Mohon tunggu...
Sulistiono KERTAWACANA
Sulistiono KERTAWACANA Mohon Tunggu... Lainnya - ...

"Selamat tinggal hanya untuk mereka yang mencintai dengan mata mereka. Karena bagi yang mencintai dengan hati dan jiwa; tidak ada perpisahan" Jalaluddin Rumi

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pertamina VS Karaha Bodas, Mengadili Persepsi Hukum di Indonesia?

7 Mei 2010   12:39 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:21 6782
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jika pembatalan kontrak disebabkan oleh wanprestasi, maka pihak yang dirugikan layak mendapat ganti rugi. Namun, tidak demikian jika disebabkan oleh force majeure. Sebab, force majeur kejadiaanya di luar kehendak para pihak dan sangat tidak bisa diperkirakan.

Dengan demikian, penangguhan proyek PLTP Karaha oleh Pertamina adalah force majeure. Namun, KBC tidak peduli akan alasan yang menjadi dasar ditangguhkannya proyek tesebut. Terbukti, pada April 1998 KBC menggugat Pertamina melalui Arbitrase Internasional di Swiss.

Sengketa Yang Melelahkan

Dari total gugatan ganti rugi KBC kepada Pertamina sebesar US$560 juta (US$100 kerugian proyek yang sudah dilaksanakan untuk eksplorasi 8 sumur dan 20 sumur kecil oleh KBC juta plus nilai keuntungan yang akan diterima), Arbitrase “hanya” mengabulkan klaim KBC senilai US$ 261 juta.

Sesungguhnya, ada beberapa hal yang meragukan “kejujuran” KBC dalam proyek yang disengketakan tersebut. Pertama, menurut Asosiasi Panas Bumi Indonesia (API) terdapat indikasi KBC melakukan mark up untuk pembiayaan proyek tersebut (tentu saja bekerja sama dengan pihak Indonesia). Sebab, menurut API investasi per sumur rata-rata US$3 juta, sehingga biayanya maksimal sekitar US$ 40 juta (KBC mengklaim jumlah expenditure-nya US$100 juta).

Kedua, berdasarkan klaim asuransi yang sudah diterima KBC dan bukti cadangan yang sebenarnya hanya 60 MW (Kompas 6/6/03). Karenanya, kesanggupan KBC membangun proyek PLTP sebesar 400 MW sebagaimana tercantum dalam kontrak masih diragukan.

Ketiga, KBC telah menerima klaim asuransi dari Lloyd - London atas penangguhan proyek tersebut sebesar US$75 juta. Artinya -jika yang diasuransikan total project- nilai proyek tersebut US$75 juta (jauh lebih kecil dari tuntutan ganti rugi KBC sejumlah US$100 atas kerugian nilai expenditure KBC).

Keempat, terdapat selisih nilai proyek yang sudah dilaksanakan (expenditure) yang dilaporkan kepada Direktorat Jenderal Pajak (US$83 juta) dengan yang diajukan pada arbitrase (sekitar US$100 juta).

Tapi, Arbitase Internasional di tahun 2000 telah mengabulkan gugatan KBC dengan menghukum Pertamina membayar ganti rugi US$261 juta (.US$111,1 juta untuk kerugian pengeluaran dan US$150 juta untuk kerugian keuntungan (lost of profit) ditambah bunga empat persen per tahun sejak 1 Januari 2001).

Pertamina telah mengajukan berbagai upaya hukum untuk membatalkan pelaksanaan putusan Arbitrase Internasional di pengadilan luar negeri tempat aset Pertamina.

Berdasarkan pasal 5 ayat (2) huruf b dari Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Award tanggal 10 Juni 1958 (“Konvensi New York 1958”) - Indonesia telah meratifikasinya dengan Keppres No.34/1981- ditetapkan bahwa permohonan pelaksanaan putusan Arbitrase Internasional dapat ditolak karena bertentangan dengan ketertiban umum (public policy/orde public).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun