zaman
Sultan Ali Zaman Mohon Tunggu... wiraswasta -

Tak pandai bicara, tak pandai menulis...hanya dapat mengolah rasa

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Selamat Tinggal Muharram ...

10 Februari 2010   09:51 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:59 418
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Realitas dunia yang oleh DR. Ali Syari’ati, sosiolog fundamentalis Iran, dalam bukunya, Tugas Cendekiawan Muslim, dikatagorikan sebagai salah satu unsur yang memenjarakan manusia, haruslah dipandang secara integral dan menyeluruh. Dikotomisasi terhadap realitas dunia sebagai realitas obketif di sisi lain, dengan Allah sebagai realitas subjektif di lain sisi, akan melahirkan pemikiran yang sekuler, rigid dan jumud. Dalam wilayah ini, hijrah masih menurut Ali Syari’ati, diposisikan sebagai sebuah pandangan yang radikal. Karena interpretasi yang sempurna terhadap makna hijrah akan melahirkan pemutusan keterikatan manusia terhadap tanahnya, ia juga bisa mengubah pandangan manusia terhadap alam, dan mengubahnya menjadi pandangan yang luas dan menyeluruh yang pada akhirnya hilanglah kejumudan, kemerosotan sosial, dehumanisasi, dekadensi moral, kekotoran politik dan lain sebagainya. Dengan kata lain, hijrah dapat mengembalikan manusia kembali kepada “fitrah” nya, dapat memposisikan alam kembali sebagai “partner” manusia dalam mengarungi kehidupan ini, sehingga alam tetap dalam poros metabolismenya dan tidak merasa “gerah” dengan kehadiran manusia di sampingnya. Mungkin banyak terjadi bencana alam akhir-akhir ini dikarenakan alam sudah bosan bersahabat dengan kita, seperti kata bang Ebbiet, he ..

Pada dasarnya, hijrah adalah lompatan besar manusia baik dalam kapasitasnya sebagai individu maupun sebagai masyarakat atau suatu bangsa. Dalam bingkai kacamata sosial, manusia dalam kapasitasnya sebagai masyarakat atau bangsa, secara de-facto terdapat masyarakat yang “menguasai “di satu sisi dan masyarakat yang “dikuasai” di sisi lain. Selain itu, secara de-jure, mesti ada kelompok masyarakat yang saling berhadapan dikarenakan berbagai kepentingan yang mengitarinya. Masing-masing dari mereka berupaya sedemikian rupa memenuhi kebutuhan-kebutuhannya, kecenderungan-kecenderungannya, untuk dapat mempertahankan hidup (survive). Seperti,priyai dengan non-priyai, orang kaya dengan orang miskin, santri dengan abangan, islamologis dengan sekuler, pro demokrasi dengan anti demokrasi, pro status quo dengan pro perubahan, partai koalisi dengan oposannya, pejabat dengan rakyatnya dan lain sebagainya. Masing-masing mereka berusaha melakukan objektifikasi untuk saling meruntuhkan tatanan keberadaan masing-masing dengan berupaya merealisasikan pemikiran-pemikirannya terhadap ruang yang tidak mereka temukan (utopia). Pada gilirannya perbedaan tersebut dapat menimbulkan konflik yang berujung pada konflik idiologi dan politik.

Dalam pandangan Karl Mannheim, sosiolog Jerman, bahwa dalam heterogenitas sosial politik, terdapat prinsip hidup yang saling mempertalikan pemikiran utopia dengan perkembangan tatanan yang ada. Dalam artian, hubungan antara utopia dan tatanan yang ada berubah menjadi hubungan dialektis yang senantiasa muncul di setiap zaman. Gagasan-gagasan dan nilai-nilai yang terkandung dalam bentuk pencairan kecenderungan-kecenderungan yang tak terwujud dan terealisasikan merupakan kebutuhan-kebutuhan setiap zaman. Unsur-unsur intelektual ini kemudian menjadi unsur-unsur yang eksploratif dan material untuk mendobrak batas-batas tatanan yang ada yang pada gilirannya akan saling menghancurkan.

Sikap saling menghancurkan antara kelompok ini baik secara de-facto maupun secara de-jure pada dasarnya merupakan satu bentuk sikap politis dan idiologis yang tidak menemukan ruangnya.

Dalam pandangan al-qur’an, sikap politis dan sikap idiologis adalah merupakan sikap hijrah. seperti yang digambarkan oleh Allah dalam kisah Ibrahim dan ayahnya di dalam QS. 19:46 ;”… dan tinggalkanlah aku dalam waktu yang lama”. Hijrah dalam ayat ini memiliki arti meninggalkan dan berpaling. Hijrah juga bisa berarti memutuskan hubungan, seperti dijelaskan oleh Allah dalam QS. 16 : 41 ; “…Dan orang-orang yang berhijrah karena Allah sesudah mereka dianiaya…”. Atau bermakna menjauhkan diri dari sesuatu, seperti firman Allah SWT dalam QS. 73 : 10 ; “ …dan jauhilah mereka dengan cara yang baik”. Atau bermakna berlepas diri dari Tuhan-tuhan selain Allah dan ikatan-ikatan sosial. Mengenai hal ini, Allah SWT menjelaskannya dalam QS. 6 : 19, 78. QS. 9 : 1,3. QS. 60 : 1, 4, 8, 9. Juga dapat bermakna berlepas diri dari amal perbuatan. Mengenai hal ini lihat QS. 10 : 41, QS. 26 : 216.

Jadi jelaslah, bahwa hijrah yang dijelaskan oleh al-qur’an baik dalam konteks Nabi Ibrahim as, Nabi Musa as, Nabi Yusuf as, maupun dalam konteks Nabi Muhammad SAW merupakan satu sikap idiologis politis dalam pengertian non-kooperatif dengan status quo yang zhalim, menindas dan syirik.

Sikap idiologis secara sederhana direfleksikan dengan menyuarakan keadilan, menuntut persamaan hak, memperjuangkan kemerdekaan, menghapus perbudakan, mempraktekkan keshalihan sosial, dan sikap-sikap konstruktif lainnya.

Jadi, sangat tidak relevan jika peristiwa hijrah hanya diramaikan dengan mengisinya dengan acara-acara seremonial. Acara-acara yang lebih merupakan “basa-basi keagamaan” yang tidak berimplikasi apapun terhadap perbaikan ummat secara keseluruhan.

Jika kita renungkan tentang realitas sosial politik yang terjadi dewasa ini, di Negeri ini, ternyata semangat hijrah belum begitu membumi dan masih dipersepsikan sebagai satu satu sikap keagamaan ritual an-sich. Semangat hijrah belum menjadi alat advokasi sosial bagi kaum yang tertindas baik secara sosial, politik maupun ekonomi. Hijrah belum menjadi alat advokasi bagi lingkungan yang rusak akibat ulah tangan manusia, hijrah belum menjadi alat untuk saling memahami, menyayangi antar sesama manusia, antar sesama makhluk Tuhan. Mungkin para aktivis jalanan yang tidak bosan-bosannya menyuarakan keadilan, mengkritisi pemerintah agar tetap berada “pada jalan yang benar” lebih meng-hijrah dibanding para pejabat sana yang asik ber-elitis ria, berkompromi dengan para maling berbaju priyai, bercengkrama dengan para mafia berkedok pendekar keadilan, berselingkuh dengan para perampok negara berwajah “shalih”. Mungkin para petani kecil di kaki bukit sana, di pelosok kampung yang jauh dari hingar bingar metropolitan, lebih memahami makna hijrah ketimbang para pejabat yang dengan atas nama bangsa dan negara menggadaikan tanah pertiwi ini ke tangan orang-orang jahat. Mungkin para guru SD di sudut kampung sana, di tengah-tengah himpitan kehidupan yang begitu menyesakkan dada, lebih arif dalam menyikapi makna hijrah ketimbang para pejabat di lembaga terkait yang atas nama kecerdasan bangsa justru berbuat sebaliknya, membodohi bangsa selama bertahun-tahun. Mungkin para kuli jalanan yang dengan sebongkah harapan, berjibaku dengan bau amisnya kehidupan lebih cerdas mendefinisikan hijrah ketimbang para anggota legislatif yang asyik berkoar ria di rumah rakyat, bercinta dengan para koruptor hingga melahirkan “anak jadah” bernama “Undang-undang”.

Hijrah, semestinya dapat meniupkan semangat perubahan dalam diri setiap individu yang pada gilirannya akan menggerakkan dan memindahkan mereka dari lingkungan yang beku menuju tangga kemajuan dan kesempurnaan.

Terakhir, saya sedikit mengutip perkataan Imam Khomaeni, pencetus Gerakan Revolusi Islam Iran, beliau mengatakan ;

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun