Awal Februari 2014, situs www.energytoday.com merilis nilai impor minyak mentah maupun hasil minyak (BBM) tahun 2013 mengalami kenaikan tajam dibanding tahun sebelumnya. Data tersebut diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS), dimana pada 2013 nilai impor BBM mencapai US$ 42,14 miliar lebih tinggi dari tahun 2012 yang hanya US$ 39,51 miliar. Atau meningkat 50% lebih dalam 4 tahun. 2009 nilai impor BBM mencapi US$ 18,44 milar.
Menggapi hal tersebut, Menteri BUMN mengatakan bahwa masyarakat tidak menyadari tengah berada dalam masa penjajahan BBM. “Negara harus mengimpor BBM karena produksi minyak dalam negeri kecil dan tidak mengalami peningkatan. Karena itu, diperlukan pembangunan kilang minyak baru”, jelas Dahlan Iskan saat pidato Konvensi Capres Partai Democrat.
Mantan Dirut PLN mengusulkan dalam lima tahun kedepan harus ada pembangunan minimal dua hingga tiga kilang BBM. “Tanpa itu langkah impor BBM sulit ditekan”, imbuhnya.
Tingginya impor BBM juga menyebabkan beban subsidi yang mesti digelontorkan pemerintah lewat APBNP2013 naik mencapai Rp. 223,88 triliun.
“Anggaran subsidi BBM yang besar telah mengurangi alokasi untuk peningkatan pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur”, jelas Karen Agustiawan selaku Dirut PT Pertamina saat pidato dalam forum Center for Strategic and International Studies (CSIS) di Washington DC, AS tahun lalu.
Karen menambahkan, langkah pengurangan ketergantungan minyak lainnya adalah mengalihkan ke sumber energy alternatif yang potensial di Indonesia, seperti gas alam, gas nonkonvensional, dan energy baru terbarukan. Untuk itu Pertamina telah merencanakan investasi sebesar US$ 1,5 miliar untuk 200 sumur eksplorasi gas metana batubara (CBM) dalam lima tahun kedepan. []
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H