Mohon tunggu...
Sulistyawan Dibyo Suwarno
Sulistyawan Dibyo Suwarno Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

citizen jurnalis yang berkantor di rumah

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Tafsir Politik Terhadap "Klip Action" Jokowi

19 Agustus 2018   11:23 Diperbarui: 21 Agustus 2018   21:25 3227
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Illustrasi : kompas.com

Upacara Pembukaan Asian Games 2018 pada Minggu (18/8) malam mendapat banyak pujian. Sejumlah pihak bahkan sangat histeris melihat hasil kreasi dari Wisnutama, Addie MS, Eko Supriyanto dll. 

Secara keseluruhan, upacara pembukaan semalam memang terlihat sangat berbeda. Cukup berkelas. Bukan saja soal karya kolosal, tetapi yang sempat membuat ribuan orang "baper" adalah ditampilkannya klip Presiden "Jokowi" yang beraksi mengendarai Moge layaknya Ethan Hunt dalam film Mission Imposible. Yang belum nonton saksikan di Youtube.

Dari klip tersebut, saya menangkap ada sejumlah pesan yang ingin disampaikan sang kreator. Namun, ada beberapa hal kecil yang bagi saya mengurangi kesempurnaan tayangan tersebut.

Menurut saya, hakekat sebuah Pertunjukan (Show) bukan sekadar hiburan tetapi juga pesan. Pesan adalah isi sementara hiburan adalah bungkus atau kemasan.

Nah, agar pesan dapat sampai ke masyarakat, maka dalam sebuah pertunjukan perlu adanya kemasan yang menarik. Syukur-syukur mewah dan meyakinkan. Tapi kandungan isi tetap tak boleh dilupakan, karena itu terpenting.

Dalam pertunjukan film, pesan dikemas dalam rangkaian adegan melalui potongan-potongan adegan dan sudut-sudut pengambilan gambar.

Untuk film-film luar negeri, pemilihan angle atau sudut-sudut pengambilan gambar ini sangat detail, sehingga potensi kesalahan sangat kecil (meski beberapa juga masih ditemui).

Tapi di Indonesia, kita sering melihat sejumlah sutradara mengabaikan atau luput dari hal-hal kecil dan jusrtru bisa jadi sangat mengganggu penonton. 

Saya selalu berusaha menyaksikan tayangan sinema secara cermat dari frame ke frame. Agar dapat menangkap pesan yang tampil secara menyeluruh.

Khusus untuk klip Jokowi, yang tampil di Opening Ceremony Asian Games, saya menangkap banyak pesan yang ingin disampaikan kepada publik dunia, khususnya Asia.

Melalui klip tersebut, Jokowi ingin menunjukkan bahwa Indonesia Adalah Negara Macet dengan Perkampungan Miskin dan Gang-gang Sempit.

Jadi gambaran Indonesia adalah negeri yang indah nan hijau permai dengan penduduknya yang ramah2, sama sekali tak tergambar di video opening ini.

Mungkin di sinilah bedanya "pencitraan" kita dengan negara lain. Kita menjual kejujuran dan realita. Jujur bahwa negara kita masih seperti ini adanya.

Jika negara lain berlomba-lomba untuk menunjukkan kondisi negara yang teratur dan rapih, maka di klip ini publik dunia justru disuguhi gambaran bahwa Indonesia adalah negara yang macet. Terutama Jakarta.

Jadi, wahai anda para wisatawan mancanegara, jika berkunjung ke Indonesia siap-siaplah menghadapi kemacetan. Bukan saja karena jumlah kendaraan yang terus bertambah, tetapi juga karena banyaknya aksi massa yang mengganggu lalu lintas.

Menurut riset dari Inrix 2017 Traffic Sorecard yang dilakukan sepanjang 2017 oleh Inrix menemukan bahwa Jakarta sekarang berada di peringkat 12 dalam daftar kota-kota termacet di dunia. Peringkat ini diketahui naik dibandingkan tahun sebelumnya yaitu 2016 yang menempatkan Jakarta pada posisi 22.

Disebut sebagai kota yang kurang berkembang di luar Eropa dan Amerika Utara, Jakarta bersanding dengan Bangkok, Bogota, Mexico City, Rio de Janeiro, dan São Paulo.

Jakarta sebenarnya, dan kita ketahui, memiliki populasi yang sangat besar, tapi sangat minim jalan dan sistem transportasi.

Kemudian, Jakarta juga kurang penggunaan sistem transportasi cerdas terbaru seperti misalnya optimasi lampu lalu lintas atau jalur yang dinamis.

Sementara itu, berdasarkan lama waktu kemacetan yang dirasakan pengendara di Jakarta, dalam setahun rata-rata mencapai 63 jam dengan porsi 20 persen.

Bukan hanya Jakarta, tetapi di Indonesia. Tercatat ada 10 kota besar dengan kondisi kemacetan parah. Kota lainnya yang juga mengalami kemacetan adalah Bandung ( 46 jam / tahun), Malang (45 jam/tahun ), Yogyakarta (45 jam/tahun ), Padang (45 jam/tahun ) Medan (42 jam/tahun ), Pontianak (40 Jam/tahun ), Surabaya (37 jam/tahun ) , Semarang (37 jam/tahun ) dan Denpasar (30 jam/tahun) .

Kemacetan adalah persoalan laten sosial. Persoalan ini akan terus terjadi selama pengadaan mobil tidak dibatasi. Kemacetan ini tentu saja melahirkan keresahan masyarakat. Selayaknya negara melihat hal ini sebagai persoalan serius.

Namun yang terjadi pemerintah lebih suka memakai cara pragmatis. Bukan menyelesaikan masalah, tetapi menghindari masalah.

Pesan ini yang saya tangkap dari adegan "lompatan" motor yang dilakukan Jokowi. Bahkan dialog, "Biar saja" yang diucapkan Jokowi, memberikan gambaran Mantan Gubernur DKI Jakarta itu sebagai Presiden yang cuek dengan aspirasi publik.

Bisa jadi, gambaran tersebut berbeda dengan keseharian Jokowi yang biasanya langsung menghampiri massa. Meski hanya untuk sekadar berjabat tangan atau bagi-bagi souvenir.

Sayang memang agak bertanya-tanya, mengapa dalam klip ini Jokowi digambarkan sebagai Presiden yang pragmatis. Padahal, sesungguhnya Presiden bisa digambarkan sebagai sosok yang lebih manis dan humanis.

Misalnya, di tengah kemacetan Jokowi keluar jendela seraya melambaikan tangannya, lalu disambut dengan histeris massa di sepanjang rute yang dilewatinya.

Adegan ini akan lebih memperkuat kesan merakyat yang selama ini dipertahankan sebagai citra dirinya.

Jika Asian Games adalah event Olahraga, maka pemilihan asesoris  moge ini justru mengirim pesan politis yang berhubungan dengan kompetisi Pilpres.

Dengan gaya sebagai pemotor, Jokowi dibentuk sebagai sosok yang merupakan bagian dari kalangan milenial atau kalangan muda.

Tim Kreatif berusaha menampilkan kesan bahwa Jokowi adalah "presiden kaum millenial".

Bagi kalangan rival, ini bisa dimaknai sebagai upaya mencuri start kampanye. Meski saya yakin akan dibantahnya. 

Kalau toh iya, hal tersebut juga sangat rasional. Jokowi dan tim kampanye pasti akan berusaha dengan segala macam cara untuk merebut simpati para pemilih pemula yang diprediksi jumlahnya sekitar 20 persen dari jumlah total penduduk Indonesia.

Karena itu, merebut simpati pemilih pemula adalah satu hal yang harus dilakukan jika ingin mendulang suara.

Berbau kampanye juga terasa, terutama dalam adegan Jokowi berada di lift. Jokowi menekan angka 2 sebelum menuju ke lokasi acara Asian Games.

Adegan ini bisa ditafsirkan secara politis bahwa Jokowi ingin kembali berkuasa untuk yang ke-2 kalinya. Itu sah-sah saja.

Namun, ketika tayangan tersebut disiarkan dihadapan pecinta olahraga dunia, rasanya menjadi tidak pas.

Akan lebih elegan jika adegan yang ditampilkan adalah hal-hal yang berhubungan dengan kekayaan budaya nusantara atau prestasi olahraga Indonesia. Sebab, ini Asian Games bung, bukan Kampanye Pilpres!

Menurut saya, mengemas Jokowi sebagai "pemotor gede" yang tak berhubungan dengan Asian Games adalah satu pilihan yang memaksa. Apalagi, Motor Gedhe yang dikendarai Jokowi ternyata tidak dilengkapi plat nomor.

Padahal sesuai UU Lalu Lintas, semua kendaraan harus dilengkapi dengan plat nomor, sehingga kekurangan ini akan mengirim pesan negatif terhadap pengendaranya.

Lebih dari itu, video klip ini menampilkan perilaku berkendara seorang Jokowi yang jauh dari kesantunan. Ngebut dan berjalan zigzag di perkampungan serta melakukan atraksi stopie karena nyaris menabrak bajaj, justru akan membangun citra negatif dari seorang Pemimpin Negara, yang juga merupakan simbol negara itu sendiri. 

Sebagai sebuah karya seni, apapun sah dilakukan. Tetapi, selain indah ditonton, sebuah video klip juga berfungsi sebagai media kampanye.

Harusnya video klip menjadi kampanye positif, bukan kampanye negatif. Sehingga tokoh baik-- apalagi pemimpin negara -- harus mengajarkan perilaku baik kepada warga negara. 

Untuk menjaga agar tayangan yang dikonsumsi publik selalu baik dan sesuai etika, maka Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menerapkan aturan sensor untuk tayangan televisi yang memuat adegan merokok, senjata tajam, luka berdarah, dan bagian tubuh wanita tertentu.

Aturan ini tentu bukan dimaksudkan sebagai upaya membatasi kreatifitas tetapi KPI sadar bahwa tayangan-tayangan televisi akan ditonton oleh berbagai kalangan serta berbagai usia. Tanpa bimbingan yang tepat dikhawatirkan akan menimbulkan persepsi yang salah, dari adegan-adegan yang ditampilkannya.

Jadi, sesederhana, apapun sebuah tayangan bukan sekadar jadi tontonan. Tetapi juga harus mampu menjadi tuntunan bagi publik.

(*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun