Mohon tunggu...
Sulistyawan Dibyo Suwarno
Sulistyawan Dibyo Suwarno Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

citizen jurnalis yang berkantor di rumah

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ironi Republik Demokrasi

8 Januari 2019   10:21 Diperbarui: 4 Februari 2019   07:33 208
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Resiko Demokrasi adalah  terpilihnya pemimpin buruk karena rakyat yang memilih pemimpin tidak kenal dan tidak  tahu  bahwa pemimpin  yang dipilihnya ternyata buruk. 

Jika Februari dianggap sebagai bulan Jatuh Cinta, maka bangsa ini sesungguhnya sedang berada dalam masa  Kasmaran . Layaknya orang pacaran, maka yang terlihat adalah suasana yang manis dan indah.  Seperti kata  Vina Panduwinata  .. " ternyata asmara, tak kenal dengan logika.. " 

Jadi, meskipun kondisi negara sedang mengalami pelambatan ekonomi  banyak orang yang enggan memperjuangkan perubahan. Bahkan  banyak orang yang gak peduli dengan perubahan .  Setidaknya  saya melihat ada dua alasan. Pertama , sekelompok orang  tidak ingin berubah karena sudah merasa nyaman dengan kondisi sekarang , sedangkan alasan  yang lain  keengganan untuk  berubah karena tak ingin kehilangan pemimpin yang jadi idolanya. Ini agak spesial. Sebab, mereka sadar bahwa kondisi sekarang ini memang tidak lebih baik, tetapi tak ingin ada pergantian rezim. Kelompok  kedua ini yang saya sebut sebagai kelompok gelap mata.

Sementara itu, ada juga kelompok orang yang apatis dan frustasi dengan   kondisi dan sistem politik yang ada.  Mereka merasa   sangat kecil kemungkinan ada perubahan sistem yang lebih baik dinegeri ini, sehingga mereka memilih  golput.  Disisi lain bisa difahami, sebab untuk menjadikan perubahan sistem politik yang  lebih baik ini memang seperti masuk dalam  lingkaran setan.. Bahkan  ada pemeo yang mengatakan bahwa seseorang yang awalnya berjiwa malaikat, ketika masuk kes sistem politik justru berubah menjadi setan.

Karena   demokrasi negeri ini menganut sistem multi parpol, maka jalan satu-satunya untuk merubah sistem  adalah  bersaing menguasai kursi legislasi  dengan cara mendirikan partai politik dan ikut serta sebagai peserta  Pemilu.  Nah.. pola pikir inilah yang melandasi yang dulu melandasi berdirinya PKS. Mereka bermaksud untuk merubah sistem politik negara ini dengan mendirikan parpol dan masuk ke gedung DPR tingkat Pusat dan tingkat daerah.  Namun,  yang terjadi kemudian  PKS justru terperosok dalam jeram korupsi.   

Alasan yang serupa  sekarang digaungkan oleh Partai Solidaritas Indonesia (PSI ). Partai yang mencoba mencitrakan diri sebagai partai generasi millenial, karena pengurusnya terdiri dari anak-anak muda. Kita berdoa saja, semoga endingnya berbeda, karena kita nggak ingin anak-anak muda yang penuh semangat ini nantinya justru terperosok dalam kubangan korupsi. Jika itu terjadi, maka mengutip sepotong ungkapan Jusuf Kalla sebelum jadi Wapres.. " Mau jadi apa negeri ini ?  Bisa hancur negeri ini.. ". 

Dalam buku  " Sisi Gelap Dana Parpol " (2014) , saya tulis bahwa salah satu upaya menekan korupsi adalah dengan  menutup beberapa celah yang dimungkinkan menjadi peluang korupsi. Salah satunya adalah memandirikan parpol, sehingga pemerintah tidak perlu lagi memberikan bantuan dana operasional parpol. Parpol harus mandiri dan biaya mereka dapat ditopang dari Badan Usaha Milik Parpol. Selain menutup salah satu celah yang dimungkinkan menjadi sarana korupsi, pendirian BUMP juga dapat meningkatkan posisi tawar dari parpol sebagai representasi dari pembawa aspirasi rakyat kepada pemerintah. 

Tapi untuk menuju kesana perlu ada perubahan Undang-Undang  Politik. Permasalahannya   sebuah Undang-Undang  itu  lahir dari sebuah perdebatan dan sikap kompromis antara DPR yang merupakan representasi banyak Parpol dengan  lembaga  Pemerintah..  Pertanyaannya, apakah  DPR yang merupakan representasi  Parpol ini setuju jika  pemerintah menghentikan pendanaan untuk parpol ? Lha wong yang terjadi sekarang justru Pemerintah menaikan dana Parpol  dari Rp.100 per suara jadi Rp.1000 per suara kok.. Bagaimana  bisa terwujud adanya Badan Usaha Milik Parpol  ? 

 Lalu apakah kita harus putus asa ? Seharusnya tidak. Dalam perjuangan membenahi sistem politik yang masih amburadul seperti ini  sesungguhnyalah kita itu butuh banyak orang yang rela jadi martir untuk  melawan arus.  Rela dicaci, dibully, atau bahkan rela dipenjarakan  karena berbeda  pandangan dengan penguasa serta mayoritas fans berat  penguasa.  

Kita butuh generasi muda   yang punya tekad sekuat baja agar dapat melakukan "cuci darah"  sistem perpolitikan .  Anak-anak muda berjiwa anti kemapanan dengan   ide-ide segar. Bukan kelompok anak muda yang  menghamba dan menjadi bayang-bayang penguasa. Anak-anak muda pemikir yang  mampu bersikap kritis terhadap segala kebijakan yang dilahirkan oleh penguasa.

Dalam kondisi sistem politik seperti sekarang ini, banyak sekali persoalan yang harus kita benahi dan butuh solusi-solusi  rasional agar negara yang bercita-cita mewujudkan keadilan dan kemakmuran raklyat ini mampu  mencapai tujuannya. Oleh karena itu  semangat anak-anak muda yang punya tekad kuat untuk merubah atmosfer politik yang sudah  sangat koruptip.  Bahkan tingkat koruptifnya sudag sampai pada level tak masuk akal. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun