Mohon tunggu...
Sulistya Rini
Sulistya Rini Mohon Tunggu... -

Lahir di Tulungagung, mencari nafkah di Purwakarta. Hobi jalan jalan......

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

33 Tahun yang Lalu

8 Maret 2016   20:54 Diperbarui: 8 Maret 2016   20:59 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gerhana matahari total besok mengingatkan sesosok bapak yang sudah Almarhum.

Sangat jelas dalam ingatanku bagaimana bapak menyuruh aku mengamati perilaku ayam ayam di belakang rumah menjelang samapi selesai gerhana matahari.( He he...ternyata ayam ketipu juga...dikiranya malam, sehingga mereka berebut naik ke pohon rambutan siap siap tidur ). Aku juga disuruh mengamati daun pohon lamtoro dipagar samping rumah...ternyata dedaunan itu juga melakukan aktifitas mejelang malam yaitu gerak niktinasi. Gerak niktinasi adalah Gerak menutupnya daun berbuah polongan (Leguminosae) karena pengaruh gelap atau menjelang malam.                                                                                          

Dengan ember yang diisi air dihalaman rumah kami sekeluarga mengamati detik detik tertutupnya matahari oleh bulan sampai terlihat kembali bulat merah matahari. Ingat banget bagamana kepala kami beradu berebut mengamati matahari dalam ember. Bapakku juga mengajari kami anak anaknya membuat kaca mata dari negatif film yang terbakar. Kemudian bergantian kami mengamati gerhana matahari total langsung menatap langit.

Bumbu cerita tentang mitos matahari yang dimakan Botoro Kolo juga melengkapi kegiatan kami mengikuti peristiwa gerhana matahari. Dengan bahasa khas bapak kalau bercerita...he he selalu diawali dengan kalimat " Pada jaman dulu....... kahyangan digegerkan dengan berita hilangnya , Batara Guru kehilangan satu guci berisi air kehidupan atau Tirta Amertasari (siapapun yang meminum air ini maka hidupnya akan langgeng), ternyata pencurian ini dilakukan oleh Batara Kala dan diketahui oleh Batara Surya dan Batara Chandra, kemudian keduanya melaporkan perihal tindakan pencurian ini kepada Batara Wisnu. 

Batara Wisnu marah luar biasa dan mengambil senjata pamungkas (senjata chakra), ketika Batara Kala sedang meminum Tirta Amertasari yang masih nyangkut di tenggorokan maka ditebasnya leher Batara Kala. Kepala melayang-layang hidup terus dan selalu menebar ancaman sedangkan badannya jatuh ke bumi berubah menjadi lesung atau kentongan yang rata-rata dimiliki oleh para jalma. Matahari adalah lambangnya Batara Surya, dan bulan identik dengan Batara Chandra, dendam Batara Kala abadi kepada kedua dewa yang memergokinya mencuri air kehidupan. Maka sampai kapanpun kepala Batara Kala yang melayang-layang itu selalu menebar ancaman berusaha menelan bulan atau matahari ".

Pada saat itu aku masih SD, .... sekarang aku menjadi guru IPA di SMP. 33 tahun yang lalu, apa yang diajarkan almarhum bapak aku sampaikan ke siswa siswaku dengan harapan mereka mendapatkan pemahaman dan pengalaman. Karena untuk mendapatan peristiwa serupa harus menunggu waktu yang lama......

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun