Mohon tunggu...
Sulistywati
Sulistywati Mohon Tunggu... Mahasiswa - MAHASISWI HUKUM INSTITUT ANDI SAPADA

SAYA SUKA MEMBACA

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Penyelesaian Sengketa Tanah Adat Melalui Proses Hukum

20 Mei 2024   13:45 Diperbarui: 20 Mei 2024   13:59 187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam hukum properti, hak milik adalah konstruksi tidak berwujud yang mewakili sekumpulan hak atas sebidang properti di mana salah satu pihak dapat memiliki kepentingan hukum atau kepentingan yang adil. Hak-hak dalam bundel tersebut dapat dipisahkan dan dipegang oleh pihak-pihak yang berbeda. 

Semua perselisihan mengenai hak milik atau juga dinamakan perselisihan mengenai hak-hak perdata (artinya hak-hak yang berdasarkan hukum perdata atau hukum sipil) adalah semata-mata termasuk kekuasaan atau wewenang hakim atau pengadilan untuk memutuskannya, dalam hal ini hakim atau pengadilan perdata. 

Hakim atau pengadilan ini merupakan alat perlengkapan dalam satu negara hukum yang ditugaskan menetapkan perhubungan hukum yang sebenarnya antara dua pihak yang terlibat dalam perselisihan atau persengketaan tadi. Apabila usaha-usaha musyawarah tersebut mengalami jalan buntu, atau ternyata ada masalah-masalah prinsipil yang harus diselesaikan oleh instansi lain yang berwenang, misalnya pengadilan, maka kepada yang bersangkutan disarankan untuk mengajukan masalahnya ke pangadilan.

Salah satu contoh kasus hak milik, yaitu kasus sengketa tanah adat terdapat dalam putusan Putusan MA Nomor 3064 K/Pdt/2010 yang telah berkekuatan hukum tetap. Pada tanggal 23 Januari 1973, Thonce Bonay Upuya selaku termohon kasasi/penggugat memperoleh sebidang tanah yang diserahkan secara adat dari Bapak Demianus Tanawani, selaku pemilik tanah, dan selaku orang tua kandung para pemohon kasasi/ para tergugat dengan luas tanah adalah 7.397 m2. 

Penyerahan tanah tersebut didasarkan pada hubungan keluarga antara istri bapak Demianus Tanawani bernama Yuliana Mundoni, sebagai kakak kandung Helena Mundoni sebagai istri penggugat. Penggugat dan keluarga mengelola, merawat, dan memelihara sebidang tanah tersebut, dengan berkebun, menanam tanaman jangka panjang, dan membangun 1 rumah permanen.

Pada April 2009, para tergugat melakukan pekerjaan pembangunan rumah tinggal di atas tanah penggugat. Tindakan para tergugat menyebabkan pembongkaran 1 unit rumah semi permanen milik penggugat yang menyebabkan kerugian penggugat sebesar Rp25 juta. Tindakan
     
para tergugat menyebabkan ancaman yang mengarah pada bentrokan fisik dan mengganggu ketenangan keluarga dan ketertiban umum. Tindakan para tergugat juga dapat menyebabkan penggugat menderita kerugian hilangnya sebagian tanah yang didirikan bangunan dan kehilangan pendapatan dari harga sewa rumah setiap bulan, sebesar Rp500 ribu x 6 bulan = Rp3 juta.

Dalam pasal 16 Ayat (1) UUPA menyatakan bahwa terdapat hak-hak atas tanah antara lain sebagai berikut: hak milik; hak guna usaha; hak guna bangunan; hak pakai; hak sewa; hak membuka tanah; dan hak memungut hasil hutan. Dasar hukum penyelesaian sengketa tanah, ialah Permen Agraria/Kepala BPN No. 11 Tahun 2016 tentang Penyelesaian Kasus Pertanahan, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, dan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.
Berdasarkan fakta hukum tersebut, Penggugat memilih untuk menyelesaikan sengketa tanah ini melalui proses hukum. Pada tingkat kasasi, Mahkamah Agung berpendapat bahwa objek sengketa adalah tanah adat milik orang tua pemohon kasasi/para tergugat, yang diberikan kepada termohon kasasi/penggugat, sebagai hibah tanpa ada satu upacara adat. 

Bukti termohon kasasi/penggugat berupa Keputusan Damai Peradilan Adat 9 Desember 2009, Peradilan Adat memutuskan tanah adat dibagi menjadi 2 yaitu sebelah selatan diserahkan kepada Thonce Bonay Upuya, dan sebelah utara diserahkan kepada Darius Tanawani (tergugat II). Selain itu, tanah hanya pinjam pakai dan surat tanah dinyatakan direkayasa, sebab berdasarkan bukti, surat keterangan pelepasan hak atas tanah tertanggal 1 Agustus 1989 yang diajukan termohon kasasi/penggugat keliru. Mahkamah Agung mengabulkan permohonan kasasi dari para Pemohon Kasasi, dan menguatkan Keputusan Damai Peradilan Adat Nomor: 85/KDPA/DAP- WTC/DY/XII/2009, guna menjaga stabilitas, keseimbangan, dan keharmonisan hidup antar suku di Serui.

Dengan demikian, pihak-pihak yang bersengketa sebaiknya perlu memperhatikan dan juga mempertimbangkan upaya mediasi dan juga solusi-solusi yang ditawarkan BPN guna dalam mempercepat proses penyelesaian sengketa tanah Negara yang terjadi guna mewujudkan ketentraman dan kedamaian. Dan juga sebaiknya masyarakat ataupun lembaga lainnya agar mendaftarkan tanah hak miliknya ke BPN dan juga memasang patok batas, untuk mengurangi terjadinya sengketa tanah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun