Awal Abad XX telah terjadi perkembangan baru dalam kebijakan politiuk kolonial Belanda di Hindia Belanda (Indonesia). Politik ini memberi prioritas utama untuk kesejahteraan rakyat Indonesia kala itu yang jelas berbeda dengan sebelumnya. Sebuah karangan yang ditulis oleh Conrad Theodore van Deventer pada tahun 1899 tampknya telah banyak mempengaruhi pelaksanaan politik kolonial ini. Karangannya yang berjudul Een Eereschuld (Hutang Budi) di dalam majalah de Gids menyatakan bahwa negeri Belanda telah berhutang kepada Indonesia terhadap semua kekayaan dan keuntungan yang diperoleh selama tahun-tahun yang lalu. Hutang itu sebaiknya dibayarkan dengan cara memberikan kesejahteraan pada rakyat Indonesia.
Perubahan kebijakan kolonial ini semakin mantap setelah disusul dengan adanya pidato ratu Wilhelmina tahun 1901 yang menandakan pula dimulainya zaman baru politik kolonial. Zaman baru ini kemudian dikenal dengn politik Etis. Pemerintah Kolonial Belanda mempunyai tiga prinsip yang dianggap dasar dalam kebijakan baru tersebut, yaitu pendidikan, perpindahan penduduk, dan pengairan (edukasi,emigrasi, irigasi). Tiga prinsip tersebut diharapkan mampu mengangkat kesejahteraan rakyat Indonesia.
Perluasan pendidikan gaya Barat adalah tanda resmi dari Politik Etis. Salah satu dari program Politik Etis ini mulai dilaksanakan dengan mendirikan sekolah-sekolah. Pendidikan tidak hanya meproduksi jenis tenaga kerja yang dipelukan oleh negara dan bisnis swasta, tetapi juga menuntut ke arah modernisasi  serta persatuan antara Timur dan Barat.
Pada zaman Etis yang mempunyai semangat kemajuan ini dipenuhi dengan perkembangan dalam sektor kehidupan antara lain perdagangan, informasi, pertanian, dan pendidikan. Meskipun demikian perkembangan material maupun spiritual penduduk pribumi sangat terbatas, sehingga kemajuan pesat hanya dirasakan oleh penduduk asing dan bukanlah rakyat Indonesia.
Politik Etis mulai menampakkan kemerosotan dan kekaburan pelaksanaan sekitar tahun 1914 dan tahun 1916-an dikatakan mengalami kegagalan. Banyak kecaman dan kritikan atas kebijakan ini. Kegagalan ini disebabkan karena gagasan politik Etis ditunggangi oleh kepentingan kaum swasta kapitalis yang lebih mementingkan keuntungan, sehingga gagasan humaniter diabaikan. Negeri Belanda yang ingin mensejahterakan Indonesia dengan politik Etis yang diperjuangkan kaum Etisi, namun demikian tidak dapat dipungkiri bahwa sebagian kaum Etis itu sendiri adalah para kapitalis dan industrialis. Para kapitalis dan industrialis ini ingin memasarkan hasil industrinya dan mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya dengan meningkat kesejahteraan rakyat Indonesia sehingga meningkatkan daya beli.
Penderitaan yang masih dialami oleh sebagian besar rakyat Indonesia juga merupakan bukti betapa politik Etis tidak berhasil. Keadaan sosial tidak banyak mengalami perubahan, kemiskinan dan buta huruf serta kurangnya kesehatan masih nampak dalam kehidupan rakyat. Tidak ada penyelesaian yang nyata terhadap pertambahan jumlah penduduk. Keberhasilan politik Etis memang tidak pernah bisa dibuktikan. Seperti halnya yang dikemukakan M.C. Ricklef dalam bukunya The Modern History of Indonesia , "sungguhpun semua penelitian kesejahtertaan selama periode Ethis menghasilkan angka-angka statistik yang meragukan, tidak ada bukti tentang meningkatnya kemakmuran umum sebelum tahun 1930 dan sedikit bukti tentang menurunya standar hidup setelah tahin 1914". Sehingga dengan demikian secara umum Politik Etis adalah mengalami kegagalan  dalam pelaksanaannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H