Mohon tunggu...
Tri Wahyu Sulistyawati
Tri Wahyu Sulistyawati Mohon Tunggu... lainnya -

Mahasiswa Ilmu dan Tekhnologi Pangan Institut Pertanian Bogor Kajian Strategis dan Aksi Himpunan Mahasiswa Peduli Pangan Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Sinergi Pertanian Bergerak Bersama Membangun Negeri : Pengembangan Potensi Pangan Lokal Melalui Gerakan Manufaktur Agraria

2 Januari 2016   10:19 Diperbarui: 2 Januari 2016   10:50 1475
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Ketahanan pangan telah menjadi cita-cita bangsa Indonesia sejak masa kemerdekaan. Isu pencapaian ketahanan pangan melalui kemandirian pangan telah mewarnai lintas sejarah Indonesia. Selama beberapa dekade rezim pemerintah silih berganti dalam menetapkan kebijakan demi tercapainya cita-cita bangsa dengan segala konsekuensi dan implikasi yang terjadi. Terkait kemandirian pangan, melalui UU Pangan No 12 Tahun 2012 pemerintah menyatakan bahwa “Kemandirian Pangan adalah kemampuan negara dan bangsa dalam memproduksi Pangan yang beraneka ragam dari dalam negeri yang dapat menjamin pemenuhan kebutuhan Pangan yang cukup sampai di tingkat perseorangan dengan memanfaatkan potensi sumber daya alam, manusia, sosial, ekonomi, dan kearifan lokal secara bermartabat”.[1] Pernyataan ini memberikan catatan penting bahwa kemandirian pangan dapat dicapai melalui swasembada pangan atau penganekaragaman pangan dengan pemanfaatan potensi lokal. 

Faktanya, sebuah ironi yang mengerikan ketika mengetahui bahwa negeri yang kaya sumber daya alam, tanaman pangan berlimpah, kawasan air yang luas dengan potensi pangan maritim yang besar justru memiliki ketergantungan tinggi terhadap impor pangan. Husodo (2006:47) menyatakan: ...sampai dengan tahun 1986, negara kita mampu mencukupi kebutuhan kedelai nasional, hari ini lebih kurang 45 persen dari seluruh konsumsi kedelai nasional adalah impor. Sampai dengan tahun 1970, Indonesia masih mengekspor gula, hari ini lebih kurang 40 persen dari konsumsi gula nasional adalah gula impor...sampai dengan tahun 1990, Indonesia masih mampu mencukupi sendiri kebutuhan garam nasionalnya, hari ini lebih kurang 50 persen kebutuhan garam nasional dipenuhi dari impor. Pada waktu ini, 70 persen dari konsumsi susu nasional dipenuhi dari susu impor dengan tingkat ketergantungan yang semakin meningkat. Di bidang peternakan, untuk beberapa komoditas, kita juga mengalami penurunan kemampuan. Sampai dengan tahun 1970, Indonesia masih mengekspor sapi terutama ke Hongkong; hari ini lebih dari 25 persen dari kebutuhan daging sapi nasional dipenuhi dari impor. Setiap tahun Indonesia mengimpor 550.000 ekor sapi.[2]

Indonesia punya potensi. Tapi sistem managerial pertanian yang lemah dan kurangnya sinergitas menyebabkan swasembada pangan sulit tercapai. Artinya setiap lembaga yang terkait dengan pengembangan pangan lokal cenderung bergerak sendiri-sendriri tanpa satu kesatuan yang jelas. Pemerintah sebenarnya telah mencanangkan Rencana Strategis Kementerian Pertanian dengan salah satu fokus mencapai Swasembada Pangan (beras, jagung, kedelai, gula dan daging sapi) pada tahun 2014. Namun pada tahun 2015 inipun cita-cita ini belum sepenuhnya tercapai. Apabila dikaji, pemerintah kurang melibatklan peran mahasiswa dan institusi. Mahasiswa yang telah dikenal sebagai agent of change yang dapat diterima kehadirannya di berbagai kalangan perlu dilibatkan dalam mensosialisasikan program pemerintah. Selain itu beberapa pelaku usaha cenderung kurang memanfaatkan tekhnologi dalam pengembangan usaha sedangkan beberapa daerah lain justru hanya berperan dalam menghasilkan produk hulu tanpa pengolahan lebih lanjut. Oleh karena itu perlu dikembangkan konsep baru yang mampu mengkombinasikan peran masing-masing pihak yang terkait.

Konsep baru ini digerakkan berdasarkan dua landasan yaitu sinergi pertanian dan gerakan manufaktur agraria. Sinergi pertanian melibatkan pemerintah, masyarakat, mahasiswa, institusi dan pelaku usaha bergerak bersama dalam satu jalur yaitu mengembangkan potensi pangan lokal untuk mencapai ketahanan dan kemandirian pangan di indonesia. Masing masing bagian memiliki peran masing masing namun tetap dalam satu kesatuan. Sinergi pertanian ini menjadi penunjang tercapainya gerakan industri agraria. 

Manufaktur agraria adalah sebuah gerakan pengembangan daerah berbasis indutri dimana setiap daerah di Indonesia khususnya setiap kabupaten minimal memiliki satu industri pangan lokal. Gerakan ini merupakan proyeksi dari penerapan tekhnologi dalam pengembangan potensi lokal di daerah. Pendirian industri ini diawali dengan dua jalur. Pertama melalui pengembangan skala industri yang sudah lebih dulu tercipta. Misalnya daerah Magelang telah dikenal sebagai sentra produksi Gethuk Lindri, Jogja dikenal sebagai penghasil bakpia pathok, Bogor menjadi pencetus lapis talas Bogor, beras analog dari daerah Cimahi dan berbagai produk lokal lain. Pengembangan skala industri jenis pertama ini hanya perlu menambah sentuhan tekhnologi dan branchmarket. Kedua melalui penggalian potensi lokal yang bisa dikembangkan. Penggalian potensi ini dengan mengenali produktifitas masing-masing daerah dan menyusun inovasi baru dalam mengembangkan industrialisasi pangan lokal. Misalnya kawasan pantai digunakan sebagai usaha pengembangan ikan, pengembangan industri garam dan masih banyak potensi lain yang bisa dikembangkan.

Mekanisme sistem ini diawali dengan pengembangan teknologi roadmap. Menurut Syah (2009) tekhnologi roadmapping pada dasarnya merupakan serangkaian proses perencanaan tekhnologi yang bersifat needs driven untuk membantu mengidentifikasi memilih dan mengembangkan beberapa alternatif untuk memenuhi serangkaian kebutuhan produk. Tekhnologi roadmapping ini menggabungkan akan membantu menyelaraskan potensi pasar, potensi pangan lokal daerah dan peluang tekhnologi yang dapat diterapkan. Tekhnologi ini pernah diterapkan dalam Riset Unggulan Strategis Nasional Diversifikasi Pangan Pokok sejak tahun 2002 (Syah 2009). Tekhnologi ini diaplikasikan dalam pengembangan pangan lokal ubi jalar, jagung dan ubi kayu. Melalui roadmap ini dapat dianalisis faktor-faktor yang terkait dalam proses pembangunan industrialisasi diversifikasi pangan. Melalui program Rusnas diversifikasi pangan pokok ini dapat dikembangkan produk hilir dari jagung, ubi kayu dan ubi jalar artinya sentuhan tekhnologi, branchmarket dan branchstorming membantu dalam usaha penyusunan indutri di Indonesia.

Bentuk partisipasi pemerintah melalui Departemen Pertanian dan Badan Ketahanan Pangan dalam sinergitas manufaktur agraria adalah menyusun rencana strategis yang dituangkan dalam tekhnologi roadmapping. Tekhnologi ini dapat menjadi acuan dalam menyusun suatu rencana strategis yang berpeluang besar dapat diterapkan dalam masyarakat dan pelaku usaha secara langsung. Pemerintah juga berperan dalam menyiapkan anggaran dana, sebagai penggerak institusi dalam berinovasi dan melaksanakan pengabdian masyarakat serta membantu mengontrol media masa. Pengontrolan media masa menjadi peran yang sangat penting karena media masa menjadi kunci dalam mengubah pola pikir masyarakat sehingga tidak beranggapan bahwa pangan non beras adalah pangan inferior.

Peran pelaku usaha dan masyarakat adalah sebagai tonggak utama dalam pendirian industri di masing masing daerah. Demi menunjang kesejahteraan petani maka pelaku usaha dengan pengasan departemen pertanian dan Badan Ketahanan Pangan diharapkan mampu menerapkan sistem kemitraan dengan petani. Sistem kemitraan ini yaitu menetapkan harga pembelian produk pertanian berdasarkan kesepakatan yang tidak merugikan kedua belah pihak. Misalnya industri gethuk lindri di daerah Magelang memerlukan singkong sebagai bahan baku. Maka pelaku usaha gethuk lindri tersebut bekerja sama dengan petani singkong. Tujuan sistem kemitraan ini selain meningkatkan kesejahteraan petani juga membantu industri dalam menjaga pasokan bahan baku serta menaikkan produktifitas pertanian karena mendorong semangan petani dalam mengembangkan produk singkong.

Peran mahasiswa dan institusi adalah senantiasa berinovasi dalam pengembangan tekhnologi serta promosi demi meningkatkan nilai jual dari produk industri di masing-masing daerah. Sentuhan tekhnologi untuk Gethuk Lindri tersebut misalnya dengan menambah daya simpan produk dari satu hari menjadi 3 bulan dengan tekhnologi oxygen scravanger dan vacuum packaging.[4] tekhnologi ini memungkinkan bagi pelaku usaha untuk menjangkau pasar yang lebih luas. 

Sinergitas pertanian ini dapat dikontrol dengan pengawasan masing-masing lini dan pertanggungjawaban ke badan ketahanan Pangan. Mahasiswa bertugas sebagai media perantara antara pemerintah dan pelaku usaha sehingga penyampain informasi tekhnologi dari hasil riset pemerintah pun menjadi lebih efektif. Namun pengontrolah pemerintah tetap dilaksanakan demi menjaga kekonsistenan industri tersebut dilaksanakan.

Apabila manufaktur agraria ini berhasil dicapai maka setiap kabupaten di Indonesia akan memiliki keunggulan masing-masing berdasarkan potensi lokal yang dimiliki. Kearifan lokal inilah yang nantinya akan menjadi landasan Indonesia dala mencapai ketahanan dan kemandirian pangan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun