Tahukah Anda? Zakat memiliki manfaat yang luar biasa. Tidak sekadar ibadah yang bernilai pahala, tetapi zakat juga investasi masa depan. Pembentukan rich mindset sangat tepat untuk dijadikan sebagai visi pemberdayaan masyarakat melalui pemanfaatan dana zakat. Agar pemanfaatan dana zakat berhasil menuntun Muslim merintis financial freedom dan mewujudkan masa depan yang bebas dari kemiskinan.
Rich mindset bukanlah pola pikir yang serakah (syuh) atau dorongan untuk menumpuk harta sebanyak-banyaknya, tetapi sebuah pola pikir yang meyakini bahwa terdapat 'rekening spiritual' yang berisi kekayaan dan kecukupan bagi seluruh makhluk hidup di alam semesta.
Jika kita menjumpai/mengalami kekurangan atau kemiskinan, bisa dipastikan ada sesuatu yang perlu dibenahi dari diri pribadi ataupun lingkungan kehidupan kita.Â
Konsep rich mindset menyebar luas dalam ajaran-ajaran motivator kesuksesan kelas dunia. Mulai dari Dale Carniege, Napoleon Hill, dan berjejer motivator terkenal lainnya. Selain itu, konsep ini pun selaras dengan firman Allah dalam al-Quran surah An-Najm ayat 48.
Di sisi lain, pemberdayaan ini akan menuntun para mustahiq (penerima zakat) untuk bertransformasi menjadi muzakki dan berhasil pula mewujudkan financial freedom.
Ilmuwan biologi sel sekaligus pakar neurosains, Bruce Lipton, menggemparkan dunia berkat riset programming (pemrograman). Programming bisa disebut juga upaya untuk memusatkan 'pola pikir' pada 'pikiran bawah sadar' (un-conscieusness).
Dalam konsep programming, perilaku individu 95% ditentukan program dalam pikiran bawah sadar (un-conscious mind). Fase programming telah dimulai sejak bayi sampai usia tujuh tahun yang disebut fase hypnosis. Di masa ini, seseorang merekam seluruh informasi di lingkungan untuk membentuk theta (imajinasi). Masa ini pula seseorang memiliki peta imajinasi yang membentuk masa depannya.Â
Programming memberikan jawaban atas teka-teki mengapa sebagian besar orang kaya terlahir (berasal) dari keluarga kaya atau orang miskin terlahir (berasal) dari keluarga yang miskin. Hal ini disebabkan anak yang berasal dari keluarga kaya berada di lingkungan kaya dan memiliki sosok teladan/orangtua (rule models) yang memberikan informasi untuk kaya.
Informasi yang diserap otaknya membentuk theta yang menggerakkan untuk memiliki kebiasaan kaya (rich habits), sehingga berhasil membentuk dan mewujudkan masa depan sebagai orang kaya pula.
Pemisalan teman yang baik dan teman yang buruk ibarat seorang penjual minyak wangi dan seorang pandai besi. Penjual minyak wangi mungkin akan memberimu minyak wangi atau engkau bisa membeli minyak wangi darinya, dan kalau pun tidak engkau tetap mendapatkan bau harum darinya. Sedangkan pandai besi, bisa jadi percikan apinya mengenai pakaianmu, dan kalaupun tidak, engkau tetap mendapatkan bau asapnya yang tidak sedap (Hadits Riwayat Bukhari 5534 dan Muslim 2628).
Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: tidak ada seorang manusia terlahir kecuali dia lahir atas fitrah (kertas yang belum ditulis apa pun/masih putih). Maka kedua orangtuanya yang membuatnya menjadi Yahudi, Nasrani, ataupun Majusi (Hadits Riwayat Abu Hurairah ra). Â Â Â
Riset Bruce Lipton mengenai programming memberi bukti kuat hadist di atas. Bahwa lingkungan dan orangtua sangat menentukan masa depan seorang anak. Programming memberikan jawaban pula mengapa masih banyak masyarakat Indonesia yang miskin. Bahkan, hingga usia kemerdekaan RI mencapai 74 tahun, upaya pengentasan kemiskinan di Indonesia masih berjalan tertatih dan tidak kunjung tuntas.
Pemerintah memang telah mengklaim terjadi penurunan jumlah penduduk miskin secara signifikan di era pemerintahan Presiden Joko Widodo. Pada September 2014 jumlah penduduk miskin 27, 73 juta dengan persentase penduduk miskin 10,96%. Pada Maret 2019, jumlah penduduk miskin tinggal 25,14 juta dengan persentase penduduk miskin 9,41%. Â
Selama lima tahun terakhir, saya bermukim di kawasan Kali Code Yogyakarta. Â Di kawasan ini, sebagian masyarakat bisa disebut miskin dan sebagian lagi belum sejahtera. Tidak sulit untuk saya temukan warga yang tidak layak huni.
Sebagian masyarakat cenderung memiliki persepsi negatif terhadap warga yang mendapat label pendatang. Walaupun 'warga pendatang' tersebut hanya anak kos seperti saya; kecurigaan tetap timbul.
Fenomena tersebut tidak bisa diabaikan. Kemiskinan atau ketidaksejahteraan menjadi benih-benih dosa dan perpecahan antar sesama saudara sebangsa dan setanah air.Â
Inisiatif masyarakat untuk melakukan pembangunan/pemberdayaan mandiri cenderung masih rendah. Masyarakat pun rentan bersikap nrimo (mudah pasrah) yang mengukuhkan terdapatnya poor mindset dalam masyarakat Indonesia.Â
Lebih lanjut lagi, poor mindset dapat diartikan sebagai 'pola pikir orang miskin' seperti malas berusaha, cepat menyerah pada keadaan, etos kerja rendah, suka berada di zona nyaman,pasrah pada keadaan,  dan habits lain yang mengakibatkan kita tidak produktif.
Selama poor mindset mengakar dalam pikiran bawah sadar masyarakat, puluhan presiden dan pergantian kabinet pun tidak akan bisa mewujudkan cita-cita kemerdekaan Indonesia untuk mewujudkan kesejahteraan dan menghapus kemiskinan.Â
Upaya-upaya pemberdayaan harus terpusat untuk membentuk, mengadakan, atau mempertahankan rich mindset. Tanpa upaya ini, segala bentuk upaya pemberdayaan tidak akan memberikan hasil yang optimal.
Pemanfaatkan Dana Zakat untuk Pemberdayaan MasyarakatÂ
Perkembangan zaman terus menuntun upaya pemungutan zakat menjadi semakin inovatif. Kini, pegiat amil zakat tidak lagi terbatas pada pemangku agama (ulama), tetapi telah bertransformasi menjadi lembaga yang dikelola secara profesional dan lazim disebut Lembaga Amil Zakat (LAZ).
Dalam menjalankan LAZ, tugas pemangku agama dibantu praktisi yang sangat potensial untuk menjalankan pemberdayaan masyarakat.
Di Era Digital ini, ibadah zakat semakin mudah. Sebagian besar Lembaga Amil Zakat telah 'alih teknologi' dengan penyediaan layanan e-zakat . LAZ ini menyediakan inovasi berupa aplikasi e-zakat yang bisa diakses dengan telepon pintar yang terkoneksi dengan internet.
Jadi, upaya untuk menjalankan ibadah zakat, bisa semakin efektif dan tidak lagi terkendala birokratis.Â
Pertama, pemberdayaan SDM Lembaga Amil Zakat (LAZ)
Amil merupakan ujung tombak dari kemajuan ibadah zakat dalam sistem organisasi LAZ. Karena itu, tenaga amil perlu memiliki keahlian (skill) yang bisa menjadi bekal untuk mengembangkan inovasi di bidang zakat.
Amil tidak hanya sekadar memungut, mengumpulkan, dan menyalurkan zakat. Tetapi, amil juga bisa berperan sebagai penyuluh atau tenaga edukator/motivator yang menuntun para muzakki dan mustahiq zakat untuk meningkatkan kualitas hidup khususnya dalam upaya untuk mewujudkan financial freedom. Â
Bila upaya tersebut dinilai menghambat kinerja profesional SDM LAZ yang terfokus pada penerimaan dan penyaluran dana zakat, LAZ bisa menjalin kerja sama dengan stakeholder yang telah memiliki keahlian/keterampilan tersebut untuk ditransfer ke masyarakat subyek pemberdayaan.
Dengan demikian, masyarakat yang menjadi subyek pemberdayaan bisa 'berdaya', mampu berdikari, memiliki rich mindset, dan mewujudkan financial freedom secara kolektif. Â
Kedua, program re-programming pikiran bawah sadar masyarakat subyek pemberdayaan
Dalam riset programming hasil temuan Bruce Lipton, pikiran bawah sadar bisa diprogram ulang untuk diselaraskan dengan program yang sesuai tujuan hidup kita. Upaya re-programming bisa dilakukan dengan repetisi atau afirmasi. Di mana kita mengisi/memperbarui pikiran bawah sadar dengan informasi yang sesuai dengan tujuan kita.
Program re-programming bisa diwujudkan dengan penyaluran dana zakat untuk membangun budaya literasi di masyarakat subyek pemberdayaan. Upaya ini bisa diwujudkan dengan membangun perpustakaan, taman bacaan, atau ruang publik dengan konsep literasi. Masyarakat yang menjadi subyek pemberdayaan dituntun untuk gemar membaca literatur yang bermuatan positif.
Melalui proses membaca literatur yang bermuatan positif, masyarakat secara intens menyerap informasi-informasi baru yang dibutuhan untuk menumbuhkembangkan rich mindset. Upaya ini akan semakin baik bila dilengkapi dengan upaya menumbuhkan kecintaan menulis. Aktivitas menulis akan semakin menyuburkan rich mindset yang dibangun.
Tentunya, budaya literasi tidak terbatas pada membaca dan menulis saja. Pengembangan budaya literasi bisa merambah pada diskusi, pertunjukan/festival literasi, keterampilan bercerita, keahlian publis speaking, dan beragam transformasi dari aktivitas literasi.
Sebagian besar aktivitas dan kepentingan manusia dikendalikan bahasa. Karena itu, kecintaan pada budaya literasi akan menjadi katalisator kemajuan peradaban. Hal ini dikukuhkan fakta bahwa tingkat literasi selaras dengan kemajuan bangsa. Negara-negara dalam jejeran negara-negara maju merupakan negara yang memajukan budaya literasi. Â Â Â
Selanjutnya, budaya literasi merupakan lahan yang subur bagi masyarakat untuk melakukan proses dialektika dengan nilai-nilai/informasi-informasi baru dan memfilter nilai-nilai/informasi-informasi yang sebelumnya diyakini.
Melalui jalan ini, masyarakat subyek pemberdayaan bisa memperbarui program pikiran bawah sadar dan meninggalkan nilai-nilai/informasi yang menghambat upaya untuk mewujudkan financial freedom ataupun kesejahteraan kolektif.  Â
Ketiga, pembentukan komunitas mustahiq dan muzakkiÂ
Lembaga amil zakat bisa mempelopori terbentuknya komunitas mustahiq dan muzakki. Upaya ini akan menciptakan kekeluargaan, mempererat perasaan persaudaraan, dan semangat beramal. Bila memungkinkan, mustahiq dan muzakki bisa tergabung dalam satu komunitas.
Tetapi, bila menghambat efektivitas dan efisiensi, komunitas bisa dibagi menjadi dua kategori. Para mustahiq bisa membentuk komunitas sesama mustahiq. Di sisi lain, terdapat pula komunitas beranggotakan sesama muzakki.
Komunitas bukan hanya tertuju pada urusan penyerahan atau penyaluran dana untuk zakat; tetapi juga dalam upaya meningkatkan kualitas hidup, seperti upaya pengembangan UKM/UMKM bersama-sama dan pengembangan keahlian/keterampilan praktis/kreativitas.
Keempat, pendidikan yang link and match
Pendidikan yang ideal harus memenuhi kriteria link and match. Dalam artian, pendidikan harus memberikan ilmu pengetahuan (knowledge), keahlian (skill), dan integritas (value). Kurikulum pendidikan formal Indonesia terlalu banyak knowledge berupa informasi yang harus dihafal, dianalisis, dan dikuasai; tetapi minim dari segi value dan skill.
Banyaknya pengangguran bergelar sarjana merupakan salah satu bukti alasan kuat bahwa LAZ perlu mengalokasikan dana zakat untuk mendirikan lembaga pendidikan yang bisa memberikan knowledge, skill, dan value secara seimbang; terutama bagi umat Muslim. Agar umat Muslim bisa berkarya dan memberikan kontribusi positif untuk kemajuan negeri.  Â
Kelima, sinergitas dengan stakeholder
Dalam pemberdayaan berbasis zakat, LAZ sebaiknya menjalin kerja sama dengan stakeholder yang ada dalam masarakat. Agar upaya pemberdayaan yang diselenggarakan LAZ akan mendapat dukungan moril ataupun materil dari stakeholder yang mumpuni. Dukungan ini akan menjadi katalisator peningkatan efektivitas, efisiensi, dan hasil pemberdayaan.    Â
Keenam, pengembangan budaya literasi zakat
Kesadaran zakat cenderung masih belum optimal karena terbatasnya literatur zakat. Bila Anda ke toko buku atau perpustakaan, Anda bisa dengan mudah untuk memperoleh literatur seperti: politik, psikologi, pertanian, teknologi, kedokteran, kesenian, dan pariwisata. Tetapi, literatur mengenai zakat hanya segelintir dan tidak menjadi minat utama masyarakat baca. Tidak mengherankan, kesadaran untuk berzakat cenderung belum optimal.
LAZ dan seluruh instansi yang terkait zakat, termasuk Departemen Agama, bisa mempelopori pengembangan budaya literasi zakat. Distribusi informasi mengenai zakat melalui penulisan fiksi sangat dianjurkan. Hal ini disebabkan kekuatan teks fiksi bisa dipahami masyarakat awam.
Selain itu, karya tulis fiksi atau lazim disebut karya sastra, bisa alih wahana menjadi film. Bila informasi mengenai zakat bisa diangkat ke layar lebar dan ditonton masyarakat luas, ibadah zakat akan lebih mudah menyerap dalam kesadaran umat Islam, sehingga termotivasi untuk menjalankan ibadah zakat, serta berpartisipasi aktif dalam pemberdayaan berbasis zakat.Â
Ketujuh, insentif dan penghargaan (award) bagi relawan LAZ berprestasi
Program pemberdayaan mustahiq dan muzakki dapat dikemas dalam kompetisi. Melalui kompetisi ini, semangat relawan LAZ akan terpacu dalam mengeksplorasi inovasi dan kreativitas dalam pemberdayaan. Mereka akan menetapkan sasaran yang harus dicapai dalam rentang waktu yang dittapkan penyelenggara. Dengan jalan ini, para relawan LAZ bisa mengenal relawan-relawan LAZ lainnya dan inovasi/kreativitas dalam pemberdayaan antarsesama relawan LAZ.
Selanjutnya, relawan yang dinilai berhasil memberikan kontribusi yang paling besar pengaruh positifnya, perlu mendapatkan insentif dan penghargaan. Relawan berprestasi ini bisa dijadikan sebagai tenaga pendidik untuk relawan (pegiat) LAZ di Indonesia. Agar para relawan LAZ lainnya memiliki keahlian yang mumpuni dalam menjalankan pemberdayaan para mustahiq dan muzakki.
Kedelapan, sinergitas antar seluruh LAZ
Seluruh LAZ di Indonesia sebaiknya menjalin sinergitas, bukan kompetisi yang mengarah pada persaingan yang tidak sehat. Jalinan sinergitas ini bertujuan untuk meningkatkan optimalitas pemberdayaan mustahiq/muzakki ataupun masyarakat umum.
Sinergitas antar LAZ sangat bermanfaat untuk meningkatkan layanan penerimaan dan penyaluran zakat. Bila satu LAZ mengalami kendala atau hambatan dalam layanan penyerahan dana zakat; muzakki bisa menyerahkan ke LAZ yang lain.
Bila sebuah LAZ mengalami penggelembungan dana zakat (dana yang zakat yang diserahkan muzakki melimpah) dan LAZ lain kekurangan dana zakat (dana zakat yang diserahkan muzakki masih terbatas); maka LAZ mengalami penggelembungan dana bisa membagikan sebagian dana zakat untuk LAZ yang minim dana zakat.
Agar LAZ yang minim dana zakat dapat menyerahkan dana tersebut untuk keperluan pemberdayaan atau untuk mustahiq atau program pemberdayaan yang membutuhkan suntikan dana.
Kesembilan, implementasi Cross Cultural Fertilization (CCF)
Dalam upaya pemberdayaan masyarakat berbasis zakat, LAZ sebaiknya tidak segan-segan mengimplementasikan Cross Cultural Fertilization (CCF) atau Penyerbukan Silang Antarbudaya. Pelaksanaan CCF dalam konteks pemberdayaan berbasis zakat berarti upaya tenaga LAZ dalam mengadopsi dan menyerbukkan budaya-budaya unggul di dalam dan di luar negeri.
Tentunya, budaya-budaya yang diadopsi tidak menyangkut akidah atau ritual peribadatan dalam Islam. Misalnya, kita bisa  mengadopsi budaya kerja dari bangsa Jepang, budaya pendidikan formal dari Finlandia, dan budaya wirausaha dari bangsa Jerman.
Strategi CCF perlu dimplementasikan dalam pemberdayaan masyarakat berbasis zakat. Hal ini disebabkan keberlimpahan sumber daya alam membuat bangsa Indonesia cenderung memiliki daya kompetisi yang sangat rendah. Bandingkan dengan negara-negara yang miskin sumber daya alam, seperti Singapura, Korea Selatan, Italia, Swiss, dan Jepang.
Alih-alih terpuruk atau meratapi keterbatasan, negara-negara miskin sumber daya alam tersebut berhasil mengembangkan teknologi dan industri. Oleh karena itu, CCF sangat penting untuk diimplementasikan di Indonesia, terutama dalam pemberdayaan berbasis zakat. Â Â Â Â
Melalui strategi CCF, pemberdayaan berbasis zakat akan mengalami percepatan, peningkatan efektivitas dan efisiensi, dan peningkatan kualitas hasil pemberdayaan. Berkat strategi CCF, pemberdayaan yang diselenggarakan LAZ akan memberikan kontribusi dalam mengantarkan Indonesia untuk sejajar dengan negara-negara maju di dunia. Â Â Â Â
Dari uraian di atas dapat kita simpulkan bahwa implementasi rich mindset akan menjadikan zakat sebagai kunci emas pembuka pintu kekayaan (financial freedom). Tenaga Lembaga Amil Zakat (LAZ) perlu memberdayakan masyarakat; baik untuk muzakki ataupun mustahiq.
Melalui pemberdayaan tersebut LAZ bisa menuntun dan merawat rich mindset di kalangan muzakki dan mustahiq. Agar muzakki bisa meningkatkan kuantitas dan kualitas kekayaan; selain itu para mustahiq bisa berproses untuk bertransformasi menjadi muzakki dan berhasil mewujudkan financial freedom.
Dengan demikian, pemanfaatan dana zakat akan menjadi katalisator untuk menjadikan umat Islam sebagai umt yang kaya, memiliki harta yang diberkati Allah SWT (halal), kreatif, inovatif, dan turut berkontribusi secara aktif dalam mengentaskan kemiskinan di Indonesia.
Referensi:
[1] Penyerbukan Silang Antar Budaya; Membangun Manusia Indonesia (Elex Media Komputindo dan Yayasan Nabil, 2015).
[2] Menyemai Karakter Bangsa: Budaya Kebangkitan Berbasis Sastra. Yudi Latief (Kompas, 2009)
[3] https://bimasislam.kemenag.go.id/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H