Mohon tunggu...
Sulkhan Zuhdi
Sulkhan Zuhdi Mohon Tunggu... Lainnya - Pebelajar Filsafat

Founder Komunitas MADANI | www.madani.my.id

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Laki-Laki Feminis, Mampukah?

1 Juli 2020   07:46 Diperbarui: 1 Juli 2020   07:34 469
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hal ini menimbulkan pandangan bahwa inti gerakan feminisme adalah kebencian terhadap lelaki. Meskipun dibungkus dengan beragam teori rumit dan ndakik-ndakik untuk menjustifikasi pandangannya.

Asumsi ini membuat saya merasa tak diundang dan tetap akan berada di pinggiran dalam gerakan ini. Lelaki dianggap tidak punya pengalaman terhadap ketubuhan perempuan, seberapa pun ia berempati.

Seorang feminis  bernama Nona Willis Aronowitz dalam artikelnya berjudul Meet the Woke Mysoginist (2017) menyebut saat ini banyak lelaki mengaku feminis namun tak paham apa maknanya. Ia menyebutnya sebagai "the woke mysoginist" atau misoginis yang terjaga/bangun.

Ada juga, kritik klasik terhadap lelaki yang ikut gerakan feminisme dilontarkan di dunia Barat. Peggy Kamuf (1987) mengajukan 7 pertanyaan pokok: 1) Suara siapa? 2) Imajinasi siapakah yang dipakai? 3) Bagaimana lelaki merasakan pengalaman perempuan? 4) Apakah ada kesan ahistoris? 5) Apakah posisi lelaki "in" atau "near" feminisme (pro-feminisme)? 6) Membaca dalam kegelapan, tidak terang-benderang? 7) Bagaimana mungkin lelaki mengalami "kehidupan ganda"?

Pro-feminisme

Di titik ini, saya berefleksi kalau sejauh apapun lelaki mencoba menjadi seorang feminis, ia paling banter memposisikan diri mendukung ide-ide feminis (pro-feminism) dan menolak perilaku seksisme (anti-sexism).

Pun, pandangan ini sepertinya juga bersyarat. Ketika terjadi perbedaan kepentingan dan lelaki merasa dirinya dirugikan serta hak-haknya terusik, besar kemungkinan keadaan akan berbalik.

Ini saya rasakan dalam geliat kehidupan kampus. Ketika isu-isu kesetaraan mendominasi ruang diskusi di kelas maupun dalam percakapan media sosial, ada gejala penolakan sekalipun halus dan juga berdalih   kemanusiaan.

Para lelaki, misalnya, lebih nyaman mengangkat tema-tema seperti ketimpangan sosial-ekonomi, kerusakan ekologi, moderasi beragama atau isu-isu kontemporer lainnya ketimbang membincang isu-isu kekerasan seksual, objektivikasi perempuan, pernikahan dini, dan isu-isu lain yang sering diangkat oleh mereka yang menyebut dirinya feminis.

Akhirul-kalam, seorang laki-laki paling jauh akan menjadi penjaga gerbong ide-ide feminisme, dan akan enggan masuk atau terpinggirkan bila mencoba menerobos masuk.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun